Langkah William begitu pelan seiring dengan tarikan napas di dadanya. Tetapi, itu semua berbanding terbalik dengan pacu jantungnya yang tidak karuan. Bahkan bulir keringat sudah membasahi dahi keriput itu. Dia berdiri sejenak mencoba menyembunyikan tubuh tuanya di sisi kanan pintu dekat dengan kenop. Seraya menarik napas dan mengambil ancang-ancang untuk memukul siapa pun yang membuatnya takut setengah mati.
Satu.
William memegang kenop sambil menarik napas sekali lagi.
Dua.
Dia memutar kenop dan dengan gerakan cepat membuka pintu lalu berseru,
"Siapa pun di sana, aku akan membunuhmu!"
Tubuh William membeku. Ingin sekali dia berteriak sekeras mungkin ketika melihat sosok seekor rubah. Bukan hal aneh melihat hewan nokturnal itu, melainkan kedua mata hewan berbulu oranye yang sangat diingat William. Iris mata berwarna keemasan dan hijau zamrud menyala di antara kegelapan kebun belakang rumah, membawa dirinya pada seberkas sosok wajah perempuan di kamar jenazah minggu lalu yang kini sedang menatapnya dengan begitu lekat.
Tanpa disadari, langkah William mundur membuat rubah berukuran sedang itu masuk ke dalam kediamannya. Sesekali dia mengibaskan ekor panjang lalu berlari menuju jendela yang terdapat tirai bercorak bunga Lily kesukaan mendiang Alice. Beberapa detik kemudian, muncullah sosok lebih tinggi dari tubuh rubah diiringi suara deheman seorang perempuan.
"Siapa kau!" William mengacungkan tongkat bisbolnya dengan kaki gemetaran. Sungguh dirinya takut dengan rumor bahwa manusia jadi-jadian yang menjadi buah bibir orang Tasmania memang benar adanya.
"Jangan takut."
Seorang anak perempuan mengintip dari balik tirai, rambutnya terurai panjang begitu terawat. Dia tersenyum lebar seolah sudah mengenal William lama.
"Bisakah kau meminjamkan aku baju seperti yang manusia kenakan?"
Seperti terhipnotis, William terdiam dan mengambil baju mendiang anaknya yang masih tersimpan di kamar. Tak berapa lama, William memberikan satu setel piyama berwarna biru kepada perempuan itu tanpa banyak kata. Sejujurnya, rasa takut William menguap begitu saja ketika melihat wajah cantik siluman rubah itu. Justru, benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan.
"Maaf, William, aku mengagetkanmu," ucap si manusia rubah sambil keluar dari balik tirai. Dia melihat piama yang diberikan William terlihat begitu kontras dengan kulit putihnya yang sangat pucat seperti pualam. Ada aroma bunga Lavendel yang melekat di setiap serat kain katun yang gadis itu kenakan, dia menciumnya sesekali dengan senyum manis.
"Kau tahu namaku?" tanya William dengan kerutan di dahi yang semakin dalam. "Siapa sebenarnya kau ini? Mengapa bisa menemukanku?"
Perempuan itu menelengkan kepala dan menyipitkan kedua mata mengamati William. Dia bisa melihat kepulan asap di sekeliling tubuh pria berambut putih nan keriting itu mendadak berwarna abu-abu diiringi detak jantung yang bertalu-talu. Kedua mata ajaibnya juga bisa melihat cairan merah di tubuh William yang mengalir cepat di setiap pembuluh darah. Hidung mancungnya mengendus bau campuran tembakau dan kayu manis yang menguar dari tubuh pemilik rumah.
Kemudian, dia mengalihkan pandangan ke sekeliling tempat yang terasa lembap dan sering disebut manusia sebagai rumah. Bau bangunan yang sepertinya sudah lama tak terkena matahari ini terlihat cukup penuh. Di atas kaki telanjangnya, dia berjalan mendekati meja dengan berbagai macam foto yang di dalamnya ada gambar William dan dua perempuan serta bunga yang sudah lama layu di dalam vas. Aroma bunga itu sedikit busuk dan dia menoleh ke arah si pemilik rumah dengan tatapan mengejek. Kemudian, dibelai dinding rumah yang terasa kasar menyentuh telapak tangannya, dia meyakini bahwa dinding ini terbuat dari bebatuan atau semacam pasir yang dipadatkan.
"Apa tempat ini bisa melindungi kalian dari serangan?" tanya gadis itu tanpa memandang ke arah William. "Bagaimana kalian bisa memiliki tempat berlindung tanpa diusik? Apakah manusia sekuat itu?"
"Bagaimana kau menemukanku?" cecar William mengabaikan pertanyaan yang diajukan oleh tamu tanpa diundang.
Gadis berambut panjang itu melirik William sejenak sebelum mengambil salah satu bingkai foto pemilih rumah seraya berkata, "Aku menemukanmu karena aroma tubuhmu, William. Baumu beda dengan yang lain."
Refleks pria itu menciumi aroma ketiaknya sendiri. Tidak ada yang spesifik kecuali aroma bekas cerutu yang tadi dihisapnya. Mana mungkin orang akan mudah menemukan seseorang hanya dengan bau yang kadang hanya bisa dicium dari jarak dekat, pikir William. Jika dipikir, manusia di depannya bukanlah sembarang manusia mengingat dia bisa membunuh dua manusia tanpa merasa bersalah. Ah! Menyadari hal itu seharusnya dia meraih telepon genggam yang terletak di depan gadis itu agar polisi segera datang dan menangkapnya.
"Lalu siapa kau ini?" tanya William dengan nada selidik. "Kau sungguh kembali dari kematian atau kau ini manusia jadi-jadian?"
Kedua iris mata perempuan asing kembali menyala dengan lidah ular yang menjulur melihat ekspresi William yang mendadak berubah. Sementara lelaki itu mematung dengan pikiran bahwa nyawanya pasti akan melayang sebentar lagi. Beberapa detik, gadis misterius itu menggeleng keras tuk mengembalikan lidahnya ke bentuk lidah manusia kemudian tersenyum lebar.
"Aku Stella Rogers, klan terakhir rubah yang mati di Sungai Gordon."

KAMU SEDANG MEMBACA
Half Blood Queen (END)
Viễn tưởng#PEMENANG WATTYS 2020 KATEGORI PARANORMAL🎉 Bangkitnya Stella Rogers sebagai klan terakhir rubah merah berdarah campuran membuat para vampir berlomba-lomba memiliki darah Sang Half Blood. Meski telah mengganti nama, mengubah warna iris mata, hing...