Bab 18

762 114 0
                                    

Federica duduk di ruang tamu rumah Ethan dengan Gessy yang wajahnya tampak waswas sambil mengetuk-ngetukkan sepatu boots-nya di lantai berkayu. Sesekali gadis bermata sipit itu memandangi sekeliling untuk memastikan bahwa dirinya tak kan menjadi 'daging panggang'. Sedangkan Federica dengan tenang menunggu paman Ethan sambil memandang interior rumah yang bisa dibilang cukup besar meski berada di tengah-tengah hutan. Tak disangka pula jarak rumah Ethan ke rumah Federica hanya sepuluh kilometer membuat gadis itu paham mengapa Ethan dulu menolongnya dari serangan vampir.

Rumah Ethan terlihat tradisional tapi sangat nyaman, yang dia tahu dari buku bahwa rumah yang dibangun dengan kayu-kayu tinggi dan begitu rapat adalah rumah Marae−rumah adat suku Maori. Dari luar, orang tak akan tahu apa yang ada di dalam rumah ini, bahkan di beberapa sumber, tidak semua orang bisa memasuki rumah adat Maori, biasanya suku Maori akan melakukan ritual kepada leluhur mereka apakah para tamu yang berkunjung membawa sesuatu yang negatif atau tidak.

Untungnya, keluarga Ethan tidak harus melakukan ritual, walau saat memasuki pagar tadi, beberapa orang menatapnya dengan tatapan penuh selidik. Di ruang tamu ada hiasan kepala rusa jantan, perapian, serta kursi yang terbuat dari kulit sintesis, tak lupa pula ada ukiran-ukiran whakairo yang berbentuk tiki—kepala manusia, manaia—makhluk berkepala burung dan tubuh seperti ular sebagai lambang perlindungan yang menempel di dinding-dinding maupun di sudut-sudut rumah. Gadis bermata bulat itu tidak mencium aroma serigala sama sekali, membuat dirinya bertanya-tanya ramuan apa yang mereka gunakan.

Beberapa detik kemudian, seorang lelaki muncul membuat Federica refleks membaca huruf-huruf yang mengelilingi tubuh pria itu. Aaron Harrison berusia empat puluh tahun. Dibalik kemeja biru serta celana panjang coklatnya, mata Federica fokus pada bekas cakaran di wajah dan mata kiri Aaron yang tertutup oleh penutup dari kulit buaya. Aaron duduk di depan kursi yang diduduki Federica, kedua matanya tak lepas memandangi sosok gadis berambut ginger sedangkan Gessy dengan cemas ingin segera keluar dari rumah ini.

"Jangan jadikan aku daging panggang."

Mau tak mau, Federica menahan tawanya mendengar Gessy mengucapkan kalimat itu dalam hatinya.

"Halo, Federica Dawson," sapa Aaron sambil tersenyum.

Ethan pun datang sambil membawa empat botol kola, "Hai, maaf menunggu lama. Ini pamanku, Aaron Harrrison."

Ethan membagikan kola kepada kedua temannya. Federica menerima meski dalam hati dia tidak seberapa suka kola. Minuman bersoda itu selalu membuat lambungnya menggelitik dirinya sendiri.

"Jadi ... Ini si half blood," kata Aaron sambil mengusap dagunya.

Samar-samar Federica mencium aroma lain dan tak berapa lama kemudian datang enam laki-laki bertubuh kekar dengan kulit sawo matang. Beberapa dari mereka hanya mengenakan celana jeans selutut yang robek bagian bawahnya tanpa mengenakan alas kaki. Mereka semua memandang gadis berkulit pucat itu dengan tajam sedangkan Gessy menggenggam tangan Federica dengan keringat dinginnya. Gessy tidak suka dengan kakak Ethan, mereka menyeramkan dan liar...

"Half blood? Wanita."

"Dia tidak lebih dari kelinci kecil."

"Aku tak bisa mencium aroma tubuhnya."

"Apakah dia bisa mengalahkan vampir?"

Federica mendengar semua yang mereka katakan dalam benak mereka masing-masing. Semuanya berkesimpulan bahwa Federica hanyalah gadis kecil yang bisa mati kapan saja meskipun darah half blood mengalir dalam tubuhnya. Dia mendengkus sambil mengumpat dalam hati.

Memangnya jika seorang half blood adalah wanita, kenapa? Apakah salah? batin Federica.

"Hai, Kak. Mereka kakakku, Fed," ucap Ethan sambil tersenyum. "Liar dan buas, seperti yang dikatakan Gessy."

Half Blood Queen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang