Bab 13

889 135 14
                                    

"Kau siap hari pertamamu?" tanya William saat berada di depan gerbang sekolah yang menjulang tinggi bercat maroon. "Kuharap kau akan menyukai sekolahmu ini, Nak." Dia memandang sekeliling gedung sekolah sambil menghela napas panjang.

Stella yang resmi mengubah semua identitasnya menjadi Federica Dawson tampak tersenyum dengan mata berbinar tak sabar dengan apa yang ada di sekolah. Setelah kurang lebih satu tahun belajar menulis, membaca, dan berhitung, kini gadis itu sangat antusias belajar di kelas. Tak lupa pula, dia mengasah insting dan kemampuan bertarung walau hanya sebatas menjelajahi hutan.

Menurut William, gadis pintar itu sangat cepat menerima hal-hal baru termasuk segala buku yang dibelikan untuknya. Federica bahkan rela tidak tidur semalaman hanya karena asyik membaca buku tentang ensiklopedia hewan dan alam termasuk sejarah dunia yang tiada habis Kadang pula seharian bergelut dengan deretan angka matematika tanpa mengenal rasa lapar.

Hingga pada akhirnya, William memberanikan diri mendaftarkan Federica ke sebuah SMA yang memakan waktu sekitar dua jam dengan angkutan umum. Sengaja pria tua itu memilih sekolah yang jauh agar persembunyian mereka tetaplah aman dan rahasia.

Federica menghela napas berat mengikuti irama dada William sambil memandangi gedung sekolah yang bertingkat tiga dengan cat warna putih dengan beberapa berwarna abu-abu. Banyak pohon-pohon yang besar yang mengelilingi setiap sudut gedung membuat sekolah itu tampak seperti bangunan tua. Dia melihat beberapa anak-anak mengenakan seragam seperti yang dikenakannya sekarang. Rok selutut berwarna biru tua, kemeja putih dengan rompi yang senada dengan rok. Tak luput juga kaki mereka dibalut kaus kaki yang hampir menutupi lutut dengan sepatu berwarna hitam. Rambut mereka pun kebanyakan diikat seperti ekor kuda dan bergoyang-goyang ketika mereka berjalan.

Iris cokelat hazel itu melihat banyak kabut-kabut yang mengelilingi manusia seperti kabut yang mengitari William. Bau tubuh mereka pun beraneka ragam; bau daging kalkun, bau keringat bercampur alkohol, bau lavendel, bau campuran bunga mawar dengan stroberi bahkan ada yang berbau seperti daging busuk. Huruf-huruf yang mengerubungi tubuh-tubuh itu ternyata kumpulan informasi berupa nama, tanggal lahir, tanggal kematian, serta huruf yang menyebutkan mereka manusia atau bukan.

Federica menyipitkan kedua mata bulatnya ketika menangkap sosok kabut hitam yang berdiri di sudut jendela sebelah kanan dari tempatnya berdiri. Baunya samar-samar seperti vampir yang dibunuh William waktu itu. Seorang anak lelaki berambut sedikit acak-acakan menatap balik dirinya dari jendela kaca yang berjarak sekitar lima ratus meter. Meski jauh, Federica bisa melihat kedua mata manusia jadi-jadian yang berwarna abu-abu, namun sesungguhnya memiliki iris mata merah yang tertutup softlens.

Nice trick! batin Federica.

"Fed?" panggil William membuyarkan lamunan si gadis rubah.

"Apa kau yakin bukan hanya ada manusia murni di sini?" tanya gadis itu tanpa melepas pandangannya pada sosok di jendela. Aku yakin dia vampir, bau tubuhnya tidak salah lagi, batin Federica.

William mengangkat kedua bahunya, "Aku bukan seperti dirimu yang bisa mendeteksi, tapi...," Dia mengeluarkan sebuah kantung berbahan beludru dari dalam tas kerjanya lalu menyodorkannya pada Federica.

"Pistol?" tebak Federica dengan menaikkan sebelah alis, menerima kantong itu. "You must be kidding me, William."

William tertawa, "Hanya sekedar jaga-jaga, Fed. Kau bisa melakukannya seperti sebelumnya, 'kan?" lelaki berjas abu-abu tua itu mendekat membisikkan di telinga anak angkatnya, "membunuh mereka maksudku."

"Iya, Ayah," jawab Federica memeluk pria tua yang kadang dipanggilnya dengan sebutan ayah. Dia memasukkan kantung itu ke dalam tas sambil tersenyum dan berkata,"Bye, take care."

Half Blood Queen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang