Terdengar suara sirene dua ambulans yang menggelegar jalanan menuju Royal Hospital, membawa tiga pasien korban kecelakaan lalu lintas. Seorang lelaki berusia enam puluh tahunan dengan perban di kepala serta luka gores di tubuh, sedang menangisi istrinya yang terbaring tak terkapar di atas brankar. Petugas ambulans sibuk melakukan tindakan medis dengan sesekali melakukan pijat jantung. Lelaki tua itu menangis sesenggukan, menyalahkan diri sendiri mengapa kecelakaan nahas ini terjadi pada keluarganya.
"Alice ...." lirihnya memanggil sang istri yang sedang mempertaruhkan nyawa. "Kau harus bertahan, Dear."
Petugas ambulans dengan label nama di dada kiri yang bertuliskan Norin terlihat tegang dengan peluh keringat yang membasahi dahi. Kedua tangan yang terbalut sarung tangan medis berlumuran darah karena harus menekan perdarahan di bagian paha kanan. Sementara petugas lain sibuk memasukkan obat ke dalam selang infus berharap bisa mempertahankan nyawa korban.
Lelaki tua itu semakin tersedu-sedu mendengar penjelasan Norin kalau istrinya dalam kondisi kritis akibat cedera di bagian kepala, dada, dan kaki. Harapan untuk selamat semakin menipis, bahkan dia pun tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan hidupnya yang sudah senja tanpa anak dan belahan jiwanya itu.
Ambulans berhenti tepat di lobi bertuliskan Emergency Room dengan pintu kaca yang langsung disambut oleh perawat dan dokter. Dua tubuh yang berlumuran darah itu ditarik begitu saja dari atas brankar dan dilarikan menuju ruang gawat darurat dengan suara-suara petugas medis yang saling memberi instruksi untuk menyelamatkan korban. Sementara lelaki itu di antar menuju ruang lain untuk diobati luka-lukanya.
Sejenak pikiran lelaki bernama William Dawson kini mundur pada musibah yang menimpa dirinya tepat di tikungan Lower Domain Road untuk menghindari seseorang yang mendadak muncul di tengah jalan. Antara percaya dan tidak, dia melihat seorang lelaki berambut sedikit panjang menutupi leher mengenakan kaus hitam dengan mata merah menyala dan mulut serta kedua tangan yang berdarah-darah. Tentunya William yang tidak percaya dengan hantu pun berusaha menampik apa yang dilihat. Dia tidak mungkin berhalusinasi di siang hari meski cuaca mendung di pertengahan musim gugur.
Namun, saat dievakuasi oleh petugas ambulans, William tidak melihat lelaki bermata merah itu. Dia menghilang seperti kepulan asap dan tak berjejak. William mengatakan kepada petugas bahwa ada lelaki yang berdarah-darah di mulut dan tangan, tapi mereka tidak percaya karena hanya keluarga William yang ada di tempat kecelakaan.
"Are you okay, Mr. Dawson?" tanya perawat yang baru saja selesai menutup luka-luka William, membuyarkan lamunan panjang lelaki berjanggut putih itu.
"Well ... ya, aku tidak baik. Aku memikirkan istri dan anakku, Nona. Tapi, apakah kalian pernah menerima korban kecelakaan di tikungan itu?"
Perawat berwajah oriental yang menangani William mengernyit sejenak kemudian mengangguk. "Beberapa minggu ini sering terjadi kecelakaan, Tuan. Dan sayangnya sering terjadi di tempat sama, seolah seseorang sengaja menaruh umpan di sana. Saya sangat prihatin atas apa yang terjadi pada Anda, Tuan."
"Apakah kau percaya bahwa aku melihat seseorang bermata merah di tikungan itu, Nona? Seseorang yang tiba-tiba muncul membuatku banting setir mobil dan dia menghilang begitu saja," ungkap William.
Perawat terdiam cukup lama sebelum akhirnya menyuruh pasiennya untuk beristirahat dan menjelaskan kronologi kecelakaan kepada polisi. Sedangkan William masih bertanya-tanya dalam benaknya sendiri, merasa begitu janggal dengan sosok lelaki misterius. Bagaimana mungkin lelaki bermata merah muncul dan hilang begitu cepat? Tidak ada manusia yang bisa menghilang sekali pun dia pelari terhebat.
"Mr. Dawson!" seru dokter yang muncul di ujung pintu perawatan. Wajahnya terlihat tegang dengan muka pucat membuat kedua bahu pria itu merosot seakan tahu tatapan dari wajah sang dokter.
###
Hidupnya serasa dijungkir balik oleh waktu yang kini tidak bisa diputar kembali. Entah sudah berapa lama, dia duduk dengan bahu terguncang menangisi dua orang yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Dadanya begitu sesak hingga untuk bernapas pun susah. Tak henti-hentinya dia menyalahkan waktu dan diri sendiri mengapa memilih jalanan yang menjadi perjalanan terakhir istri dan anaknya. Fisiknya memang jauh dari kata sakit, namun hatinya begitu hancur bahwa keluarga yang dicintai telah meninggalkan dirinya seorang diri.
William meratapi seorang diri di depan kamar jenazah setelah istri dan anaknya dinyatakan meninggal oleh dokter. Perdarahan hebat dan cedera parah membuat kondisi keduanya tidak bisa bertahan. Apalagi Jessica—putri satu-satunya yang dimiliki William mengalami cedera leher yang mempengaruhi organ pernapasan membuat gadis itu meninggal dunia terlebih dahulu daripada ibunya.
"Selamat sore, Sir," sapa seorang polisi membuat William mendongak. "Kami ingin meminta sedikit kronologi kejadian kecelakaan yang menimpa keluarga Anda."
Hati William semakin pilu. Dia memejamkan kedua mata berusaha menghilangkan semua rasa bersalahnya ketika polisi meminta mengulang kejadian nahas itu. Lidahnya terasa begitu kelu tak sanggup mengatakan apa pun.
"Tolong beri aku waktu sebentar, Tuan," pinta William seraya mengusap wajah dengan tangan kanan.
Polisi bertubuh tambun itu membisu tanpa membalas kalimat William. Di dalam benaknya, dia begitu iba, namun di sisi lain tugasnya kali ini menuntut untuk segera diselesaikan serta dilakukan investigasi dibalik peristiwa kecelakaan di Lower Domain Road yang selalu menelan korban jiwa.
"Aku akan kembali ke sini lima belas menit lagi, Sir."
Hening. Tinggallah William seorang di depan ruang jenazah ketika petugas kepolisian meninggalkan dirinya entah ke mana. Kedua mata yang berada di usia senja itu menerawang jauh membayangkan jika Tuhan memberinya satu kesempatan, William tak kan menyia-nyiakan waktu untuk menyelamatkan keluarganya. Tapi, semesta telah menuliskan garis takdir hidup seseorang. William tahu bahwa istri dan anaknya tak kan kembali, sekali pun dia memohon untuk menukar nyawa.
Sayup-sayup di antara udara musim gugur yang mulai memasuki waktu petang, William mendengar suara jeritan. Meski usianya sudah tua, namun indra pendengarannya masih tajam seperti saat dirinya muda. Beberapa kali William mencoba meyakinkan diri bahwa itu bukan halusinasi akibat kehilangan sanak keluarga.
Mengikuti naluri, pria berkemeja flanel merah itu beranjak dari tempat duduk lalu memasuki ruang jenazah. Bulu kuduknya meremang mengingat ruangan ini memiliki beberapa lemari khusus untuk menyimpan mayat. Dengan perasaan bercampur aduk, William melangkahkan kedua kaki menelusuri sumber suara di dalam ruangan yang dingin nan mencekam. Sejenak, dia menoleh pada brankar dengan dua tubuh yang tertutup kain putih dan bercak merah yang menembusnya.
Tidak mungkin pula 'kan, jika istriku berteriak? Tapi kenapa suara itu seperti berada di dalam lemari?
Tangan kanan nan keriput yang dibalut perban menyentuh lemari pendingin di sisi kanan ruangan. Dinginnya lemari berwarna silver dan berbahan besi semakin membuat nyali William ciut. Dirabanya satu persatu lemari itu seraya menajamkan seluruh indranya. Dia berharap ini hanya sekadar imajinasi konyol. Setidaknya dia tidak ingin bertemu sosok hantu meski pun dia berusaha untuk tidak percaya.
Tubuh jangkung William berhenti pada lemari bernomor 1205. Tangannya merasakan getaran di dalam sana diiringi suara jeritan yang semakin jelas. William tidak yakin, bagaimana bisa mayat di dalam suhu empat derajat bisa hidup kembali. Jikalau hidup, harusnya dia berteriak tidak sekencang ini akibat hipotermia.
"Help me!"
Terdengar suara perempuan dari dalam lemari itu. William mundur beberapa langkah dengan tubuh menggigil. Pikirannya yang tadi kalut mendadak diselimuti bayangan horor. Dia menelan ludah, lantas kembali mendekat dengan hati-hati untuk menyentuh lemari itu seraya memastikan bahwa apa yang dia sentuh adalah lemari berisikan mayat.
Tubuhnya gemetaran bukan main, kala berusaha meraih kunci yang tergantung manis di pintu 1205. Berbagai macam spekulasi berputar-putar di dalam kepala. Mungkinkah itu hantu atau seseorang yang baru saja berhasil melewati kematian dan mendapatkan kehidupan kembali. Sungguh kedua tungkainya sudah tidak bisa menahan beban badan William lebih lama, nyalinya benar-benar lenyap, rasa kehilangan yang dia alami tadi menguap entah ke mana. Berulang kali dia menelan salivanya sendiri berusaha meyakinkan diri bahwa apa pun yang ada di dalam lemari itu, William siap melihatnya.
Tapi, siapa di dalam lemari itu?

KAMU SEDANG MEMBACA
Half Blood Queen (END)
Fantasía#PEMENANG WATTYS 2020 KATEGORI PARANORMAL🎉 Bangkitnya Stella Rogers sebagai klan terakhir rubah merah berdarah campuran membuat para vampir berlomba-lomba memiliki darah Sang Half Blood. Meski telah mengganti nama, mengubah warna iris mata, hing...