"Siapa kalian?" teriak William seraya mengacungkan pisaunya. Tungkainya gemetaran, pandangan mata itu sama persis dengan apa yang dialaminya saat kecelakaan. Yang dia takutkan adalah mereka akan menyerang kemudian mencabik dan menguras habis darahnya tanpa tersisa, meninggalkan jasad William dengan mengenaskan.
Dua pria berambut pirang dengan gigi taring yang panjang melangkah secepat kilat lalu menendang pintu rumah William hingga hancur. Pria itu mundur beberapa langkah dengan bulu kuduk yang meremang, jantungnya bertalu-talu tidak karuan. Harusnya William berlari, menjauhi manusia yang jelas bukan manusia murni. Nyatanya, kedua vampir itu memang benar adanya, William tidak berhalusinasi bahkan saat kecelakaan terjadi.
"Mereka memiliki iris mata merah. Kulit pucat seperti porselen. Mereka tidak lebih seperti zombie, William. Kadang mereka lemah seperti kelinci tak berdaya, tapi mereka kadang bisa ganas seperti monster. Tapi, jangan takut. Kau tancapkan saja senjata perak ke jantung mereka."
Dengan gerakan cepat, William melempar pisau itu ke jantung salah satu vampir. Namun, gerakannya sangat mudah dibaca sehingga salah satu vampir dengan mudah menangkap pisau itu sambil menyeringai lalu berkata,
"Mencoba melawan, huh?" ejeknya. "Aku sungguh sedang tidak minat darah pria tua sepertimu."
"Apa mau kalian!" seru William dengan lutut yang sudah tidak bertulang lagi.
"Hanya permintaan kecil," kata vampir itu sambil mengelus bilah pisau dan menyayat tangannya sendiri hingga darah merembes. Dijilat pisau yang berlumuran darah seolah benda tajam itu bukanlah hal yang berbahaya. "Aku mencium aroma menyenangkan di sini. Bisakah aku mencicipinya setetes?"
"Ti-tidak!" pekik William dengan suara bergetar. Ah, dia tidak pandai berbohong.
Salah satu vampir yang memakai kemeja hitam geram lalu mendorong tubuh tua William ke tembok sambil mencekik lehernya. William terbatuk-batuk berusaha meraih leher vampir itu namun kekuatannya tak seimbang. Sang pengisap darah terlalu kuat untuk dilawan oleh pria berusia lebih dari separuh abad. Oksigen di paru-paru William makin menipis, tapi dia tidak ingin menyerahkan Stella begitu saja apa pun alasan mereka.
"Bagaimana bisa lidahmu mudah berkata bohong di saat detak jantungmu berdegup cepat?" geram vampir itu menatap William dengan tajam dibalik iris mata merahnya.
Beberapa detik kemudian tak disangka vampir lain berteriak keras ketika sebuah benda tajam menghunus jantungnya hingga tembus ke depan. Detik berikutnya, tubuh pucat itu tergeletak tak berdaya dengan kulit yang menjadi abu-abu. Vampir berkemeja hitam menghempas tubuh William hingga menghantam tembok sampai terbatuk-batuk dan merasakan nyeri di sekujur tubuh.
Vampir itu melangkah mengendap-endap di ruang tamu. Gelap. Namun, dia bisa mendengar suara detak jantung lain dengan aroma yang sungguh berbeda dengan aroma pria tua di sana. Aroma memabukkan yang mungkin tidak didapatkan manusia lain yang membuat mereka datang ke tempat ini.
Sesungguhnya dia begitu penasaran makhluk seperti apa 'dia'. Dia sebenarnya berbohong kepada William tentang menyembunyikan seseorang. Justru dia hanya menebak ketika melintasi kawasan ini untuk mencari mangsa. Sungguh dia harus mendapatkan 'dia' walau hanya setetes darah.
Tanpa disadari, Stella yang sedang bersembunyi di balik meja dengan membawa benda tajam yang diambil dari perabotan William secara acak. Napasnya memburu dengan degup jantung yang berdetak begitu cepat. Dia bisa membaca pikiran vampir yang sangat menginginkan darahnya. Sejenak gadis itu memejamkan kedua mata untuk memikirkan cara menyelamatkan diri dan William.
"Oh, kau di sini ternyata."
Suara itu berhasil membuat Stella menendang meja dengan kekuatan penuh hingga tubuh vampir terpental menghantam pantry. Bersamaan dengan itu, tangan kanan Stella menghunus benda tajam ke arah jantung vampir, tapi ternyata meleset. Vampir itu tertawa sambil bangkit mendekati Stella dengan gerakan cepat. Stella menghindar dan mendaratkan pukulannya tepat ke rahang tegas si vampir. Dia melihat ada beberapa kayu meja yang hancur berceceran, dengan sigap Stella mengambilnya lalu menusuk jantung vampir.
"Sial!" gerutu Stella ketika kayu meleset dan hanya menggores lengan kiri manusia jadi-jadian itu.
"Wow! Makhluk apa kau ini?"
Sadar akan perbedaan iris mata yang dimilikinya, Stella melempar semua barang yang ada. Sebaliknya, vampir itu melempar vas bunga tepat ke arah kepala Stella membuatnya berteriak kesakitan. Darah mengucur dari sela-sela rambut panjangnya membuat kedua mata vampir semakin berbinar. Dia menghirup aroma darah itu dalam-dalam. Aroma darah yang sangat berbeda dengan yang lain. Manis seperti madu.
Vampir itu sambil menjilat bibirnya sendiri. "Aromamu memabukkan."
Tak disangka William datang dan memukul kepala vampir itu dari belakang dengan keras. Bersamaan, Stella menghajar vampir dengan membabi buta. Dia tidak tahu cara bertarung dan hanya mengandalkan insting saja. Memukul rahang, meninju ulu hati hingga mematahkan lengan tanpa ampun. William melempar piala dengan ujung runcing milik anaknya yang terbuat dari perak lalu menikam dada vampir membuat darah muncrat mengenai wajahnya.
Vampir itu menggelepar dengan jeritan yang mengerikan, tatapan matanya membelalak seolah masih mendamba darah milik Stella sebelum tubuhnya berubah menjadi abu-abu.
William dan Stella saling berpandangan lalu melihat sekeliling mereka. Semua perabotan di rumah itu hancur berantakan. Mereka berdua masih tidak menyangka dengan kehadiran musuh di sini. William berjongkok mengambil bingkai foto keluarganya yang tergeletak di lantai.
"Kita harus pergi dari sini William," usul Stella. "Kita sudah tidak aman di sini. Bagaimana bisa mereka mengendus aromaku?"
William terangguk dalam diam menatap foto keluarga tercinta. Dia menatap Stella lalu berkata, "Kita memang harus pergi. Aku memiliki satu tempat yang aman untukmu, Stella. Dan, sepertinya ... mau tak mau, aku harus membuat sesuatu untuk menyembunyikan identitasmu."
Gadis itu melenggut. "Dan mataku. Aku takut mereka akan tahu siapa diriku sebenarnya dari warna mata ini, William. Apa kau punya pistol? Setidaknya kita harus berjaga-jaga selama perjalanan. Aku bukan ahli bertarung."
"Sebaiknya kita harus cepat. Dan sebaiknya kau memakai softlens."
![](https://img.wattpad.com/cover/213485101-288-k803715.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Half Blood Queen (END)
Fantasy#PEMENANG WATTYS 2020 KATEGORI PARANORMAL🎉 Bangkitnya Stella Rogers sebagai klan terakhir rubah merah berdarah campuran membuat para vampir berlomba-lomba memiliki darah Sang Half Blood. Meski telah mengganti nama, mengubah warna iris mata, hing...