"William, aku lelah, bisakah kita melanjutkan kisahku besok?" pinta Stella sambil menguap. "Rubah pun butuh tidur seperti manusia, bukan?"
William melirik jam dinding di tembok yang menempel di atas Stella. Waktu memang sudah menunjukkan pukul satu pagi. Begitu cepat bagi lelaki tua itu saat pikirannya masih mencerna satu demi satu kisah yang dibawa oleh gadis kecil di depannya. Namun, dia tidak tega dengan wajah lelah Stella yang sesekali menguap sambil menggaruk kepala. William bangkit dan menyuruh Stella tidur di kamar anaknya.
"Kau bisa tidur di sini," perintah William ketika Stella masuk ke kamar yang didominasi warna pink dan hiasan kuda poni.
Kedua mata berbeda warna itu menelusuri setiap benda di sana dan menangkap satu bingkai foto yang tergeletak di atas meja di samping beberapa buku di sudut kanan. Bau parfum mawar dengan sedikit vanila menggoda indra penciuman Stella. Aroma dari mendiang anak William masih berjejak walau si pemilik kamar telah meninggal dunia. Tangan kurus gadis itu meraih sebuah bingkai foto yang terpampang wajah William bersama keluarganya, kemudian dia menoleh menatap raut wajah si pemilik rumah yang bermuram durja.
"Putrimu cantik, William," puji Stella dengan tulus. "Istrimu juga. Kau beruntung memiliki mereka."
Bibir William mengatup rapat, menahan gejolak kesedihan yang kapan saja bisa meledak, kristal bening di pelupuk mata senja itu bergumul. Tapi pada akhirnya dia hanya bisa menganggukkan kepala menyetujui perkataan Stella. Tanpa banyak kata, pria tua itu segera menutup pintu lalu berjalan ke kamarnya dan berharap dia bisa bertemu istri dan putrinya dalam dunia mimpi.
####
Esoknya, William memasak beberapa menu sarapan yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan seumur hidup. Asap yang memenuhi dapur dengan bau gosong dari omelet membuatnya terbatuk-batuk. Sambil mematikan api, William mengangkat telur dadar di atas piring lalu menggaruk kepalanya bingung. Dia merutuki kebodohannya sendiri. Seharusnya dia menggunakan jasa drive thru dan memesan makanan tanpa bersusah payah seperti ini. Namun, kehadiran Stella yang mengingatkan pada mendiang Jessica membuatnya sangat ingin menunjukkan kebolehan walau gagal total.
Stella muncul ketika hidung lancipnya mengendus aroma seperti arang. Dia terkejut melihat perabotan William tampak seperti kapal pecah. Gadis itu berpikir, apakah semua manusia memiliki kebiasaan seperti itu?
"Selamat pagi, Stella," sapa William seraya membereskan peralatan dapurnya ke dalam wastafel.
Stella mengangguk. "Selamat pagi. Kenapa kau memasak arang?" tanya Stella dengan wajah polos membuat rona merah di pipi William muncul.
Sejenak pria itu terkekeh. "Maafkan aku. Itu bukan arang tapi omelet."
Memiringkan kepala sambil mengembangkan pipi, Stella berkata, "Omelet? Apa itu?"
Mau tak mau William tertawa keras hingga air matanya keluar. Dia lupa bahwa gadis di depannya ini bukan manusia biasa. Tangan kanan pria itu terulur menunjuk sebuah piring dengan dua omelet yang berwarna kehitaman.
"Semacam adonan telur dadar yang ditambahi beberapa potong sayuran," jelas William membuat anggukan di kepala Stella walau sebenarnya benda itu lebih mirip arang. "Apa yang kau makan, Stella?"
"Aku?" tunjuk Stella pada diri sendiri. "Aku suka makan buah."
"Buah? Kukira kalian akan memakan daging," kilah William sambil terkekeh. "Aku memiliki beberapa apel di kulkas di sana."
"Kulkas? Apa itu?" Stella kembali mengernyit.
William kembali tertawa, dia benar-benar mudah lupa jika Stella tidak tahu kehidupan manusia. Lalu dia pun melangkah mendekati kulkas di sisi kanannya dan mengambil tiga apel merah yang terlihat sangat segar.
"Kulkas adalah benda untuk menyimpan makanan dan minuman," jawabnya memberi apel itu kepada Stella. "Mereka membuatnya segar lebih lama dan terasa dingin saat kau menyentuhnya."
Gadis berambut ginger itu terkejut ketika tangan kanannya menerima buah yang terasa dingin. "Bagaimana bisa kulkas menjadikan apel ini dingin? Apa kalian menggunakan sihir?"
"Haha ... bukan. Kami menggunakan semacam freon agar kulkas bisa mendinginkan berbagai bahan makanan."
"Apa itu freon?" tanya Stella sembari menggigit apel, seketika rasa manis dengan sedikit asam nan renyah memanjakan lidahnya. "Aku sungguh tidak memahami bahasa kalian. Mengapa begitu banyak istilah aneh?"
"Manusia berkembang dari waktu ke waktu, Stella. Mereka selalu membuat perubahan untuk masa depan. Kau akan mempelajarinya sedikit demi sedikit. Bagaimana jika kau kumasukkan ke sekolah?" tawar William dengan harapan Stella bisa berbaur dengan kehidupan manusia.
"Sekolah? Apa itu?" Stella memiringkan kepalanya, kini dia begitu tertarik dengan kehidupan manusia yang lebih maju. Sayang, kemajuan yang dibuat manusia justru merugikan kehidupan lain seperti kepunahan beberapa hewan termasuk klannya yang pernah dibantai habis-habisan untuk menekan populasi.
"Sekolah adalah tempat manusia untuk belajar banyak hal. Kau akan mendapatkan berbagai macam hal baru tentang dunia kami," jawab William antusias.
Stella menatap kedua mata William sambil menelan makanannya. "Jika aku bisa mendapatkan banyak hal baru darimu kenapa aku harus sekolah? Bukankah sama saja?"
William tertawa. "Tidak semua hal bisa kuajarkan kepadamu. Kau perlu mencari teman baru yang seusia denganmu, Stella."
Gadis itu manggut-manggut meski dalam kepalanya masih banyak yang ingin ditanyakan. Namun, tiba-tiba terdengar suara pecahan dari arah depan rumah. Mereka berdua bertatapan, jemari telunjuk kanan Stella menempel di bibir mengisyaratkan William diam. Mengingat kebangkitan dirinya pasti memantik sesuatu untuk mendatangi tempat di mana dia berada. Dari aroma tamu tak diundang itu, dia bisa mencium bau darah bercampur sesuatu yang busuk.
Vampir sialan!
"Kau bawa itu!" tunjuk Stella ke pisau yang tergeletak di wastafel. "Mereka bukan manusia."
Mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan gadis kecil itu, nyali William langsung menciut. Banyak spekulasi serta bayangan aneh yang menjalari otaknya bagaimana rupa makhluk yang mengganggu ketenangan di pagi hari ini. Jika saja itu ulah anak-anak remaja, sudah pasti William akan mengadu kepada orang tua mereka. Namun, jika 'mereka' bukan manusia, lantas kepada siapa William mengadu.
"Aku bersembunyi di sini," bisik Stella menunjuk meja makan di belakangnya. Pria itu mengangguk lalu mencari sumber suara seraya membawa pisau di tangan kanan.
Betapa terkejutnya saat William melihat dua manusia berkulit pucat dan bermata merah sedang menatapnya seram. Dia menelan ludah melihat pecahan kaca jendelanya dihancurkan oleh manusia asing dengan batu besar, juga menghancurkan vas bunga kesayangan Alice. Di pikirannya, jika manusia itu bukanlah makhluk buas, pastinya pisau ini sudah menusuk mereka. Sayang, tatapan mata merah menyala penuh murka, menandakan William tak tahu apakah masih memiliki peluang untuk hidup melawan mereka.
Jesus! Apa aku akan mati semudah ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Half Blood Queen (END)
Fantasi#PEMENANG WATTYS 2020 KATEGORI PARANORMAL🎉 Bangkitnya Stella Rogers sebagai klan terakhir rubah merah berdarah campuran membuat para vampir berlomba-lomba memiliki darah Sang Half Blood. Meski telah mengganti nama, mengubah warna iris mata, hing...