"Kamu perempuan teraneh yang pernah aku kenal."
"Cara berpikirku memang beda mas."
"Sejak kapan?"
"Sejak jadi janda."
"Apanya yang beda?"
"Cara aku memandang hidup, cinta, pernikahan, pertemanan. Kamu yakin kan kalau aku bukan perempuan yang suka bergantung pada laki laki. Aku punya penghasilan yang lebih dari cukup. Aku cuma nggak mau lagi merasakan sakit.
Bolak balik ke pengadilan. Melihat wajah sedih ibu dan bapak. Mencoba berjalan tegak dibawah tatapan penuh curiga dan kasihan orang lain. Mengasihani diriku sendiri setiap malam.
Sampai kemudian aku merasa harus pura pura bahagia supaya nggak ditanyain lagi. Aku capek mas." Ucap Laras pelan.
Entah kenapa rasanya seketika dadanya plong. Sudah lama ia tidak punya tempat cerita. Biasanya semua ditelan sendirian. Entah kenapa ia percaya pada Benua. Orang yang belum lama dikenalnya. Mungkin karena pria itu terlihat kalem. Tidak meledak ledak seperti dirinya.
"Mau berbagi terus denganku?" Tanya Ben lagi.
"Aku cuma masih sulit berbagi waktu karena pekerjaan. Sisanya nggak masalah."
"Kamu tentukan dan siapkan tempat pernikahan kita. Aku akan datang begitu kami bilang ok."
Kali ini, Laras yang terdiam.
"Mas yakin?"
"Seyakin yakinnya. Tapi satu yang harus kamu ingat. Aku serius dengan perkawinan. Tidak berdasarkan nafsu atau juga kasihan sama kamu. Aku sedang butuh pendamping. Juga orang yang bisa membawaku keluar dari patah hati.
Jadi kalau dari aku, pernikahan ini bisa saja nanti kita legalkan. Dan aku harap, jangan macam macam. Apalagi kalau kamu ketemu pria lain kemudian berharap saya menjatuhkan talak. Jadi pikirkan keseriusan saya."
"Keluarga mas?"
"Ini hanya untuk kita. Saya tidak mau lagi ada hambatan dalam pernikahan. Panjang ceritanya. Nanti kalau ada waktu saya akan ngomong semuanya ke kamu. Kamu serius kan?"
"Aku juga serius mas."
***
Laras menatap jalanan dibawah sana dari lantai tiga puluh kantornya. Hari sudah malam. Ia kembali termenung, memikirkan kalimat kalimat percakapan kemarin. Seketika kepalanya terasa pecah.
Ia, yang entah mendapat pemikiran darimana. Tiba tiba menawarkan pernikahan. Siri pula! Bukan... bukan ia menyesal. Karena sebenarnya banyak yang jauh lebih ia sesali dalam bidup. Hanya saja, kenapa kali ini ia bertemu dengan pria yang sama gilanya?
Laras menarik nafas panjang. Memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Belumlah terlambat kalau ia meminta mundur. Dan yakin, kalau Ben akan mengerti. Itu bukanlah solusi dari niat awalnya.
Tapi jujur, ia letih sendirian. Jangan berpikir seperti pandangan banyak orang. Seks! Bukan itu. Ia merasa ada yang salah dengan hatinya. Dengan perasaannya! Laras merasa sudah terlalu lama berkubang dalam masalah yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENUA / Terbit Di IBUK / Fast Order
General FictionBagi banyak orang, move on itu mudah. Tapi bagi Benua susahnyaminta ampun.