Laras menangis keras. Kemarahan Ben membuatnya takut. Lama mereka memilih diam ditempat masing masing. Sampai akhirnya Ben masuk kembali dan menatapnya lembut.
"Mas minta maaf," ucapnya pelan.
"Aku yang salah mas. Nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama aku."
"Aku pernah mengalaminya, sudah lebih dari dua tahun yang lalu. Dan aku tahu apa yang kamu rasakan. Melihat dia tersenyum bahagia, rasanya sakit sekali. Karena selama ini akulah sumber senyumnya.
Tapi tidak ada jalan lain selain belajar melupakannya. Sebesar apapun cintaku, dia sudah menjadi milik orang lain.
Sadari juga itu Ras. Kamu menyesalpun nggak akan berguna. Apalagi marah dan menangis!"
Kemudian pria itu meraih istrinya masuk kedalam pelukan. Mengelus rambut Laras dengan lembut.
"Kita sudah melangkah sejauh ini. Tidak ada lagi tempat untuk sesuatu yang bernama penyesalan. Jangan pertanyakan perasaanku terus Ras. Karena kamu tahu jawabannya.
Ras, aku sayang sama kamu. Aku mau kamu juga belajar hal yang sama. Dengan ucapan kamu tadi, aku berpikir kamu nggak benar benar serius menjalani pernikahan."
"Aku bersedia karena ingin punya pendamping. Punya istri yang benar benar istri. Aku sama dengan laki laki lain dalam harapan tentang sebuah rumah tangga.
Tapi aku juga mengerti kamu dengan identitasmu selama ini. Aku nggak minta kamu berhenti bekerja. Karena aku tahu kamu butuh itu. Kita juga harus lebih saling mengenal. Kita sama sama butuh waktu. Jangan selalu berpikir tentang akhir pernikahan. Berpikirlah bagaimana cara kita mempertahankannya. Tugas kita masih banyak."
Laras akhirnya mengangguk dan membalas pelukan suaminya.
"Aku minta maaf, sudah bikin mas marah."
"Mas juga minta maaf dek, sudah ngomong keras tadi." Bisik sang suami.
***
Laras kembali menjalani kehidupannya. Pekerjaan menumpuk yang harus diselesaikan. Tapi ia bersyukur, karena masih punya jatah cuti sepuluh hari. Ditambah dengan libur kantor selama tiga hari. Meski belum ada rencana mau kemana.
Dulu, ia akan menghabiskan akhir tahun di Bali. Lalu pulang kerumah orang tuanya. Tapi sekarang, ia harus membagi dengan Ben. Meski belum ada jawaban pasti dari sang suami. Karena setiap kali dibicarakan, pasti menghindar.
Tapi Laras tidak kehabisan akal. Akhir minggu ini mereka akan bertemu di Semarang. Ia berjanji dalam hati akan membicarakannya disana.
Ingat Semarang, perempuan itu kembali mengingat sang mantan suami. Dirga berasal dari sana. Keluarga besarnya juga tinggal disana. Dulu, bagi Laras itu adalah rumah kedua. Bahkan mereka sempat memiliki rumah disamping rumah milik mertuanya dikawasan Graha candi Golf.
Ia paling malas kembali kesana. Tapi berhubung Ben sedang ada urusan di kota tersebut, ia tidak bisa menolak. Mau tidak mau, Laras harus kembali menginjakkan kaki disana.
Jumat jam enam sore, perempuan bertubuh sintal itu sudah menginjakkan kaki di Bandara Ahmad Yani. Ben menjemputnya dengan senyum sumringah. Setelah mencium tangan sang suami, keduanya masuk ke mobil.
"Mas beli mobil baru?" Tanya Laras saat sudah duduk nyaman di dalam mobil jenis van tersebut.
"Enggak, cuma mobil ini biasa parkir di rumah sakit. Karena garasi rumah nggak muat."
KAMU SEDANG MEMBACA
BENUA / Terbit Di IBUK / Fast Order
General FictionBagi banyak orang, move on itu mudah. Tapi bagi Benua susahnyaminta ampun.