Ada beberapa yang dm dan komen di IG. Nggak ada benua di library mereka. Coba cari dimesin pencari deh. Karena di library saya juga nggak ada. Padahal sudah saya add. Hanya saya karena saya penulisnya. Cerita ini tetap ada di akun saya.
Memang ada beberapa yang saya blokir. Karena protes tentang nikah siri itu berkali kali. Kalau cuma sekali sih masih saya biarin. Karena bisa aja itu jadi masukan untuk cerita saya yang akan datang. Penulis itu juga butuh penyeimbang. Meski nggak semua saya dengerin.
Jadi saya pikir, yang protes banyak itu mungkin nggak cocok dilapak saya. Maaf🙏🙏🙏🙏
***
Laras terhenyak dengan kalimat ibu. Dadanya terasa sesak dengan pertanyaan yang diluar dugaannya itu. Tidak tahu mau menjawab apa. Namun kalimat ibu selanjutnya membuatnya lega.
"Dokter Ben itu baik, nggak sombong. Meskipun punya segalanya. Ramah dan suka menolong. Meskipun pebisnis, dia tetap pakai hati nurani." Pujian terdengar dari mulut ibu.
Laras hanya mengangguk.
"Cuma ya itu, yang ngejar banyak. Pasti dia nggak akan melihat kita." Kali ini kalimat ibu terdengar lesu.
"Siapa saja bu?"
"Salah satunya keluarga pak Subroto. Jasmine yang baru baru ini menang di Jawa timur. Meski kalah di Jakarta. Dia benar benar ngejar dokter Ben. Didukung keluarganya malah. Tiap minggu hampir seluruh keluarga besar subroto muncul di halaman rumah sakit. Belum lagi, Nadia yang anaknya pak Sekda. Ah, masih banyak lagi Ras."
"Dokter Bennya?" Tanya Laras dengan wajah memerah menahan kesal.
"Ya tetap ramah. Cuma kan ibu nggak tahu gimana hatinya. Tapi kayaknya kalau kita nggak akan masuk hitungan ya Ras. Mereka masih gadis semua. Padahal ibu sama bapak, senang sekali lihat dokter Ben."
"Oh ya, ibu mau aku menikah lagi?"
"Umurmu semakin tinggi. Ibu dan bapak nggak akan bisa selalu menemani kamu." Jawab ibu sambil meraih tangannya.
Seketika Laras merasa sesak. Setahun terakhir ia memang jarang berkomunikasi dengan kedua orangtuanya. Tenggelam dalam kesibukan atas nama mengobati patah hati. Tanpa memedulikan usia mereka yang sudah sepuh dan juga butuh teman.
"Sudah jam sepuluh, kok bapakmu belum datang ya?" Tanya ibu dengan cemas.
"Aku telfon aja dulu bu."
Bu Suseno mengangguk. Membiarkan putrinya menghubungi suaminya.
"Sudah jalan pulang bu. Ibu kok tadi nggak ngantar?"
"Kepala ibu pusing. Malas kemana mana. Makanya berangkat sama Yono. Tapi tadi mobil sudah diantar ke rumah. Katanya bapakmu masih ngobrol. Dan akan diantar temannya."
Tak lama terdengar suara mobil pak Suseno memasuki garasi. Pria tua itu terkejut menatap putrinya sudah berada di rumah.
"Loh, Laras kapan datang? Kok nggak ngabarin?" Ujar bapak sambil memeluknya erat. Terlihat sekali rindunya pada sang putri bungsu.
"Iya pak, dari sore. Bapak sama siapa?" Tanya Laras sambil melihat mobil yang parkir di depan halaman.
"Dokter Ben, katanya mau antar bapak. Praktek akhir akhir ini penuh terus. Pasiennya banyak, bapak yang terakhir tadi. Akhirnya ditawari pulang bareng. Karena Yono sakit perut. Kalau sudah malam kan bapak kurang awas matanya."
Laras hanya mengangguk. Saat melihat Ben turun dari mobil. Ia hanya bisa menahan tawa. Sementara ibu yang tahu kalau Ben datang segera ke teras.
"Loh, ada dokter Ben. Ayo silahkan mampir dulu." Sapa ibu sambil tersenyum sumringah. Tampak ia sedang bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENUA / Terbit Di IBUK / Fast Order
General FictionBagi banyak orang, move on itu mudah. Tapi bagi Benua susahnyaminta ampun.