Malam ini, ketika langit hitam pekat tanpa taburan bintang, seorang gadis meringkuk memeluk lututnya di sudut ruangan yang telah menjadi dunianya—dunia kesunyian. Menenggelamkan kepalanya di antara kedua kakinya, tergugu dalam isak yang tertahan.
Sayup-sayup terdengar lagu West Life berjudul Please Stay yang mengalun indah dari CD player kamar itu. Entah sudah berapa kali lagu itu berputar menemani kesunyian ini.
Penampilannya yang berantakan, rasanya Ia lebih pantas disebut vampir ketimbang disebut manusia normal. Ia mengurung diri, mengunci jiwa yang lelah, dan membiarkan luka hati yang semakin menganga. Perih. Semua terasa menyakitkan saat dirinya harus menghadapi apa yang saat ini terjadi dalam hidupnya.
Teriakan demi teriakan, suara-suara yang saling bersahutan, juga hentakan-hentakan barang yang terlontar pun berserak masih terngiang jelas dalam pikiran. Walaupun kini, tak lagi terdengar suara apapun di bawah sana—tepat di bawah kamarnya. Suasana kembali senyap seperti sedia kala, saat kedua insan yang notabene sebagai kedua orang tuanya itu belum bertengkar. Selalu saja seperti ini. Apakah mereka tak pernah menyadari bahwa ada seorang gadis yang benar-benar terluka di sana? Apakah mereka sama sekali tak memikirkan perasaan putrinya—Afrela Arelya Hendrawan? Apakah Frela tak teranggap? Tak teranggap?
'Prak!!' hentakan keras yang lebih jelas terdengar di telinganya membuat jantung Frela berdegup tak beraturan. Suara yang ia yakini berasal dari balik dinding di belakangnya. Apa yang terjadi di balik dinding ini? Apa yang terjadi di sebuah kamar yang bersebelahan dengannya? Apa yang terjadi dengan pria itu? Kakak!
***
Berdirilah Frela di ambang pintu kamar kakaknya. Ia mematung pias. Dilihatnya sosok pria yang berusia beberapa tahun diatasnya itu berlutut tak berdaya dengan tangan yang terkepal bersimbah darah, juga sebuah cermin yang pecah di hadapannya. Air mata Frela kembali mengalir. Ada apa dengan kakak? Tanya menguasai benaknya lalu ia berlari dan memeluk kakaknya.Afrito Karang Hendrawan. Pria penghuni kamar yang bersebelahan dengan kamar Frela itu memejamkan mata. Tubuhnya bergetar, merasakan sakit yang mendalam ketika batinnya harus terpukul berkali-kali. Di tempat inilah, seharusnya ia bisa merasakan kenyamanan. Seharusnya, di sinilah tempat ia berteduh dari segala kepenatan. Apa yang menimpanya saat ini, benar-benar telah membuatnya kacau. Ia berharap, dengan adanya ia pulang ke rumah, ia bisa beristirahat sejenak. Melepas segala sesak yang menyiksa batinnya. Namun, harapannya pupus. Ia pulang saat kedua orang tuanya tengah bertengkar. Sampai kapan mereka terus seperti ini? Sampai kapan? Masih layakkah tempat ini kusebut sebagai rumah? Saat seharusnya, rumah menjadi tujuan terakhir untuk pulang. Namun apa yang terjadi sekarang? Tanpa kehangatan, penuh kebencian. Tiada lagi kata pulang untuk rumah yang berantakan, batinnya berteriak.
Afrito memandang bayangan wajahnya pada cermin di hadapannya. Kuyu dan pucat. Bahkan ia merasa dirinya seperti mayat hidup. Ia mengepalkan tangan kanannya dengan kuat dan menghantamkannya pada cermin. Cermin pecah seketika. Cairan kental berwarna merah, perlahan menetes. Ia jatuh berlutut tak berdaya, mengabaikan segala perih yang menjalar di tubuhnya. Hingga sosok perempuan yang sama berantakannya berdiri mematung di ambang pintu. Adiknya itu tengah menyaksikan dirinya yang benar-benar hina. Dan perlahan, emosinya mereda saat Frela memeluk tubuhnya erat. Merasakan tubuhnya terasa ringan.
***
Kita terlahir di dunia ini, bukan dengan suatu alasan. Tetapi, dengan sebuah tujuan; menemukan arti kehidupan—sebagai makhluk ciptaan Tuhan.