Senja sore itu, memang tak sejingga biasanya. Matahari seolah bersembunyi lebih cepat karena tertutup awan hitam yang bergelayut manja di angkasa. Sesosok remaja dengan kaos abu-abu dan celana selutut itu tengah asyik melukis di balkon kamarnya. Bertemankan secangkir teh hijau hangat dan biskuit cokelat.
Fokusnya teralihkan ketika sebuah mobil berwarna hitam memasuki halaman rumahnya. Seorang pria dan seorang wanita keluar dari sana dan sang wanita bergelayut manja di lengan sang pria yang mengenakan jas cokelat tua. Remaja ini mengerang kesal melihat adegan itu. Dia benar-benar benci ketika harus melihat ibunya berlaku seperti itu. Ia menghempaskan kuasnya di lantai dan membiarkan lukisannya yang belum selesai terbengkalai. Lalu ia bergegas keluar kamar, menuruni anak tangga, dan segera membuka pintu sebelum salah satu dari dua sejoli itu meraih handle pintu terlebih dahulu.
"Ah, hai Arfan! Mama tak mengira kamu akan menyambut kami." Wanita yang menyebut dirinya sebagai mama itu terlihat senang. Sementara remaja yang dipanggil Arfan itu memasang wajah masam dan tatapan tajam ke arah pria yang diyakininya telah berkepala empat yang ada di sisi ibunya, seakan hendak menyemburkan api pada pria tersebut.
"Bisakah anda pergi dari rumah ini sekarang juga?" Arfan menudingkan jari telunjuknya tepat di wajah pria yang dikenalnya bernama Pak Wan, atasan di kantor tempat ibunya bekerja.
"Arfan, kamu yang sopan dong!" ketus Nira, wanita single parent yang membesarkan seorang putra bernama, Arfan. Suaminya, Dewo, meninggal 7 tahun lalu karena sebuah kecelakaan, saat Arfan masih berusia 10 tahun.
"Harus berapa kali Arfan bilang, Ma, kalau Arfan nggak suka mama dekat dengan orang ini? Dia nggak akan pernah bisa gantiin papa, sampai kapanpun!" sahut Arfan tak kalah ketus. Sementara jari telunjuknya terus menuding pada wajah Wan.
"Dengarkan mama dulu, Arfan!"
"Cukup, Ma. Alasan apapun Arfan takkan pernah menerimanya. Sekarang, tinggal Mama yang menentukan. Mempertahankan Arfan, atau pria di samping Mama?!" Sejurus kemudian, Arfan mengambil langkah lebar menerobos gerimis tipis di luar, meninggalkan Nira yang berusaha berteriak memanggil namanya dan Wan yang seolah membeku di tempat.
***
Berdirilah Arfan di depan sebuah pintu rumah minimalis berinterior klasik dan ditekannya bel pintu beberapa kali. Sedang ujung-ujung rambut Arfan mulai meneteskan sisa-sisa titik air hujan yang telah mengguyurnya, juga bajunya yang tak lagi kering. Dirinya merasa bodoh ketika nekat menerobos gerimis yang semakin lama semakin lebat tanpa berbekalkan payung ataupun jas hujan untuk sampai ke rumah ini. Sepuluh menit perjalanan ditempuhnya dengan berjalan kaki setelah ia turun di halte BRT (Bus Rapid Transit) terdekat. Pikirannya seakan terhambat ketika harus dikuasai emosi. Di rumah sahabatnya ini, berharap dia bisa melupakan sejenak titik penatnya.
Ditekannya kembali bel pintu tersebut, ketika tak kunjung terdengar suara sahutan ataupun tanda-tanda adanya aktivitas sang penghuni rumah di dalam. Satpam jaga di depan yang tadi sempat membukakan gerbang dan mempersilahkannya masuk, belum juga menampakkan batang hidungnya setelah tadi berpamitan membeli jas hujan. Arfan mulai menyerah. Sepertinya memang rumah ini sedang kosong. Dia juga bertanya-tanya sendiri, ke mana gerangan sahabatnya itu, apa dia belum pulang dari toko buku tadi? Padahal, Arfan melihatnya dalam keadaan sedang terburu-buru dan Arfan mengira bahwa sahabatnya itu ingin segera pulang.
Akhirnya, dirinya memilih untuk duduk di teras, menikmati keheningan juga dinginnya suasana hujan. Langit di luar semakin menggelap dan menghitam. Hari beranjak malam, dan dia enggan beranjak pulang.
Mengingat toko buku, tiba-tiba dirinya juga mengingat pertemuannya dengan Frela. Dia tersenyum geli mengingat wajah kesal Frela saat tak sengaja ia tabrak, juga saat tubuh gadis itu harus tersiram air kopi karena menghindarinya, dan masih terekam jelas ekspresi gugup ketika tertangkap basah sedang mengamatinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/215573000-288-k13983.jpg)