Seorang gadis dalam balutan kemeja polos berwarna biru, tengah berdiri menikmati pemandangan jalan raya-yang penuh sesak dengan kendaraan beroda dua dan empat-dari atap gedung berlantai 6 rumah sakit. Rambutnya yang dibiarkan tergerai, sesekali tertiup angin hingga menutupi wajahnya. Tatapannya terlihat tak bernyawa. Tersirat akan ketegaran dan kerapuhan.
Di tangannya, sebuah buku bersampul cokelat tergenggam bersama sebuah pulpen yang terselip di kawat ulir buku itu. Sejurus kemudian, dia menjatuhkan tubuhnya di tepi atap dan menjuntaikan kedua kakinya ke bawah.
Nalinka Raditha. Remaja berusia 16 tahun yang tengah merasakan pahitnya hidup 7 tahun belakangan. Melupakan kenangan 8 tahun sebelumnya, saat hidupnya masih terasa berwarna. Dulu bersama ayahnya, dia selalu melihat pelangi dari atap rumahnya selepas hujan. Bercanda dan berbagi cerita, serta meletakkan mimpi bersama. Namun, kini semua berbeda. Semua tak lagi sama. Asa yang ia rajut berakhir sia-sia. Sosok yang menjadi alasannya untuk tetap berdiri tak lagi ada. Hilang bersama keegoisannya, menganggap semua tak lagi menyayanginya. Lantas, aku ini apa? Tak kasat matakah untuknya? batin Nalin berteriak getir.
Diraihnya buku bersampul cokelat itu. Membuka lembar demi lembar halamannya. Kisahnya tergurat rapi di sana. Sebelum dan sesudah pria itu pergi dari hidupnya. Hingga detik ini, dia masih bertanya. Apakah masih ada nama Nalin dalam hatinya?
"Kenapa bolos sekolah?" Sebuah suara di belakang Nalin mampu mengejutkannya seketika. Jantungnya seolah ingin mencelas keluar dan tubuhnya hampir saja terbang melayang ke bawah sana.
Nalin menghela nafas berat. Dia hafal betul suara itu. Tanpa menolehkan wajah sedikitpun, dia berucap, "Kalau lo mau liat gue mati lebih awal, nggak gini caranya, Ke. Pilih salah satu. Mau liat gue jantungan, atau gue terjun bebas. Nggausah dua-duanya. Gue nggak mau paket spesial." Walau terucap datar dan terkesan santai, kalimat ini tetap saja menukik tajam membuat Kean ikut menghela nafas.
Lalu pria yang masih dalam balutan seragam putih abu-abunya itu beringsut duduk di samping Nalin. Menatap lurus ke depan, mencipta keheningan panjang.
***
Sedari tadi Frela memutar-mutar ponselnya. Nomor asing yang menghubunginya 2 hari lalu tak lagi muncul di layar ponselnya tersebut. Sama sekali tak membalas pesan terakhirnya. Padahal, dirinya benar-benar penasaran siapa yang telah mengiriminya pesan-pesan itu.
Perpustakaan hampir tutup, dan dirinya masih enggan untuk beranjak. Inilah kebiasaan barunya sepulang sekolah lima hari terakhir. Menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca novel. Namun hari itu berbeda. Dia hanya melamun, menyumpalkan headset di telinganya dan memutar lagu-lagu kesukaannya.
Sepuluh menit sebelum perpustakaan itu benar-benar tutup dan harus diusir oleh penjaganya, Frela beranjak keluar. Ia menyempatkan mengedarkan pandang ke seluruh penjuru sekolah yang terlihat sepi. Hanya tersisa segelintir anak yang masih berkutat dengan aktivitasnya, termasuk dirinya.
Lalu, dia mulai melangkahkan kakinya menyusuri koridor. Saat dirinya melintasi ruang musik, telinganya menangkap samar sesuatu yang terdengar di dalamnya dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dari celah itu pula, dia menyembulkan kepalanya. Dan kini, terlihat jelas sesosok pria yang duduk membelakanginya tengah bermain piano. Alunannya terdengar begitu menenangkan. Frela tertegun sejenak. Punggung yang tak terasa asing, namun tak ia kenali.
Karena saking menikmati alunan piano tersebut, Frela pun memejamkan matanya dan beberapa saat kemudian, pintu yang menjadi tumpuannya terdorong tanpa sengaja hingga tubuhnya berdebum cukup keras pada lantai disertai pekikan kecil. Permainan piano terhenti seketika. Derap langkah kaki buru-buru mendekati Frela. Dua tangan kokoh itu membantunya berdiri dan mata mereka bertemu.