Frela meraih ponsel di atas nakas yang sejak semalam telah dia lupakan. Dan kini, ponsel itu dalam keadaan mati. Ia yakin ponselnya kehabisan baterai walaupun selama seharian dia tak menggunakannya.
Selesai menghubungkan kabel charger-nya dengan saluran listrik, Frela merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Mengistirahatkan badan dan pikirannya, setelah seharian berada di sekolah.
Beberapa saat kemudian, dia kembali mengambil buku catatannya dari laci meja. Menuliskan sesuatu di sana.
Aku bukanlah sosok yang terlahir sempurna di dunia ini. Aku hanyalah makhluk-Nya yang dianugerahi sebuah paket yang di namakan kehidupan. Dalam hidup pun, seringkali aku menemukan paket-paket yang tanpa kusadari bahwa itu suatu bentuk skenario-Nya. Ketika hati ini merasakan suatu kesedihan, percayalah kesedihan itu hadir satu paket bersama dengan kebahagiaan. Begitu pula sebaliknya. Hanya perlu percaya, akan kuasa-Nya. –A-
Sejenak, Frela menghela nafas panjang. Ia ingin menceritakan hari-harinya di sekolah kepada orang tuanya. Membagikan apapun yang ia rasakan. Apa yang terjadi di hari ini, misalnya. Tapi, mungkin itu hanyalah sebuah pengharapan. Ia kembali menghela nafas dan memutar bola matanya.
Beberapa saat setelah itu, terdengar bel pintu rumah berbunyi. Seseorang pasti ada di luar sana. Frela segera berlari menuruni anak tangga. Membukakan pintu untuk tamu yang entah siapa.
"Kean?" Frela tertegun. Baru saja ia memikirkan pria berkacamata ini, sekarang dia sudah ada di hadapannya.
"Hai, Fre! Kaget ya gue tau-tau di sini?" Kean yang terlihat santai dengan kaos berwarna hitam dan celana jeansnya itu terkekeh.
"Kamu bisa tau rumahku dari mana?" tanya Frela.
"Dari temen yang bareng sama lo tadi."
"Alita?"
"Iya. Emang siapa lagi yang bisa gue tanyain? Nyerah gue ngehubungin lo nggak bisa."
"HPku mati Ke. Tapi, bentar-bentar. Aku masih nggak paham kok kamu bisa nanya Alita?"
"Tadi ketemu di klub fotografi"
"Ohh..." Walau terdengar mengerti, tapi Frela nampak berpikir, sejak kapan sahabatnya itu tertarik dengan dunia fotografi. "By the way, kamu ke sini mau nagih jaket kamu? Kan belum aku cuci."
"Bukan. Gue ke sini sebenernya bukan mau nagih jaket. Jaket mah disimpen lo dulu aja nggak masalah."
"Terus mau apa?"
"Temenin gue yuk?"
"Ke mana?"
"Ada deh. Ikut aja pokoknya." Eskpresi Kean terlihat ganjil dan tampak menyembunyikan sesuatu.
"Asal nggak aneh-aneh dan macem-macem loh ya." Frela menudingkan jari telunjuknya ke wajah Kean.
"Janji deh! Udah, siap-siap sana! Rambut lo keliatan berantakan banget. Gue tunggu di sini," ucap Kean sambil terkekeh. Frela mengangguk setuju dan segera berlari menuju kamarnya untuk bersiap-siap.
***
"Kita naik apa, Ke?" tanya Frela setelah ia kembali ke teras.
"Naik itu! Nanti lo bonceng di belakang. Berdiri nggak papa kan?" Kean menunjuk sebuah sepeda gunung warna biru miliknya yang terpakir di halaman.
"Kamu yakin?" Gadis dengan balutan kemeja santai dan celana jeans itu menatap sangsi pria yang ada di hadapannya.
"Kenapa? Lo malu kalau naik sepeda, atau ngga mau bonceng berdiri?
"Bukan, bukan masalah itu. Aku kan berat, Ke."
"Lo bilang lo berat? Gue nggak yakin. Lo sama beras sekarung aja, pasti kalah deh." Frela mendengus sebal.