"Jadi, bapak memanggilmu ke sini karena bapak ingin memberi informasi bahwa dari berbagai pertimbangan yang ada, kamu, Ardeofan Elkagio, bisa ikut tes untuk loncat kelas." Pak Woto membenarkan letak kacamatanya dan menatap Arfan penuh keseriusan.
Mendengar hal tersebut, Arfan mengerutkan keningnya. Tentu saja dia terkejut. Bukankah waktu itu pengajuan loncat kelasnya tidak diterima? Arfan memang mengajukan untuk mengulang di bangku kelas 2 saja. Setidaknya itu lebih baik ketimbang harus mengulang di kelas 1, karena dia merasa akan terlalu tua duduk di bangku SMA. Namun saat itu, pak Woto bersikeras untuk tetap menempatkannya di bangku kelas satu.
"Kenapa sistemnya berubah, Pak?" tanya Arfan.
"Kami hanya ingin memberimu kesempatan untuk mencoba. Kamu bisa mempersiapkannya dengan materi-materi kelas 1 dan sedikit materi di kelas 2. Jika kamu memang anak cerdas, kamu pasti bisa melewatinya. Tapi, semua itu kembali lagi pada dirimu. Akan mengambil kesempatan ini, atau tidak. Bagaimana?"
Arfan tampak berpikir serius. Bagaimanapun juga, kesempatan ini tak akan datang dua kali. "Ya, Pak. Saya ambil," ucapnya tegas.
Terdengar decitan pintu dibuka dan diikuti sebuah suara. "Permisi, Pak!" Terlihat seorang gadis bermata coklat itu ragu-ragu untuk memasuki ruangan. Sebersit ketakutan membayangi di kedua matanya.
Arfan memutar bola mata, mengalihkan pandangannya dari Pak Woto pada gadis yang masih memegang handle pintu. Tentu ia tak mengenal gadis itu. Dia belum pernah melihat apalagi bertemu. Sementara gadis tersebut sedikit terkesiap mendapat tatapan dari Arfan.
"Nalinka Raditha?" Pertanyaan pak Woto membuyarkan keduanya. Nalin cepat-cepat menyahut mengiyakan.
"Silahkan duduk." Pak Woto mempersilahkan Nalin duduk di bangku sebelah Arfan. "Dan kamu, Arfan, silahkan boleh kembali ke kelasmu. Sampaikan permintaan maaf bapak pada guru kelasmu karena sudah membuatmu terlambat mengikuti pelajaran," sambungnya.
Sepeninggal Arfan, Nalin mulai merasa hawa tidak enak menimpa dirinya. Bagaimana tidak, dirinya sudah membolos 2 hari. Ini akan menjadi mimpi buruk baginya.
Pak Woto berdeham sejenak dan kembali membenarkan letak kacamatanya. "Saya mendapat laporan bahwa kamu membolos dua hari kemarin. Benar?" Nalin mengangguk.
"Kamu, kenapa sudah berani bolos?"
"Saya..." Nalin berpikir sesaat. "Hukum saja saya, Pak!" sambungnya cepat.
"Tapi alasan kamu membolos itu apa?"
"Bapak silahkan langsung hukum saya saja." Nalin bersikeras tidak ingin menyampaikan alasannya pada Pak Woto. Baginya, itu tidak penting disampaikan.
"Kamu keras kepala, ya. Baiklah jika kamu minta hukuman. Kamu dapat hukuman untuk meringkas buku ini." Sebuah buku seri ilmu pengetahuan umum setebal 200 halaman diserahkan oleh Pak Woto dan disambut Nalin yang menelan ludah secara kasar.
"Ringkasannya harus selesai dalam waktu dua hari. Mengerti? Silahkan kembali!"
Bergegaslah gadis yang mengikat rambutnya secara asal itu dari hadapan Pak Woto. Menyimpan segala protesan di dalam hatinya dan sesekali menggerutu kecil. Ia berpikir keras bagaimana hukuman ini akan selesai. Ia pikir, dia akan dihukum untuk membersihkan lapangan atau perpustakan, atau mungkin juga kamar mandi. Setidaknya tak menuntut otaknya untuk bekerja keras seperti ini.
Karena masih kesal dengan kebijakan Pak Woto, Nalin kurang memperhatikan langkah kakinya. Dia terus memukul-mukul kepalanya dengan memejamkan mata hingga seseorang meraih pinggangnya dan menarik tubuhnya dengan keras ke belakang. Nalin terkesiap dan merasakan jantungnya melesat bagai roket.
"Lo udah nggak sayang sama diri lo sendiri?" Suara khas pria terdengar di belakang tubuh Nalin. Sementara Nalin masih belum menyadari apa yang terjadi, lalu membalikkan tubuhnya dan mendapati pria yang tadi dilihatnya di ruangan Pak Woto. Pria yang sempat duduk bersebelahan dengannya. Pria yang disebut Arfan oleh Pak
Woto.***
Arfan keluar dari ruangan Pak Woto dengan ragu-ragu. Ia sebenarnya penasaran dengan gadis bermata indah itu. Gadis yang memang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dan gadis yang sempat diketahuinya bernama Nalinka Raditha.
Sebelum memasuki kelas, dia berniat untuk pergi ke toilet terlebih dahulu. Sekadar ingin membasuh wajahnya yang berpeluh sedari tadi. Ia mengabaikan seberapa jauh dirinya tertinggal jam pelajaran. Karena ia tahu, saat ini pasti teman-temannya sedang terkantuk-kantuk mendengarkan penjelasan mata pelajaran sejarah.
Selepas dari toilet, dia kembali melintasi ruangan Pak Woto, salah satu guru BK di sekolahnya. Memastikan apakah gadis itu masih ada di sana atau tidak dengan mengintip melalui celah jendela. Ternyata, ruangan itu kosong, bahkan Pak Woto pun tak ada di sana. Ia pun melanjutkan berjalan menyusuri koridor untuk sampai di kelasnya.
Namun, tak jauh dari sana, Arfan melihat seseorang yang diyakininya pasti gadis pemilik mata coklat itu. Terlihat tangan kanannya memukul-mukul kecil kepalanya dan tubuhnya berjalan mengarah ke sebuah kanopi besi yang terpancang di sisi koridor. Tunggu! Apa?! Kanopi? Arfan terkesiap saat menyadari apa yang akan terjadi jika dirinya membiarkan gadis itu terus berjalan ke arah sana.
Secepat kilat pria dengan tinggi 175cm itu berlari, meraih pinggang gadis itu dan menariknya ke belakang.
"Lo udah ngga sayang sama diri lo sendiri?" ucap Arfan. Ia merasa gadis ini terkejut atas tarikan tiba-tiba darinya dan gadis yang tengah memunggunginya ini kemudian berbalik dengan tatapan bingung.
"Maaf, kalau gue lancang narik lo. Lebih baik kayak gini, ketimbang jidat lo lebih dulu nyium besi yang segede gitu," ucap Arfan lagi.
Nalin menoleh ke belakang dan menghela nafas berat saat menyadari dirinya memang nyaris celaka.
"Terima kasih, Ar-fan." Ragu-ragu Nalin menyebutkan nama pria yang sukses menyelamatkannya. Rasa canggung menjalari seluruh tubuhnya dan persendiannya terasa melemas.
"Sama-sama Nalinka Raditha. Lain kali, jangan meleng ya."
"Nalin." Sahutnya cepat. Arfan mengerutkan kening. "Nalin aja," sambung Nalin.
"Oke, Nalin. Gue ke kelas dulu ya." Arfan bergegas pergi meninggalkan Nalin yang mengangguk dengan senyuman kecil menghiasi bibirnya.
***
Suara ketukan pintu di ruang kelas X-6 membuyarkan konsentrasi seluruh penghuni ruangan. Arfan menyembulkan kepalanya dari balik pintu, kemudian berjalan masuk setelah mendapat anggukan dari guru sejarah yang tengah menuliskan sesuatu di papan tulis. Setelah berbicara tentang keterlambatannya, Arfan dipersilahkan untuk duduk dan mengikuti pelajaran.
"Lo dari mana sih, Fan?" Alita yang duduk tepat di belakang kursi Arfan, mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik pada pria yang menghilang hampir 2 jam pelajaran.
Sementara Arfan menjawab pertanyaan itu hanya dengan menoleh dan memberikan seulas senyum. Membuat Alita sedikit mengerucutkan bibirnya kesal, hingga memukulkan pulpennya ke punggung Arfan. Di dalam hatinya, ia berharap interaksinya dengan Arfan tidak selalu seperti ini. Asing dan dingin.
Di waktu yang sama, Nalin juga kembali ke kelasnya dengan pikiran yang berkecamuk, bagaimana dia akan menyelesaikan hukumannya dalam waktu 2 hari sedang dirinya harus bekerja selepas pulang sekolah hingga tepat tengah malam, di minimarket yang buka 24 jam. Tapi dia bertekad untuk tetap melaksanakan hukuman itu. Bagaimanapun juga, dia salah dan harus mempertanggung-jawabkannya.
Dia duduk di bangku sudut paling belakang. Sendiri. Dia selalu memilih duduk sendiri karena memang jumlah siswa di kelasnya ganjil. Dia terlalu menutup diri.
***
bersambung...