Derap langkah kaki Frela menggema di sepanjang koridor. Seragam putih abu-abu melekat di tubuhnya. Sesekali ia tersenyum menyapa teman-temannya saat berpapasan. Ia sama sekali tak menampakkan wajah kesedihan. Walaupun sebenarnya jika lebih diamati, wajah Frela terlihat sedikit pucat.
"Afrelaaaa..!!" Suara yang memekik itu membuat Frela terperanjat. Ia menghentikan langkah kakinya tiba-tiba dan bruk ia jatuh tersungkur. Ia meringis kecil. Lututnya terasa ngilu. Rasanya ia ingin memakan bulat-bulat siapa yang menabraknya barusan. Ia beranjak dan berbalik, siap memarahi orang itu. Dan didapatinya seorang pria yang jauh lebih tinggi dibandingkan dirinya, menatapnya dingin dengan buku yang terbuka di tangannya. Sepertinya Frela belum pernah melihat sosok pria jangkung itu sebelumnya. "Hei, bisakah kau berjalan lebih hati-hati? Kau membuatku celaka," ketus Frela dengan gaya bahasa formal. Terkadang, Frela menggunakan bahasa seperti ini, jika dalam kondisi yang tidak terlalu bersahabat. Moodnya sedang tidak baik hari ini.
Pria itu menatapnya, "seharusnya kau yang lebih berhati-hati. Kau berhenti secara tiba-tiba," Pria itu membalas dengan gaya bahasa yang sama dan berlalu meninggalkan Frela yang masih terpaku. Frela mendesah sembari menatap punggung pria itu yang berjalan tertunduk membaca bukunya. Menyebalkan, pikirnya.
"Fre lo nggak papa?" tanya seorang gadis berambut sebahu yang tadi memanggilnya dan kini sudah ada di sampingnya, yang juga membuatnya berhenti mendadak, hingga membuatnya jatuh tersungkur. Frela memutar bola mata kesal. Ia mendecakkan lidah menatap gadis bermata sipit itu yang telah menjadi sahabat karibnya sejak SMP.
"Alita, bisakah kau memanggilku pelan-pelan tanpa perlu mengeluarkan suaramu yang benar-benar bisa membuat kaca seluruh koridor ini pecah? Apa kau ingin melihatku mati jantungan di sini?" ucap Frela masih menggunakan bahasa formal sembari merapikan poninya yang sedikit berantakan.
"Iya deh, Fre maaf..kelepasan," Alita mengacungkan kedua jarinya membentuk huruf V dan tersenyum menampakkan deretan giginya.
"Kamu ke mana sih kemarin-kemarin? Dari awal orientasi, aku nggak liat kamu." Frela mengubah gaya bahasanya, terlihat lebih santai.
"Gue sakit Fre. Rese kan, hari pertama masuk SMA malah sakit."
"Kamu nggak ngasih tau gue kalau sakit sih? Kan aku bisa jenguk kamu di rumah. Aku kira, kamu malah masih di luar negeri." Frela menatap Alita dengan heran.
"HP gue nyemplung jamban. Langsung koit. Jadi, nggak bisa ngehubungin lo. Lagian percuma, lo bakal susah nengokin gue, orang aku bed rest di singapura. Yang penting, sekarang gue udah baik-baik aja.." Alita tersenyum sumringah.
"Kamu kali jarang doa. Sakit kan makanya, mana HP pake nyelem segala lagi!" cibir Frela.
"Ah lo sama resenya kayak penyakit gue."
"Kalo ngambek aku tinggalin nih." Frela sudah mengambil langkah kaki lebar. Sejurus kemudian, Alita menarik lengannya.
"Eh ya jangan, Fre. By the way, cowok tadi itu lo kenal?" Frela menggeleng.
"Ganteng banget sih!" Alita memegang kedua pipinya.
"Naksir? Kejar aja sono!" Frela kembali mengambil langkah lebar, membuat Alita mengerucutkan bibirnya.
"Frela! Jangan tinggalin gue!!" Alita segera berlari mensejajari langkah Frela.
Dalam hati Frela masih bertanya-tanya tentang siapa pria itu. Entah kenapa, ada firasat lain yang menyelinap di hatinya. Rasanya, dia akan berurusan panjang dengan pria itu. Frela terus melangkahkan kakinya, tanpa peduli dengan ceracauan makhluk bernama Alita Sofyana yang berjalan di sisinya. Pandangannya menerawang cemas.
"Fre, kita nggak sekelas. Lo di atas kan kelasnya? Gue di bawah nih. Udah ya, gue duluan." Alita menepuk bahu Frela ketika Frela hendak menaiki anak tangga, lalu berlari menuju kelasnya tanpa menunggu respon dari Frela. Memang kelas mereka berbeda. Frela mendapat kelas X-3 sedangkan Alita berada di kelas X-6.
***
"Fre, lo tahu gak?! Aku sekelas sama cowok ganteng yang nabrak kamu tadi pagi. Aaaa!!!" Alita berteriak histeris ketika dirinya dan Frela tengah duduk di sebuah bangku panjang yang ada di kantin. Membuat beberapa pasang mata menoleh tak suka ke arahnya.
Sementara Frela, dia nyaris tersedak ketika sedang meminum jus mangganya karena teriakan gadis itu. Frela mendesah. Mendorong gelas jus miliknya menjauh dan melipat tangannya di meja.
"Gini nih, kebiasaan yang nggak pernah ilang. Selalu teriak-teriak yang ujungnya ngagetin. Lagian nggak penting banget deh cerita masalah dia," ketus Frela.
"Yaelah, Fre. Mood lo lagi nggak enak ya? Uring-uringan mulu dari tadi," gerutu Alita. Frela tersenyum simpul. Menarik kembali gelas jus mangganya, mengaduknya dengan sedotan, kemudian meminumnya.
"Arfan!! Gabung sini aja!" Alita kembali berteriak. Kali ini, makhluk berisik itu memanggil seseorang. Sosok pria tinggi yang tengah berjalan membawa semangkuk bakso. Frela menatap tajam ke arah Alita. Yang benar saja, dia harus satu meja dengan pria yang sukses memperburuk moodnya. Lututnya masih terasa nyeri hingga sekarang. Ada ruam kebiruan akibat benturan dengan lantai.
"Nggapapa dong, Fre. Biar lo juga bisa kenalan sama dia." Alita berbisik.
Belum sempat pria yang dipanggil Arfan oleh Alita ini duduk di kursi di hadapan mereka, Frela sudah lebih dulu bangkit dan, "Aww!" Frela memekik. Cairan berwarna cokelat membasahi baju seragamnya.
"Fre, maaf.. Gue nggak sengaja." Frela hampir saja meluapkan kekesalannya pada seseorang yang telah menumpahkan sesuatu ke bajunya, tetapi seketika dia mengurungkan niatnya tersebut ketika mendapati Kean dengan wajah penyesalannya.
Alita segera membantu membersihkan baju Frela dengan tisu. Tak terlihat lebih baik bagi Frela, dia segera menarik tangan Alita menuju toilet. Mengabaikan Arfan yang masih berdiri dan menatap Frela dengan tatapan yang tak terdefinisikan, juga Kean yang masih berpikir apa yang harus ia lakukan.
Di dalam toilet, Frela benar-benar terlihat frustasi. Dia berpikir mengapa dirinya selalu sial. Alita masih tetap berusaha membantu membersihkan noda di baju Frela dengan membasuhkan sedikit air, sementara Frela masih berusaha mengatur nafasnya.
"Noda coklatnya udah nggak terlalu keliatan, Fre. Tapi, baju lo basah," lirih Alita.
"Yaudah Lit, nggapapa. Makasih ya udah mau bantuin aku. Sekarang kita harus balik ke kelas," sahut Frela.
"Ini semua kan juga gara-gara gue nyuruh Arfan gabung sama kita, Fre. Kan lo jadi nggak nyaman terus mau pergi."
"Halah, bukan salah kamu sebenernya. Aku aja yang lagi sensi." Frela terkekeh. Alita ikut tersenyum. Sahabatnya itu memang sulit ditebak.
"Eh iya, lo yakin bakal tetep pake baju basah?" tanya Alita kemudian.
"Iya. Nggapapa. Ntar juga kering kan."
Frela berjalan keluar diikuti Alita. Di depan toilet, terlihat Kean menyandarkan tubuhnya di dinding.
"Kamu ngapain, Ke?" tanya Frela yang muncul dari lorong toilet. Kean tergagap dan segera mengangsurkan jaket miliknya kepada Frela. Frela menatap Kean seolah bertanya—untuk apa?
"Baju lo kan basah. Jadi, lo bisa pake jaketku dulu, biar nggak masuk angin. Entar di kelas, lo bisa jelasin ke guru kalau baju seragam lo basah. Dan sekali lagi aku minta maaf," terang Kean seolah bisa membaca maksud Frela.
"Bukan salah kamu kok. Tapi, makasi ya Ke. Aku pinjem dulu" Frela segera meraih jaket Kean dan kembali memasuki toilet. Alita memilih untuk menunggu Frela di luar dan terdiam mengamati Kean yang samar-samar tersenyum menatap punggung Frela. Sadar dirinya diamati, ia pun mengarahkan pandangannya pada Alita lalu tersenyum lebih lebar. "Gue pergi dulu ya." Kean pun melangkah pergi.
Tak jauh dari sana, Arfan berdiri mematung dengan menggenggam baju seragam darurat yang dipinjamnya dari klinik kesehatan. Ia pun berbalik karena merasa tidak lagi perlu memberikannya pada Frela.
***
Bersambung...
![](https://img.wattpad.com/cover/215573000-288-k13983.jpg)
YOU ARE READING
CARUT
Подростковая литератураTanpa luka, kita tak pernah tahu bagaimana rasanya bahagia.