Perih

39 11 6
                                    

Di sebuah ruang serba putih, seorang gadis berusia 23 tahun itu terbaring dengan selang infus pada tangan kirinya, juga selang oksigen yang menutup hidung dan mulutnya. Suasana di dalam ruangan itu hening, hanya terdengar bunyi dari alat pendeteksi detak jantung yang membuktikan bahwa gadis itu masih hidup.

Semua menjadi berbeda ketika Frito memasuki ruangan tersebut. Ia melangkahkan kakinya perlahan, pandangannya sendu menatap wajah sosok perempuan yang sangat ia cintai. Lalu, ia meletakkan setangkai mawar pada sebuah vas yang sudah berisi 2 tangkai mawar sejenis. Jumlah mawar yang ada di vas itu, menandakan berapa lama mata sosok wanita tegar bernama Grechana itu terpejam. Frito mendesah frustasi. Ia merasa bahwa seharusnya dirinyalah yang terbaring di sini, bukan Chana. Dia sangat terpukul atas kejadian beberapa hari yang lalu, yang membuat otak Chana terganggu hingga harus mengalami koma seperti ini. Dia merasa sangat bersalah.

Frito mengusap kening gadis itu dengan penuh kasih sayang. Ada bebatan perban di sana, untuk menutup luka dan bekas jahitan pada kepalanya. Air matanya perlahan menetes, mengingat dirinya benar-benar selamat dari kejadian itu, sementara Chana harus menanggungnya sendirian. Tuhan, kenapa bukan aku saja?—batin Frito.

"Kakak puas, udah bikin Kak Chana menderita?" Sebuah suara sukses membuat Frito terperanjat. Dia membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok perempuan berwajah kuyu dengan kantung mata yang terlihat sangat jelas—duduk di sofa dengan tangan terlipat.

"Sejak kapan kamu di situ?" tanya Frito.

"Sejak seorang pria membuka pintu dan masuk dengan sedikit pincang, kemudian menaruh sebuah mawar di vas misterius itu, lalu memandangi tubuh kakakku," sahutnya dengan intonasi yang dibuat-buat dan penuh penekanan..

Frito menelan saliva kasar. Sial! Mengapa dia tak menyadari keberadaan gadis itu sejak tadi?

"Maafin kakak, Nalin.. Kakak nggak bermaksud membuat Chana seperti ini. Hati kakak pun terluka. Kakak rindu dengan senyuman Chana. Rindu." Frito melemahkan intonasi dia akhir kalimatnya dan mulai manatap sendu lantai keramik putih rumah sakit yang ia pijak.

Gadis yang dipanggil Nalin itu beringsut memeluk Frito, kekasih kakaknya. Dia menumpahkan air matanya di dada Frito yang sedikit terhuyung ke belakang karenanya. Gadis ini amat terluka, sepertiku. Chana, sadarlah, batinnya.

***

Rindu mengajarkanmu untuk menata hati, agar tidak tercecer lantas berantakan. Karena nantinya, rindu itu akan sempurna kau jaga. Seutuhnya. Hingga pada nantinya, rindu itu terungkap—pada orang yang tepat.

***

Jam bandul kuno koleksi ayahnya yang ada di ruang tamu berdentang sebelas kali. Frela masih memikirkan ke mana kakaknya pergi. Pandangannya menerawang ke langit-langit kamarnya. Sudah 3 hari ini, setiap malam pasti kamar kakaknya ditemukan kosong. Ia merasa bahwa kakaknya benar-benar menyembunyikan sesuatu.

Tak berapa lama, Frela mendengar derap langkah kaki yang menaiki satu persatu anak tangga. Pasti kakak, pikirnya.

Frela segara melompat dari atas tempat tidur dan membuka pintu kamarnya. Ya. Kakaknya terlihat menaiki anak tangga dengan kaki sedikit pincang. Frela baru benar-benar menyadari bahwa memang ada yang salah dengan kaki Frito, mengingat bahwa kakaknya sempat merintih ketika dirinya tak sengaja menyentuh lututnya. Frela pun menghadang di ujung tangga, membuat langkah kakaknya terhenti di dua anak tangga terakhir.

"Fre punya banyak pertanyaan yang harus Kak Fri jawab." Frela menatap Frito tajam.

Frito mendesah dan berucap dengan malas, "capek, Fre. Kakak mau istirahat. Simpan pertanyaanmu sampai besok." Frela mengerucutkan bibirnya. Membiarkan kakaknya menaiki sisa anak tangga terakhir dan memasuki kamarnya. Frela sedikit mencibir, lalu kembali ke kamarnya.

Belum sempat Frela menutup pintu kamarnya, sebuah hentakan pintu yang dibuka dengan keras diikuti dengan teriakan-teriakan yang saling bersahutan terdengar dari bawah. Tanpa melihat, Frela sudah tau pasti itu orang tuanya. Selarut ini, mereka baru pulang dan harus dalam keadaan kembali bertengkar. Apa sih yang selalu mereka ributkan?

Hati Frela kembali seperti diremas, dia langsung membanting pintu kamarnya dengan keras. Sangat keras. Lalu memutar keras-keras CD player lagu-lagu cadas yang mampu membuat telinga siapapun merasa sakit. Frela seperti telah menulikan telinganya. Menyambar buku catatan dan pulpen yang ada di atas nakas, lalu mulai mengguratkannya.

Seringkali aku berpikir, sebenarnya atas dasar apa aku dilahirkan? Cinta? Benarkah? Aku sendiri hampir gila dengan pertanyaan itu. Lantas, jikalau benar karena cinta, tak bisakah mereka kembali seperti dulu; saling mencinta? -A-

Dia pun menutup buku catatannya lalu merebahkan tubuhnya di kasur, menarik selimutnya hingga menutupi kepala, dan mencoba untuk terlelap. Rasanya, hampir terbiasa dirinya melakukan hal ini.

Sementara penghuni kamar sebelah Frela, hanya mampu menahan segala sesak itu dengan diam. Sama seperti Frela, dia juga mendengar kejadian yang berlangsung di bawah sana. Dia tahu adiknya merasakan kekecewaan. Ia juga tahu, bahwa lagu cadas yang diputar oleh adik semata wayangnya tersebut, sebagai bentuk pelampiasan kekecewaannya, luka di hatinya.

Di bawah sana, kedua insan yang harus bertanggung jawab atas kekacauan ini, masih belum menyadari tentang apa yang dirasakan oleh kedua anaknya. Mereka bertahan dengan ego masing-masing, melupakan akal sehatnya.

Di tengah-tengah suara yang memekakkan telinga, handphone Frela bergetar dari atas nakas. Sebuah panggilan dari seseorang. Frela tak mau ambil pusing dengan itu. Dia membiarkannya. Handphone itu terus berdering kesekian kalinya. Tak lama, getaran panjang itu berubah menjadi getaran pendek. Sebuah pesan singkat.

***

Tiada kata penghambat, untuk menulis kisahmu. Karena akan ada beribu lembar tergelar, ketika lembar kesekianmu telah tergurat oleh rasamu. Juga akan ada beribu liter tinta tertuang, ketika setiap mili tintamu, telah bersemayam pada lembar keabadian.

***

Bersambung...


CARUTWhere stories live. Discover now