Dua hari Orientasi Siswa telah Frela lewati. Dan hari ini, adalah hari terakhir masa perkenalan dengan sekolah yang telah menjadi impiannya sejak dulu.
Frela berjalan santai menyusuri koridor menuju toilet wanita. Masih ada waktu 10 menit lagi untuk berkumpul di lapangan. Terhitung sejak kemarin, gadis ini berangkat jauh lebih awal. Ia tidak ingin lagi-lagi harus bertemu dengan kejadian mengerikan seperti tempo hari. Terlebih, takut jika harus dihukum lagi karena terlambat.
Sebelum dirinya masuk ke toilet itu, dia mendengar suara tangisan tertahan dari salah satu bilik toilet. Frela mengurungkan diri untuk masuk ke bilik yang lain. Dia berdiri di depan pintu yang tertutup. Pikirannya menerka-nerka dari hal-hal yang sederhana sampai kemungkinan terburuk yang terjadi di dalam toilet tersebut. Ia berpikir akan mendobrak jika memang sesuatu yang buruk tengah terjadi.
Tak sampai 5 menit, sesosok perempuan bermata sayu dengan wajah sembab keluar. Dia terkesiap ketika mendapati diri Frela berdiri di sana. Dia segera menyeka sisa-sisa air mata yang ada di pipinya dan memaksakan seulas senyum untuk Frela.
"Lo udah lama di situ?" tanya gadis itu, yang rambutnya digelung dengan asal ke atas, membuat anak rambutnya terlihat mengelilingi lehernya.
"Ah engga. Aku baru aja mau masuk ke sini." Frela menunjuk bilik toilet di sebelahnya lalu menatap lekat kedua manik mata gadis di hadapannya ini. Frela sedikit tertegun, matanya tidak berwarna hitam. Cantik.
"Oh. Yaudah. Gue duluan yaa.." Frela mengangguk pelan. Dilihatnya punggung teman seangkatan barunya itu menghilang di ujung koridor. Punggung yang menyimpan kerapuhan, memunafikkan perasaan—sepertiku, batin Frela perih.
***
"Oke adik-adik! Kali ini, acaranya adalah pendaftaran ekstrakurikuler. Jadi, adik-adik silahkan berbaris di depan meja pendaftaran setiap ekstrakurikuler yang kalian minati!" teriak senior perempuan yang terlihat manis dengan lesung pipinya, Melgi.
Serentak siswa-siswi yang masih dengan seragam putih birunya, berkerumun di setiap meja pendaftaran yang ada.
Frela memposisikan diri pada antrean kelima dari depan, di pendaftaran ekstrakurikuler musik. Beberapa senior ada yang sengaja berteriak untuk mempromosikan ekstrakurikulernya, juga melakukan aksi diluar dugaan yakni menyeret beberapa siswa yang dianggapnya pantas memasuki ekstrakurikuler tertentu. Tak terkecuali Frela. Ia nyaris tersungkur ketika tiba-tiba ditarik begitu saja untuk bergabung dengan ekstrakurikuler pemandu sorak, karena postur tubuhnya layak untuk masuk ekstra tersebut.
"Maaf kak, saya mau daftar di sini," lirihnya pada senior yang diyakini memang anggota tim cheers karena tubuhnya sangatlah bagus. Kurus, tinggi, dan cantik.
"Nyesel loh kalo nggak ikutan. Lo kan bisa eksis di tim cheers," sahut senior itu. Frela hanya tersenyum dan menggeleng.
Tiba-tiba semua keriuhan yang terjadi saat ini, seketika berubah hening, saat Melgi berteriak menggunakan toa. "Tolong profesional! Jangan saling berebut, memaksa, mengancam, bahkan mengintimidasi. Kakak kelasnya tertib dong!! Kasian adik-adiknya."
Frela segera kembali ke antrean, walaupun harus berada di posisi paling belakang. Tak masalah baginya. Yang penting, dia memang menginginkan masuk ke ekskul ini.
"Namanya siapa?" tanya senior perempuan ber-bandana merah jambu saat Frela sudah berada di depan meja pendaftaran. Wajah seniornya itu terlihat sangat manis bagi Frela, dengan hidung yang mancung dan mata yang berwarna kecoklatan. Frela mengerutkan kening. Ia merasa pernah melihat mata kecoklatan seperti ini.
"Namanya siapa?" Senior tersebut kembali mengulang pertanyaannya, kali ini dengan sedikit menekan. Frela tergagap dan segera menyebut nama lengkapnya.
"Bisa main musik apa?"
"Em...gitar."
"Oke.. terima kasih. Lo jadi pendaftar yang terakhir. Akhirnya selesai juga. Oh ya, kenalin gue Giska." Senior yang memperkenalkan diri bernama Giska itu terkekeh. Frela meresponnya dengan sebuah anggukan disertai senyuman.
"Adik-adik, sepuluh menit lagi kalian semua harus sudah berkumpul dan berbaris di lapangan lagi!" Melgi kembali berteriak dengan toanya. Frela segera berlari meninggalkan Giska beserta meja pendaftarannya, menuju lapangan.
Sesampainya di sana, Frela memposisikan diri pada barisan dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Dia mencari seseorang. Kaega. Hari ini dia tak menemu-kannya di manapun. Di mana Kak Kaega?
Justru mata Frela malah menemukan sosok yang tadi pagi ditemuinya di depan toilet wanita—tengah duduk bersila di tepi lapangan, menulis sesuatu di bukunya. Matanya menyiratkan luka. Frela terus mengamatinya.
"Frel, ini punya lo?" Seseorang menepuk pundak Frela dan menyodorkan sesuatu. Frela menatap seseorang yang sukses mengejutkannya barusan. Sejurus kemudian, matanya berbinar ketika mendapati sebuah gelang manik-manik berwarna hijau tosca berada di tangan Adkean.
"Adkean! Kamu mah ngagetin aku aja sih! Aaa iya ini punya aku." Frela terlihat sangat senang dan segera menerima gelang itu.
"Kean aja, Fre."
"Kamu nemuin di mana?"
"Kemarin, di perpustakaan. Mungkin lepas pas lo jatuh sama Kak Kaega," sahut Kean santai, tapi sukses membuat pipi Frela merona.
"Kamu liat waktu aku jatuh?"
"Iyalah. Pas kebetulan aja gue lagi liat." Kean mengalihkan pandangan ke tanah.
"Terima kasih, Kean.."
***
Lakon Tuhan yang bersandiwara dengan topeng, ditakdirkan lebih mendalami makna hidup. Entah dari segi sudut pandang mana saja. Semestinya, dimengerti oleh hati.
***
"Ga, lo nggak turun lapangan?" Melgi melipat tangannya di dada sembari menatap tajam Kaega yang tengah bersantai di ruang OSIS. Mendengar celotehan Melgi, Kaega mendesah.
"Ga, lo kan ket-"
"Iya! Gue ketua OSIS. Kenapa?" Kaega memotong paksa kalimat Melgi. "Gue juga manusia kali, Mel. Butuh istirahat. Gue nggak bisa tidur semalem," sambungnya.
"Kenapa nggak bisa tidur?"
"Hh! Lo nggak bakal ngerti deh." Kaega menyahut dengan santai, membuat sekretarisnya yang telah lama menaruh hati kepadanya ini mengerucutkan bibirnya, lantas keluar dari ruang berukuran 6 x 8 meter persegi tersebut.
Sepeninggal Melgi, Kaega kembali memejamkan matanya. Semalam, insomnia yang dia derita memaksanya untuk terus terjaga hingga ayam mulai berkokok. Dan hari ini, dia benar-benar merasa tidak bertenaga.
Selang beberapa menit, matanya yang terpejam kembali terbuka. Dia menggapai skateboard yang ada di bawah kursipanjang tempatnya berbaring. Pria dengan sorot mata tajam ini mempunyaikebiasaan lucu. Selalu tidur dengan mendekap papan luncur kesayangannya. Takbutuh waktu lama, dirinya sudah terbang menikmati bunga tidurnya.
***
Bersambung...