enam

7.7K 605 27
                                    

Setelah kejadian memalukan semalam, kuputuskan untuk pulang cepat. Malu pakai banget sama mertua. Entah apa yang ada di pikiran mereka.

Dikira kami ngapain?

Semalam, mereka bahkan saling terkikik sesaat setelah mengobati luka ringan di punggung Irfan, akibat terkena pecahan kaca lemari. Aku yang merasa udah ngerjain Irfan cuma garuk-garuk kepala. Ketularan Irfan kayaknya.

Mama juga sempat memberi baju gamis yang ukurannya muat untukku, sebelum tidur lagi. Mungkin karena melihatku cuma pakai kemeja dan selimut untuk nutupin boxer Power Rangernya Irfan.

Terus, Irfan tidur di mana?

Ngikut emaknya, lah. Papa juga sempat bergumam panjang kali lebar nyeramahin anak cemennya itu. Ya, jelas. Suami mana, coba, yang mau nganggurin istri semanis aku gini? Uhuk.
.

Selama dalam perjalanan pulang sampai sekarang sudah di rumah, Irfan diem aja. Merasa malu, mungkin, karena kejadian semalam. Aku juga tidak berusaha buat nanya-nanya soal itu.
Kasihan, kan. Udah malu, tambah diejekin, pula.

Setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, aku memutuskan untuk ke toko yang satu lagi. Lama tidak ke sana. Rindu.

"Fan, aku mau ke toko yang di Jalan Lintang dulu, ya. Kalau pas kamu pulang kuliah nanti aku nggak ada, berarti masih di sana." Sedikit canggung minta izin ke Irfan. Biasanya ke mana-mana bebas. Takut aja, entar dia nyariin.

Tapi, kok, yang dipamitin malah cengar-cengir doang. Gemes. Pengen nampol. Pake bibir. Haha.

"Irfan nggak kuliah kok, Kak."

"Loh, kok?"

"Iya, hari ini libur."

"Mau ikut?" tanyaku.

"Enggak, deh. Mau di rumah aja."

"Okelah. Aku berangkat, ya."

Seperti biasa. Ketika salah satu dari kami pergi ke luar, tidak ada salim-salim atau cium kening.
Udah satu minggu menikah, tapi tidak ada kemajuan. Kami suami istri, tapi tidak lebih seperti kakak adik. Masih mending kakak adik, yang biasa main pukul dan saling toyor.

Lha, kami. Boro-boro bersenda gurau. Tangan Irfan kesenggol tanganku aja, udah kayak kesetrum, dianya.
.

Butuh waktu satu jam untuk sampai di toko yang memang jarang kudatangi ini. Toko kue dengan papan nama--El-Kha Bakery--gabungan namaku dengan Mas Khairi, adik bibi Erlin.

Sebagai salah satu bentuk terima kasih atas kesediaan paman Johan membantu mendanai toko kue milikku, toko ini kuserahkan untuk dikelola Mas Khairi. Dengan sistim bagi hasil. Jadi aku tidak perlu lagi sering-sering datang ke sini.

Mas Khairi seumuran denganku. Kami berteman dan sempat kuliah di kampus yang sama. Bahkan, mengambil jurusan yang sama juga.

Keren, sih. Laki-laki bisa masak. Ditambah postur tubuh yang lumayan tinggi, gagah dan tampan. Hidung mancung, rambut ikal sedikit panjang yang biasa dikuncir. Serta berewok tipis-tipis yang menambah kesan dewasa.

Mungkin, kalau belum terlanjur menikah dengan Irfan, akan kupertimbangkan perjodohan di masa lalu.
Benar. Dulu, paman dan bibi sempat menjodohkan kami. Tapi, telat. Aku terlanjur berhubungan dengan Revan. Setelah putus sama Revan, ketemu Irfan. Mereka selalu kalah start duluan.

Suami "Takut" Istri. [Terbit]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang