Dua

9.8K 603 37
                                    

Aku mengejapkan mata, meregangkan tangan dan juga kaki. Hari sudah pagi, rasanya tidurku semalam begitu nyenyak. Lalu baru kusadari, badanku terasa lengket dan juga ... bau.

Kuhela napas berat, teringat dengan kejadian semalam. Hati ini masih terasa sakit, melihat lelaki yang kucintai telah resmi menjadi milik orang lain.
Meski kata putus telah terucap sejak satu bulan yang lalu. Demi apa? Ya demi pertanggungjawaban Revan pada Risma.

Masih terekam jelas dalam ingatan, wajah-wajah mereka semalam, para tamu undangan. Yang sebagian besar memang sudah kukenal. Mereka menatapku penuh iba. Seolah berkata lewat tatapan, “Kasihan kamu, Elyana. Yang sabar, ya.”

Aku tetap berusaha mati-matian untuk tetap terlihat tenang. Sebisa mungkin menunjukkan jika aku baik-baik saja. Meskipun sebenarnya ... bohong.

Namun, di balik itu semua, aku sangat bersyukur, Allah sudah membuka sifat buruk Revan sebelum kami menikah.

Sesaat kemudian, aku kembali teringat dengan mimpiku yang super aneh. Mimpi menikah dengan lelaki berandalan.

Aku bergidik. Mengetuk kening dengan sendi jari berulang kali. "Amit-amit ... bisa-bisanya mimpi aneh begitu."

Kulirik jam di dinding yang menunjukkan hampir pukul lima pagi. Kusibak selimut dan bangun. Bermaksud mandi, lalu salat Subuh. Belum sempat kakiku turun dari ranjang, aku dikagetkan dengan keberadaan seseorang yang bergerak di lantai, tepat di bawahku. Beralaskan ambal tipis, bergelung, terbungkus selimut putih.

"Astaghfirullah ... hantu!"
Kututup kedua mata. Lalu segera merapalkan ayat kursi, Al- Fatihah, An-Nas, Al-Falaq dan surat-surat pendek lainnya tanpa jeda. Bahkan, sampai lupa mengucap bismillah terlebih dahulu. Saking takut dan terkejutnya.

Setelah napasku mulai tersendat, lelah membaca doa yang mungkin hampir setengah Juz Amma. Kubuka mata. Perlahan, satu tangan kanan. Aman, sudah tidak ada. Lalu, tangan kiri.

"Huwaaaa ... hantu ... pergiii ... pergii ... jangan ganggu ...." Aku berteriak, melempari hantu tinggi di hadapanku dengan bantal.

"Stop! Kak, stop! Aku bukan hantu." 

Seranganku terhenti ketika dia yang kusebut hantu ikut histeris. Mengibas-ngibaskan kedua tangannya, maju-mundur mau menyentuhku.

"Kamu ... siapa? Bukan hantu? Kamu pencuri? Atau, penculik yang mau memperkosaku?" Kuhardik lelaki yang tampak kebingungan itu. Rambutnya tampak awut-awutan. Sudut bibirnya pun berhias noda putih. Ileran!

Kuedarkan pandangan. Ini di kamarku sendiri. Tidak mungkin dia menculikku, kan? Lalu setelahnya, kuperiksa pakaian. Alhamdulillah. Masih lengkap.

"Aku ... suamimu, Kak." 

"Su ... suami?"

"Iya. Kita nikah, semalam."

"Apa?!" Kaget? Pasti. Aku mematung sejenak. Perkataan lelaki itu masih landing menuju otakku. Belum terserap dan dicerna.

Beberapa saat kemudian, dadaku terasa sesak. Lalu kucoba menetralkan keterkejutan. Tarik napas ... embuskan ... tarik ... embuskan lagi.

Kutatap wajah itu lekat-lekat. Semalam, wajahnya tidak begitu jelas terlihat.
Ya. Memang benar. Itu dia, yang semalam.

"Jadi ... semalam ... bukan, mim ...?" Benarkah ini nyata? Kucubit lenganku sendiri. "Aw!" Sakit, ternyata.

Suami "Takut" Istri. [Terbit]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang