sepuluh

7.4K 641 43
                                    

Kupikir, setelah insiden bersama Revan dan Mas Khairi seminggu yang lalu, Irfan akan berubah menjadi lelaki dewasa seperti yang kuharapkan. Nyatanya, tidak.

Saat itu adalah kali terakhir kami saling bersentuhan.
Irfan kembali menjauh, kami masih tidak ada kemajuan.

Ya, Rabb. Sebenarnya Irfan itu beneran normal tidak, sih? Kenapa jantannya kalau pas cemburu doang?!

Sepertinya, ide dari Bibi memang harus kujalankan. Keinginanku untuk punya anak tidak salah, kan?

"Kak!"
Irfan memanggil dari balik pintu kamar. Aku yang sudah bersiap untuk tidur rasanya males banget mau bangun lagi. Terlanjur nyaman dengan rengkuhan selimut tebal yang menjadi teman bermalamku. Hingga kini, hanya selimut itu. Pelukan dari Irfan, entah kapan.

"Apa?!" jawabku dari dalam sedikit berteriak.

"Irfan masuk, ya."

"Masuk aja, nggak dikunci," jawabku.

Suara handle diputar. Perlahan, pintu terbuka. Sedikit ragu Irfan melangkah. Kuangkat kepala dengan tubuh yang tertutup selimut hingga leher.

"Ada apa?" tanyaku.

"Minta duit."

Aku memicing.
"Kan, baru minggu lalu. Kok, udah minta lagi?"

Irfan garuk-garuk kepala.
Ada kebiasaan baru yang muncul seminggu belakangan ini. Irfan sering mengulum bibirnya sendiri, sambil bergumam 'emm ... emmm'. Bikin gemes.

"Iya, tapi Irfan butuh banget nih, Kak."

"Buat apa, emang?"

"Ada, lah, pokoknya."
Dia tidak mau ngaku.

"Nggak ada." Kujawab lalu berbalik badan memunggunginya.

Sesuai pesan dari Mama, Irfan tidak boleh terlalu boros. Sebagai istri sekaligus pengatur keuangan, aku harus bisa mengontrol pengeluaran dia. Kasihan, kan, Mama sama Papa. Habis nanti uangnya.

Menantu kurang apa lagi, coba?Kurang kasih sayang doang kayaknya.

Ck!

"Ayolah, Kak." Irfan merayu.

"Nggak ada."

"Kak! Pleasee!"

Meski hanya dengan mendengar suara memohon darinya saja membuatku yakin, bibir yang sering menggoda iman itu saat ini pasti tengah mengerucut.

Aku menyeringai, ide dari Bibi sepertinya bisa dilakukan saat ini.

"Ada syaratnya." Aku berbalik badan.

"Apa, Kak?"

Kuganti posisi menjadi duduk.
Irfan sempat terperanjat melihat atasan piama yang kugunakan tanpa lengan. Dengan rambut yang tergerai.

"Sini!" Kulambaikan tangan ke arahnya.

Irfan bergeming.

Satu detik

Dua detik

.

Suami "Takut" Istri. [Terbit]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang