Usai dengan pekerjaan rumah, aku kembali fokus di toko. Hari ini ada orderan kue dari desa sebelah, mau buat akikahan anaknya.
Irfan entah pergi ke mana setelah meminta uang yang sempat tertunda kemarin.
"Gimana, Mbak, Mas Irfan masih kayak dulu, nggak?" Siti tiba-tiba nanyain Irfan. Kukedikkan bahu. Malas untuk menjawab.
Siti dan Dewi memang sudah tahu mengenai Irfan. Bukan apa-apa, aku juga butuh teman curhat. Dan merekalah yang selalu menjadi wadahku meluapkan segala rasa. Terutama di saat tidak selalu bisa bertemu dengan paman Johan.
"Ngomong-ngomong, Mas Irfan masih muda banget, ya," lanjutnya lagi.
"Iya. Masih muda, ganteng lagi." Dewi ikut menimpali. Kulirik mereka berdua yang tengah menimbang tepung dan gula.
"Kalian, naksir Irfan?" Tidak tahu kenapa, ada rasa tak rela mereka muji-muji Irfan. Meskipun omongan mereka itu benar adanya. Apalagi, usia Siti dan Dewi sepantaran dengan Irfan.
Dari segi fisik, Irfan cukup ideal untuk dijadikan idola kaum remaja wanita. Tubuh tinggi, kulit putih, wajah tampan dan lesung di pipi. Perfect. Cuma cemennya doang yang jadi nilai (-).
"Enggak!" jawab mereka bersamaan. Aku tahu, mereka berbohong. Kalau ditanya mau nggak punya suami kayak Irfan? Pasti bakalan jawab mau.
"Lha terus?"
Mereka cengar-cengir. Sambil senyum-senyum berdua. Khas remaja yang lagi kesem-sem.
Mungkin berbeda denganku yang berusia jauh di atas mereka. Sebenarnya, lebih mengidam-idamkan sosok suami yang lebih dewasa. Tapi, mau bagaimana lagi, sudah jodoh.
Sebentar ... benarkah Irfan beneran jodoh sejatiku? Berdua doang, dong. Nggak punya anak, sampai bulukan.
Ngomongin soal Irfan, sebenarnya dia lelaki baik dan juga saleh. Cuman, ya itu, hingga saat ini belum bisa memberi hakku sebagai istri.
Gini kali, ya. Rasanya jadi Revan dulu, waktu sering kutolak saat mau kontak fisik.Eh tapi, beda, dong. Sama dia dulu, kan, jadi dosa. Kalau sama suami jadi pahala.
"Mbak, Mbak El!" panggilan Dewi membuyarkan lamunanku.
"Eh, apaan?" jawabku, terkejut.
"Lihat, tuh!" Dewi mengarahkan pandangan ke luar.
Demi apa, kulihat mantan terkasih sekaligus penoreh luka di hatiku datang. Siapa lagi kalau bukan ... Revan.
Tampak dia sedang turun dari moge kebanggaan miliknya, yang juga menjadi salah satu saksi mati kisah cinta kami berdua.
Dia berjalan sok keren menuju ke arahku. Mau ngapain, coba?"Hay, El?" Tampang sok oke yang dibuat-buat itu tersenyum. Aku memicing, tiba-tiba teringat dengan perbedaan antara dirinya dengan Irfan. Jika Revan biasa terlihat dewasa dan sok keren, Irfan selalu terlihat manis, imut dan menggemaskan.
"Hellooo! Kok senyum-senyum?" Jentikan jari Revan di depan mata membuatku mengerjap.
"Engh ... enggak. Ngapain ke sini?" tanyaku, berusaha bersikap biasa saja. Meski belum berani menatap matanya. Takut kesilep lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami "Takut" Istri. [Terbit]✓
Romance18+ [Follow dulu sebelum baca.] Cerita seputar rumah tangga. Akan ada adegan dewasa. Bocil, menepi, ya, Sayang .... «»«»«»«∞∞»«»«»«» "Astaghfirullah ... Kak, aurat. Jangan dibuka sembarangan gitu ...!" "Apaan, sih? Aku kan istri...