15

7.7K 550 36
                                    

Pagi yang paling tidak ingin kulewati. Semalaman kurang tidur gara-gara Irfan, hingga membuatku enggan bangun. Masih ngantuk.

Entah sudah berapa kali aku menguap, memaksakan diri bangun lebih cepat.
Meski Mbok Nah terus melarang, tapi aku tetap membantu menyiapkan sarapan. Tidak enak sama mertua. Masa mantu kesayangan bangun kesiangan di hari pertama menginap di rumahnya?

"Loh, Sayang, udah bangun?" Mama baru keluar dari kamar. Beberapa saat kemudian, Papa menyusul di belakangnya. Mereka terlihat begitu harmonis di usia senja. Bikin mupeng. Beneran.

Semoga aku dan Irfan bisa juga seharmonis mereka hingga akhir hayat nanti.

Aku dan Mbok Nah sudah selesai memasak, lalu menyiapkan minuman panas untuk disajikan di meja makan. Kebiasaan mertua kalau pagi, berbincang sambil ngeteh dan ngopi. Semalam, Irfan kutanyai apa saja kebiasaan mereka ketika di rumah. Ingin totalitas dalam melayani. Kan, mantu idaman. Uhuk!

"Iya, Ma. Ini, teh sama kopi sudah siap." Sambil tersenyum, kuletakkan empat gelas berisi minuman panas di meja. Aku dan Papa minum kopi. Mama, teh. Sedangkan kesayanganku ... susu. No way!

Mama dan Papa menghampiri lalu duduk di seberang meja. Rentetan pujian meluncur manis bak kuah bubur sumsum dari bibir mama mertuaku itu. Memuji aku yang terlampau rajin karena bantuin pembantu masak. Sampai terasa bosan saking lebaynya itu pujian.

Padahal, bukan pujian yang kuharapkan. Cukup dengan pengakuan saja, jika mantu Mama ini tidaklah mengecewakan. Eh, sama aja kan, ya? Haahaa.

"Pagi Ma, Pa, Kak El ...!" Irfan sudah rapi. Memakai kaos oblong bewarna biru muda, serta celana jeans selutut. Dia memang selalu ... tampan.

Irfan mendekati kami, lalu mengecup pipi Mama. Khas anak manja.

Kulihat, rambutnya klimis dan itu bukan karena minyak rambut, melainkan karena masih basah. Ya Rabb, kenapa tidak di keringin dulu, sih? Memalukan!

Di sini udaranya amat sangat dingin, mana ada orang mandi subuh-subuh kalau bukan karena mandi wajib. Oke, kami ketahuan.

Irfan mendongak, lalu tersenyum menatapku. Lesung di pipinya membuat hatiku berdesir. Gemes, pengen nampol pakai bibir.

Perlahan, dia berjalan ke arahku dan duduk di sisi.

Mataku melebar saat mendapati leher Irfan yang penuh dengan bercak ungu. Apa semalam aku sebrutal itu?

Ya, ampun! Salah siapa semalam lampu cuma remang-remang? Kan, tidak kulihat sebelumnya. Tapi, apa iya Irfan juga tidak sadar? Pakai kemeja berkerah, kek.

Aku menggigit bibir bersamaan dengan suara terkikik Mama dan Papa. Mereka saling berbisik sambil menatap kami berdua.

Ya Allah, Gusti ... pengen ngumpet di kolong meja.

....

Setelah pesta pernikahan, hanya semalam kami menginap di rumah Mama. Entahlah, rasanya kurang bebas ketika berada di sana. Apalagi setelah ketahuan soal mandi pagi.
Untungnya, pemikiran Irfan sama denganku.

Kami juga memutuskan untuk tidak pergi berbulan madu. Menurutku dan Irfan, itu tidak perlu. Kapan pun, dan di mana pun, terasa seperti sudah berbulan madu, karena selalu berdua.

Suami "Takut" Istri. [Terbit]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang