Pada saat musim dingin melanda Tokyo dengan suhunya yang terlalu rendah dan badai salju terus turun saat malam menjelang, dan seluruh kota akan senyap dibuatnya, tidak ada aktivitas manusia sekalipun, tempat umum akan tidur sejenak, seluruh saluran tempat tutup, yang tersisa hanyalah lampu yang menyorot kekosongan jalan. Itu pun sudah untung, setidaknya ada alat pemanas yang terus menyala menghangatkan tubuh.
Bahkan disudut jalanan yang ramai pun hanya menghentikan laju angin kosong, tapi saat badai menerpa tiang lampu merah itu pun padam, akibatnya listrik disekitar pun ikut padam.
Disaat keputusasaan melanda aku terus bergerak dalam ruang sempit bernama kardus,ini sungguh tipis dan berhasil menembus tulang. Di bawah tiang yang tumbang itu aku bisa mengeluarkan suara kecil ini, memanggil kehampaan di depan matanya. Tapi sayang sejak ramalan cuaca pagi tadi tersiarkan, hampir semua umat manusia menghentikan aksinya mereka pada pukul lima sore,dan itu adalah awal dari aku kenapa berada di sini. Dan tidak ada sekalipun yang menyadari ku walau aku terus maraung butuh bantuan.
Harapan apa bisa aku minta saat maut berada didepan mata, lalu pada rasa menyerah saat aku berhasil keluar dari kotak itu, lalu berjalan tanpa cahaya aku terjatuh tepat digaris putih di bawah lampu jalan yang mati. Masa ku telah berakhir, bukan?.
Hingga satu lampu mobil menyorot ke arah ku yang sudah tidak sanggup lagi,aku berbaring di tengah jalan yang sepi ini.
"Ya, tuhan." Aku mendengar suaranya yang lembut mengalun cemas.
Dia mendekap ku dalam blezernya yang sedikit basah. Mataku sepenuhnya sudah tertutup tapi tidak dengan telinga ini. Aku mendengarnya mengucapkan sesuatu yang menenangkan,tapi aku masih tidak mengerti.
"Paman, cepat kita ke rumah!"
Dan satu satunya mobil yang menerjang badai salju ini membawa kembali kesadaran ku, rasa beku ditulang ini perlahan mencari, dan kehangatan mengalir dalam tubuh ini.
Itulah cahaya yang pertama kali ku lihat, hijau hutan yang menenangkan dan juga senyum cerah sekaligus lega menghiasi wajah manisnya.
Sakura, Haruno Sakura.
"Itu ide yang bagus bibi" Sakura masih menguyah makan malamnya, saat bibi Andari membahas tentang rencana mereka untuk pergi ke pantai besok pagi, bersama keluarga Akasuna lengkap.
"Bagus, kau tinggal menyiapkan pakaian ganti saja. Karena semuanya sudah aku atur" Sasori menimpali.
"Baiklah. Terimakasih" Sakura beranjak dari duduknya, berniat kembali istirahat.
Dan saat pagi menjelang, seluruh keluarga Akasuna sudah menyiapkan segala yang diperlukan untuk piknik di pantai kali ini, sungguh baik keluarga ini. Sakura sendiri sudah memasukkan beberapa baju sebagai gantinya nanti jika ia ingin berenang. Aku hanya melihat Sakura dari atas ranjang, Sakura yang bolak balik dari lemari lalu ke ranjang, membuat ku pusing. Mata ku berbinar saat Sakura memasukkan bungkusan makanan ku, aku melompat mendekat kearahnya dan ia langsung menyadari ku,lalu membelai bulu ini.
"Aku tidak akan meninggalkan mu sendiri disini" katanya.
Aku mendekatkan kepala ku ke kakinya mengelus sayang. Sakura penyelamat ku, Sakura yang ku sayang. Dan pintu kamar terbuka menunjukkan kepala merah Sasori dengan cengiran lebar. "Sudah siap, Sakura?"
Sakura mengangguk dan bangkit, berjalan menuju keluar. Ia melirik bibi Andari yang sedang memasukkan makanan ke kotak bekal. Sakura segera menghampirinya berniat membantu.
"Selamat pagi, Sakura" sapanya, membuat Sakura tersenyum.
"Selamat pagi,bibi. Apa aku bisa bantu?"