Penyerahan tugas kelompok telah usai sejak beberapa hari yang lalu.
Hari demi hari pun berlalu menjadi minggu-minggu yang akan terangkum menjadi bulan.
Ada satu kegiatan yang akan dilaksanakan oleh fakultas kami. Festival budaya, begitu orang-orang menyebutnya.
Festival budaya ini akan diisi dengan beberapa cabang seni, seperti tari, drama musikal, live music, pembacaan puisi, pameran dan masih banyak lagi hal lainnya dimana festival ini juga bertujuan untuk memperkenalkan bahwa Indonesia juga kaya akan seniman dan sastrawan.
Tak ingin ketinggalan kesempatan menjadi saksi peradaban budaya, aku dan teman-teman sekelas mengambil peran dalam kepanitiaan.
Selain ikut berperan dalam kepanitiaan terutama dibidang acara, aku juga menjadi salah satu penari yang akan tambil pada acara puncak dari festival tersebut.
Dengan melibatkan diri di kepanitiaan ini, aku akan menghabiskan sebagian waktuku bersama Bio nantinya.
"Ndi, kamu bisa gak pergi bareng Hira beli beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk acara nanti? Barangnya sebagian bisa dibeli di toko buku depan kampus, tersedia kok disana", kata senior yang akrab dipanggil dengan Mas Gani.
Mas Gani adalah koordinator seksi PTT (Peralatan, Tempat dan Transportasi).
Beliau diminta oleh kak Elsa untuk mencarikan seseorang dari anggota PTT untuk membantuku membeli sebagian barang-barang yang diperlukan.
"Gabisa Mas, kan Mas sendiri yang minta aku untuk survey tempat di hari dan jam segitu juga kemarin", tolak Andi.
"Oh iya ya. Mas lupa. Jadi siapa ya yang bisa? Disini ada laki-laki yang bersedia untuk menemani Hira ke toko buku?", tanya Mas Gani.
"Yaudah Mas, saya aja yang menemani Hira. Kebetulan saya juga lagi gak ada kegiatan di hari itu", Bio mengajukan dirinya sendiri untuk menemaniku.
"Gimana dik Hira, ditemani Bio aja gak apa-apa ya dik?", tanya Mas Gani kepadaku.
"Iya gak apa-apa kok, Mas. Yang penting ada yang menemani biar bisa bantuin angkat barang-barangnya nanti", ucapku sambil tertawa kecil.
"Oke deh kalau begitu, berarti udah clear ya", kata Mas Gani.
Setelah rapat kepanitiaan sudah mendapatkan penyelesaian untuk beberapa masalah, maka rapat pun ditutup. Rapat kepanitiaan akan dilanjutkan kembali nantinya untuk hal-hal yang berkembang.
Aku masih terduduk di Pendopo fakultas. Seseorang menghampiriku dan duduk disebelahku.
"Dapat proyek bareng Bio lagi ya, Ra", kata Gina.
"Iya, Gin. Kebetulan bareng dia terus", kataku.
"Gimana dia sama kamu, Ra?", tanya Gina.
"Gimana apanya, Gin?", tanyaku sebab belum mengerti.
"Dia baik gak ke kamu? Dia sering gak hubungi kamu?", tanya Gina kembali.
"Kalau ditanya baik atau gak ya pasti dia baik, Gin. Kalau untuk ngubungi aku sih dia memang jarang. Karena kan emang kita gak lagi punya urusan yang penting-penting banget", jawabku meluruskan.
"Oh jadi kalian jarang ya komunikasian. Aku pikir dia sering ngubungi kamu", ucap Gina.
"Lah emang kenapa kamu kok bisa mikir gitu, Gin?", tanyaku.
"Kamu gak sadar ya dia sering banget natap kamu diam-diam? Dan saat kalian presentasi tugas kelompok waktu itu, dia natap kamu itu beda ketika kamu lagi ngejelasin. Aku sama Yumi sampai mikir kalo Bio tuh suka sama kamu. Emang dia gak pernah ngelakuin sesuatu gitu untuk kamu?", tanya Gina lagi.
"Dia cuma pernah nganterin aku pulang pas selesai ngerjain tugas kelompok di cafe depan kampus. Kan ngeliatin belum tentu artinya dia suka, Gin. Jangan berlebihan ah. Cara dia natap aku biasa aja kok", jelasku. Padahal aku sendiri juga pernah memergoki Bio sedang menatapku.
"Ye kamu dibilangin gak percaya. Coba aja kita liat nanti. Bakal gimana selanjutnya hubungan kalian", kata Gina.
"Hahaha. Iya, Gin," ucapku.
Apa benar Bio memang memiliki perasaan tak biasa padaku? Atau hanya firasat Gina dan Yumi terlalu berlebihan? Bagaimana jika mereka salah? Mungkin aku akan merasa sedih.
Sedih? Kok aku sedih? Emang Bio siapa? Emang aku siapa? Emang kami ini apa? Hanya dua orang manusia yang sedang berteman tanpa ada komunikasi khusus diantaranya.
Dengan penjelasan demikian sudah seharusnya aku tidak boleh merasa sedih. Karena perasaan sedih menandakan bahwa aku sudah menaruh harap.
"Dia pasti hanya menganggapku teman. Kami hanya teman", tanamku dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagaimana Kamu Tahu Itu Aku?
RomanceKamu tidak akan pernah tahu bagaimana semesta berencana. Bagaimana rumitnya sebuah pertemuan, begitu pula perpisahan. Apa yang akan kamu lakukan jika semesta memperkenankan takdir yang rumit itu terjadi? Apakah kamu akan menghindarinya, atau kamu ak...