"Thank you untuk semua teman-teman panitia. Kalian semua bener-bener luar biasa. Berkat semuanya acara kita bisa berjalan dengan lancar. Sekali lagi terimakasih. Mari beri tepuk tangan untuk kita semua," ucap ketua panitia festival sebagai penutup agenda laporan pertanggungjawaban festival budaya.
Kami semua bertepuk tangan.
Festival budaya dapat terbilang berjalan dengan sukses. Banyak pujian yang diberikan oleh teman-teman dari fakultas lain yang kami dapatkan.
Selain pujian, kami juga mendapatkan surplus (keuntungan) dari acara ini. Surplus ini akan digunakan untuk biaya refreshing panitia setelah acara.
Lokasi yang dipilih sebagai tempat refreshing adalah Puncak. Disana kami akan menginap selama 1 malam.
Waktunya pun sudah ditentukan pula, yaitu 2 hari setelah laporan pertanggungjawaban acara festival.
Hari berjalan seperti biasa. Hingga tiba hari yang ditunggu-tunggu. Hari refreshing panitia.
"Hore kita jalan-jalan!" seruku pada Gina yang berdiri disampingku.
"Iya nih. Ini yang udah aku tunggu-tunggu," ucap Gina sambil tertawa kecil.
"Kita duduk sebelahan ya Gin," ajakku.
"Ayuk, Ra." Balas Gina.
Sampai di bus, aku dan Gina mencari posisi tempat duduk yang kami anggap nyaman. Tapi dikarenakan teman-teman yang lain sudah lebih dulu mencari, kami pun terpaksa mendapatkan tempat duduk yang berisi 3 kursi dibarisan sebelah kanan bus.
Gina duduk disebelah kanan, disamping jendela. Sedangkan aku duduk ditengah.
Kursi disebelah kiriku masih kosong sebelum akhirnya seseorang datang menduduki kursi tersebut karena sudah tidak ada lagi kursi yang tersedia.
"Aku boleh duduk disini?" tanya orang itu.
"Boleh banget dong!" jawab Gina sambil menepuk tanganku sembari memberi kode agar aku menoleh ke orang tersebut.
Aku pun menoleh, ingin melihat siapa orang yang duduk disebelahku selain Gina.
Orang itu tersenyum.
"Hai, Ra." Sapanya.
"Eh, hai, Bi." Balasku sambil tersenyum.
"Kamu pasti bakal senang duduk di sampingku, Ra." Ucap Bio dengan girang.
"Kok kamu pede banget sih?" Kataku sambil tertawa kecil.
"Yaiyalah. Karena aku bawa banyak cemilan tau. Nih liat!" Bio menunjukkan satu kantung plastik besar yang berisi cemilan.
"Wah banyak banget. Kamu bawa sebanyak ini untuk apa?" tanyaku heran.
"Ya untuk dimakan, Ra." Jawabnya enteng.
"Itu sih aku tau, Bi. Itu bukan jawaban." Kataku tidak habis pikir dengan jawabannya.
Bio pun tertawa melihatku.
Cemilan yang Bio bawa, dimakan oleh teman-teman yang di bus, tak terkecuali aku. Dan sepertinya, justru kami makan lebih banyak dibandingkan dengan Bio sendiri yang punya cemilan. Tapi Bio tidak mempermasalahkannya, sebab ia sendiri yang menawarkannya kepada kami. Bio justru tersenyum senang melihat teman-teman yang makan cemilan tersebut.
Satu jam telah berlalu. Aku mulai mengantuk. Kesadaranku pun mulai menipis. Kurasakan seseorang meletakkan kepalaku dibahunya sebelum aku benar-benar pergi ke dunia mimpi. Seseorang yang bisa kutebak itu siapa. Iya itu adalah dia. Bio.
Bio membangunkanku saat kami sudah sampai di lokasi penginapan.
Aku pun terbangun.
Kulilihat sekelilingku, teman-teman bergegas memindahkan barang-barang yang ada di dalam bus. Gina sudah keluar dan membantu teman-teman yang lain.
"Sini aku bawain tasnya. Pasti beratkan?" tanpa persetujuanku Bio langsung membawa tasku.
Seketika sebuah senyuman hadir dibibirku. Mengapa laki-laki yang satu ini semanis ini? Semua tindakan sederhananya selalu bisa membuatku merona, batinku.
Di dalam penginapan, kami diberi kunci kamar masing-masing.
"Di lantai satu seluruhnya adalah kamar anak laki-laki. Untuk kunci kamarnya bisa diambil ke Yudha. Sedangkan anak perempuan, ada di lantai dua, dan kunci kamarnya bisa diambil ke Siska. Satu kamar ada yang dua orang, ada juga yang tiga orang. Berhubung ini sudah sore, kalian bisa istirahat sebentar ataupun mandi. Jam 7 malam kita berkumpul di teras untuk persiapan bakar-bakar." Komando ketua panitia festival budaya.
Aku dan Gina langsung ke kamar. Meletakkan barang-barang kami, lalu rebahan sebentar dan mandi.
Sepuluh menit lagi panah jam dinding akan mengarah tepat ke pukul 7 malam.
Aku menyuruh Gina turun lebih dahulu. Sebab aku masih mencari sarung tanganku.
Aku adalah tipikal orang yang tidak tahan dengan suhu dingin.
Sebelum berangkat, aku sangat yakin sudah memasukkan sarung tangan dan syal ke dalam tas. Tapi aku tidak menemukannya meskipun sudah mencari berulang kali.
Dengan sangat terpaksa, aku menyerah mencarinya. Lalu turun ke lantai satu dan berjalan ke teras. Di teras, teman-teman sudah berkumpul.
Meskipun baru jam 7 malam, tapi suasananya sudah sangat dingin menurutku.
Aku mengosokkan kedua tanganku dan memasukkannya ke dalam kantung jaket berharap tanganku bisa menjadi lebih hangat.
"Ah dingin banget." Gerutuku.
Tak butuh waktu lama, bersin pun meluncur. Kurasakan hidungku sudah mulai meler.
"Radio rusak." ucap Bio pelan.
Aku tidak sadar dari tadi Bio berdiri disampingku.
Tapi, tunggu-tunggu...
Dia tadi bilang "radio rusak" kan?"Kamu tuh kalo udah meler mirip radio rusak loh, Ra!" ucapan seseorang yang tiba-tiba terngiang di kepalaku.
Apakah ini hanya kebetulan? Pikirku.
Lamunanku pecah saat bio tiba-tiba menarik tanganku.
Bio dengan cepat langsung memakaikan sarung tangan ke kedua tanganku. Tak lupa pula ia mengalungkan sebuah syal dileherku. Membuatku merasa lebih hangat.
"Terimakasih." Kataku sambil berkaca-kaca.
"Kenapa?" tanyanya bingung.
"Gak apa-apa. Kamu mirip seseorang." Jawabku.
"Mungkin cuma kebetulan, Ra." Bio tersenyum tipis.
Kebetulan ya? Iya pasti ini hanya kebetulan saja kok. Dulu kan aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk berhenti memikirkan itu. Pertanyaan yang sudah tenggelam, tidak boleh lagi kubawa ke permukaan. Aku tidak boleh goyah hanya karena kebetulan yang tidak sengaja.
Pikiranku yang sedang berkecamuk seketika berhenti saat ketua panitia memberikan komando kepada kami dimana anak laki-laki membantu dibagian membakar ayam untuk dimakan, sedangkan anak perempuan membantu dibagian mempersiapkan alat-alat makan dan minum.
Bio pergi bersama dengan teman panitia yang laki-laki. Kutatap ia dari belakang.
Mengapa laki-laki yang manis ini masih terkesan misterius? Batinku kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagaimana Kamu Tahu Itu Aku?
RomansaKamu tidak akan pernah tahu bagaimana semesta berencana. Bagaimana rumitnya sebuah pertemuan, begitu pula perpisahan. Apa yang akan kamu lakukan jika semesta memperkenankan takdir yang rumit itu terjadi? Apakah kamu akan menghindarinya, atau kamu ak...