Mendekat

23 6 1
                                    

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan", hitung para penari sambil menggerakkan badan sesuai irama lagu dan hitungan.

Aku dan teman-teman penari sedang berlatih untuk festival nanti di pendopo.

Festival budaya akan diadakan seminggu lagi. Sudah 80% persiapan yang dilakukan.

Selama latihan, cukup banyak orang yang memerhatikan kami. Sebab penasaran tarian yang seperti apa yang akan ditampilkan.

Setelah menghabiskan waktu tiga jam untuk berlatih, kami pun menyudahinya.

Malam ini aku akan pergi untuk menepati janji makan malam bersama teman-teman panitia.

Makan malam ini bertujuan untuk membangun kekompakan dan kebersamaan panitia agar acara festival budaya dapat berlangsung dengan baik nantinya.

Aku membuka aplikasi grab lalu mengatur titik jemput serta tempat tujuanku. Butuh 20 menit untuk sampai ke tujuan.

Segera ku langkahkan kaki memasuki restoran. Dari pintu masuk ku jelajahi isi ruangan dengan mataku. Hingga akhirnya pandanganku terhenti di kumpulan orang-orang yang ku kenal. Mereka sedang duduk dan bersenda gurau. Aku pun menghampiri mereka.

Ku duduki kursi kosong yang tersedia. Aku duduk di antara Kak Maya dan Mas Indra. Sedangkan di depanku kursinya masih kosong belum berpenghuni.

Tiba-tiba seseorang menduduki kursi tersebut. Seseorang itu adalah Bio. Dia datang lima menit setelah kedatanganku.

Ketika dia sadar bahwa di depannya adalah aku, Bio melemparkan senyuman ke arahku. Kami berdua tersenyum.

"Terimakasih untuk semua teman-teman panitia yang sudah bersedia hadir di acara makan malam kita. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik untuk acara kita nanti. Sekian kata sambutan dari saya. Selanjutnya teman-teman bisa menyantap hidangan yang telah tersedia", ucap ketua panitia mengakhiri kata sambutannya.

Suara sendok dan garpu silih berganti mengisi keramaian. Semuanya sibuk dengan makanan masing-masing. Tapi masih terdapat beberapa obrolan ringan kala itu.

Selesai makan orang-orang berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Aku pun begitu.

Ada empat wastafel di restoran ini. Tapi karena pengunjung cukup ramai, sebagian pun harus mengantri menunggu giliran.

Aku berdiri di belakang salah satu pengunjung. Di belakangku juga seseorang sedang berdiri.

Ku lirik sosok yang berdiri di belakangku dari cermin yang terdapat di wastafel. Ternyata Bio.

Segera ku cuci tanganku ketika giliranku tiba. Lalu ku keringkan tanganku di mesin pengering.

Sepasang tangan mengikutiku yang sedang mengeringkan tangan. Sepasang tangan yang berada dibawah tanganku.

"Nebeng ya, Ra", izin Bio padaku.

"Oh iya gak apa-apa, Bi", balasku.

Kami pun kembali ke kursi masing-masing. Bio berjalan mengikutiku.

Ada rapat kecil setelah makan selesai. Aku menyimak dengan seksama.

Acara selesai pukul 10 malam. Sebelum pulang ke rumah masing-masing, kami mengadakan sesi foto bersama terlebih dahulu.

"Kenapa, Ra? Kok kayak lagi bingung?", tanya Haris padaku karena mungkin ia melihatku yang sedang berdiri kebingungan.

"Loh kamu datang? Kok aku gak lihat kamu?", tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Haris tadi.

"Iya aku telat tadi, datang pas dipertengahan acara. Kamu kenapa? Kayak lagi bingung gitu", ucapnya.

"Sebenarnya aku bingung mau pulang naik apa. Udah malam gini aku takut kalau harus pulang naik grab sendirian", jawabku.

"Oh jadi gitu. Tenang kamu gak perlu bingung, Ra. Aku punya ide", kata Haris.

"Bio, sini", Haris memanggil Bio.

Kok aku merasa idenya gak bagus ya? Pikirku.

"Kosanmu ke arah rumah Hira juga kan? Bisa tolong anterin Hira? Si Hira katanya takut kalau pulang naik grab. Ya kan, Ra?", tanya Haris.

Aku kaget. Bener-bener nih si Haris ngasi ide gak bener gini.

"Oh boleh kok. Pulang bareng aku aja, Ra", Bio menawarkan.

"Eh tapi ntar ngerepotin kamu lagi, Bi", ucapku.

"Jadi mau naik grab sendirian?", tanya Bio.

"Gak! Takut", kataku sambil merengut.

"Yaudah kalau gitu biar aku antar aja ya. Gak ngerepotin kok. Serius. Bentar ya aku ambil motor dulu", ucap Bio meyakinkanku sambil berlalu pergi ke tempat parkir.

"Nah gini dong jadinya diantar Bio kan", bisik Haris.

"Rese banget sih kamu, Ris. Aku udah duga sih idemu gak bener", kataku.

"Hahaha. Sorry ya, Ra. Aku cuma bercanda aja kok. Aku udah denger semuanya dari Gina", katanya.

"Kalian nih ya malah gosipin aku di belakang", balasku.

"Dia baik kok, Ra. Udah pergi gih, udah ditungguin tuh", ucap Haris.

"Awas ya kalau cerita yang gak-gak ke yang lain, aku tinju nanti", jawabku sambil mengepalkan tangan, mengancam seperti anak kecil.

Melihatku seperti itu, Haris pun tertawa.

Ini ketiga kalinya Bio mengantarku pulang.

"Udah, Ra?", tanya Bio.

"Eh udah kok", jawabku.

Bio menjalankan motornya. Tidak banyak orang yang lewat karena memang sudah cukup malam.

"Ra", Bio memanggilku.

"Iya, Bi. Kenapa?", jawabku.

"Kamu pergi sama siapa tadi?" tanyanya.

"Sama babang grab", jawabku.

"Gak sama pacarmu, Ra?", tanyanya kembali.

"Ini cara halus untuk menanyakan kamu punya pacar atau gak. Iyakan? Haha" jawabku.

"Duh ketahuan ya. Jadi malu. Hehe", balasnya.

"Kamu tebak dong", suruhku.

"Pasti jomblo kan?", tanyanya.

"Lah itu udah tau malah nanya", ledekku.

"Biar kamu ngomong, Ra. Abis dari tadi diem aja", kata Bio.

"Eh hehe maaf. Cuma bingung mau ngomong apa, Bi", jawabku.

"Kok bingung sih? Kayak orang baru kenal aja pake bingung segala", ucapnya.

"Jangan diem terus kalau lagi sama aku. Aku jadi gak bisa dengar suaramu. Aku gak suka itu, Ra", sambung Bio dengan lembut.

Aku merona. Ku rasakan pipiku memanas.

Tak terasa kami pun tiba di depan rumahku. Aku turun dari motor lalu mengucapkan terimakasih ke Bio.

Saat aku ingin beranjak masuk, Bio menarik tanganku.

"Langsung tidur ya. Jangan begadang", kata Bio mengingatkan.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu melangkah masuk ke rumah.

Bio sudah pergi. Tapi ucapannya yang tadi tidak pergi begitu saja. Aku mengingatnya. Kemudian menurutinya.

Toh tubuhku juga lelah dengan aktivitas seharian ini, jadi tidak ada yang salah jika aku menurutinya, pikirku sebelum tidur.

Bagaimana Kamu Tahu Itu Aku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang