Bagian XVI

2.3K 138 5
                                    

"Bintang akan tunggu Kakak."

Enam tahun lalu Bintang mengatakannya. Setelah pembicaraan mereka di ruang khusus pertemuan. Malamnya, Bintang diijinkan tak kembali ke asrama, melainkan pulang ke rumah Deliar yang keesokan harinya akan terbang mengejar mimpinya.

Setalah delapan tahun ini, Bintang berdiri dengan papan nama Deliar yang ia hias sedemikian rupa. Deliar pulang. Setelah menempuh strata satunya di Turki, dan melanjutkan strata duanya di Maroko. Deliar kembali.

Perempuan beranjak dewasa itu memasang senyum lebar begitu pengumuman yang mengatakan pesawat dari Turki telah mendarat. Kakinya berjinjit beberapa kali dengan papan nama di dada. Mencari sosok Deliar yang beberapa tahun ini sulit dihubungi karena terlalu sibuk dengan kuliahnya. Pria itu menjelma menjadi pria super sibuk yang di telpon pun begitu sulit dan jarang pulang jika ada acara keluarga. Libur hari raya saja ia hanya pulang beberapa hari tak sampai satu Minggu. Kembali terbang menuju negara tempatnya belajar.

Terkadang, Ibu Bintang mengatakan ketakutannya. Ia takut Deliar menikah lagi di negeri sana. Bintang dengan bijaksana tersenyum seperti yang Deliar ajarkan. Ia menenangkan sang Ibu dan mengatakan bahwa Deliar pria yang setia.

Berada di barisan paling depan dengan kerumunan yang hanya beberapa orang. Membuat Bintang leluasa menjelajahi setiap orang yang keluar. Tak lama, matanya menangkap pria berkacamata dengan brewok tipis berjalan membawa kopernya.

Mulutnya ingin memanggil Deliar. Namun terasa sesak dengan air mata yang menggenang. Pria tadi terlihat menoleh kesana-kemari. Tak jauh dari Bintang. Dengan tangan bergetar, Bintang mengangkat papannya tinggi-tinggi, sedikit menggoyangkan ke kanan dan kiri. Tak ia perdulikan beberapa orang yang menatapnya dengan kernyitan. Pria itu menoleh, menatapnya sekilas dan berlalu menuju pintu keluar. Bintang lemas, papannya ia jatuhkan dengan lesu. Apa Deliar melupakannya? Atau Deliar tak mengenalnya? Ia kan hanya memakai masker. Tangannya terlalu bergetar untuk membuka masker karena rindu yang membuncah.

Tepukan pelan membuat Bintang menoleh dengan lesu. Mata berkaca-kacanya mengerjap beberapa kali.

"Kok nangis?" Suaranya begitu berat, menambah kharisma tersendiri pada pria yang berlalu tadi.

"Kak Deliar..." Panggil Bintang lirih. "Kakak kenalin Bintang? Kakak gak lupain Bintang?" Tanya Bintang begitu antusias. Memaksakan tangannya yang bergetar menurunkan masker kain yang ia pakai. Bintang tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

"Mau Bintang pakai apapun Kakak pasti kenalin Bintang. Dan mana mungkin Kakak lupain Bintang." Jawab Deliar begitu halus. Tak tahan lagi, Bintang melompat dalam pelukan Deliar. Sesegukan menumpahkan rindunya yang begitu besar.

"Bintang kangen! Kangen banget!" Rajuknya dengan wajah yang tersembunyi di ceruk leher Deliar.

"Kakak juga kangen istri Kakak yang manis ini." Deliar membalas, mendekap hangat tubuh yang telah lama tak ia jamah.

*-*

Hari yang melelahkan, setelah menyapa para orangtua dan kerabat yang menyambut kepulangannya. Malamnya, setelah sholat isya. Deliar langsung menarik Bintang menuju kamar mereka. Lelah dan rindu menjadi satu padu. Membuat dekapan Deliar begitu erat pada tubuh Bintang yang sudah banyak berubah.

"Kakak capek banget ya?" Tanya Bintang mendongakkan kepala, menatap wajah Deliar yang mulai terpejam.

"He'em." Bintang mengangguk. Kembali memeluk tubuh Deliar yang mulai memasuki alam mimpi. Kepalanya tersembunyi di dada Deliar yang terasa kokoh. Telinganya menajam mendengarkan detak jantung yang bertalu seirama terasa begitu merdu di telinga Bintang.

Kepalanya kembali mendongak saat Deliar benar-benar memasuki alam mimpi. "Bintang cinta Kakak." Senyumnya merekah. Mengecup singkat dagu terbelah Deliar sebelum menyusulnya menyelami alam mimpi.

Kuterbangkan Bintang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang