8th - Concern

161 24 3
                                    

Kalau teman-temannya yang anak rantau sedang berlibur di kampung halamannya masing-masing, maka Revano Alvarendra yang asli Jakarta ini hanya berjalan-jalan di dalam kota dan menghabiskan waktu sendirian. Orang tuanya yang merupakan pengusaha dan pebisnis yang penuh ambisi itu terlalu sibuk dan mereka hanya akan berkumpul kalau ada acara keluarga besar, dimana keluarga besar Evan tentunya semua orang Jakarta.

Terkadang ia menghabiskan waktu bersama Wasa, atau berjalan-jalan sendirian sekedar melepas bosan. Liburan semester seperti ini memang selalu membosankan bagi Evan, karena ia lebih sering sendirian. Lebih enak kuliah, bertemu banyak teman.

Seperti siang ini, Evan yang baru keluar dari apartemennya itu memilih untuk mengunjungi kafe di seberang apartemennya yang sudah menjadi langganannya. Kafe itu memang menjadi alternatifnya kalau ia bosan dengan kafe yang terletak di lobi apartemennya.

Tapi kunjungannya hari ini sepertinya membuat Evan menemukan sesuatu.

"Ayu?"

Ketika antrian sudah sampai pada gilirannya, Evan terkejut melihat pegawai kasir yang ternyata adalah Andhira Dahayu, teman sekelasnya yang tidak pernah absen untuk ia jahili sejak semester satu itu.

Tapi sepertinya Ayu tidak berniat membalas sapaan Evan dan lebih memilih bersikap profesional karena ia sedang bekerja.

"Mau pesan apa ya, Mas?"

Evan tersenyum geli mendengar dirinya dipanggil 'mas' oleh Ayu.

"Mas Evan?" Ulangnya, dengan menambahkan namanya sendiri lalu terkikik. Padahal menurut Ayu itu tidak lucu sama sekali.

"Mas, kalau nggak mau pesan mending gantian sama antrian belakangnya," Ayu kini mulai bicara lebih tegas. Mengingat bagaimana sikap Evan padanya setiap hari membuat Ayu selalu mempunyai mood yang jelek kalau ada cowok itu di dekatnya.

Evan sebenarnya sudah tau kalau temannya ini memang selalu melakukan kerja part time, tapi Evan tidak tahu kalau salah satu tempatnya adalah di kafe seberang apartemennya.

"Lo tahu apartemen gue di sini ya?"

Dahi Ayu berkerut, "Hah?"

Kini Evan mulai menyamankan posisi berdirinya dengan mencondongkan tubuhnya ke arah meja dan kedua tangannya terlipat di atasnya.

"Perasaan di deket kampus kita ada banyak banget kafe, tapi kenapa lo milih part time di sini?" Evan bertanya dengan tatapan yang menggoda Ayu, seolah cewek itu memang sengaja memilih kafe ini karena ingin bertemu dirinya.

Ayu memutar bola matanya kesal. Evan sepertinya memang tidak pernah bicara serius dengannya, dia tidak pernah bosan bercanda.

"Mau pesan apa ya?!" Kini Ayu meninggikan suaranya, tidak peduli dengan beberapa pelanggan yang meliriknya terkejut.

Evan tersenyum jahil, tapi saat menyadari ekspresi Ayu, ia tahu sudah saatnya untuk berhenti bercanda atau ia akan menimbulkan masalah, lagi.

"Iya, Mbak, jangan galak-galak. Americano aja satu, Mbak."

Ayu menghela napasnya, mencoba meredakan amarahnya yang hampir membludak. Apalagi saat mendengar pesanan Evan yang seharusnya bisa sebutkan sejak awal.

"Tiga puluh tujuh ribu rupiah."

Evan yang tahu sudah saatnya untuk berhenti bercanda akhirnya memilih untuk langsung menyerahkan dua lembar uang dua puluh ribunya.

"Silakan ditunggu di meja," ujar Ayu sambil menyerahkan uang kembaliannya.

Evan kemudian mengambil tempat duduk yang tidak jauh dari kasir. Ia memilih untuk memperhatikan Ayu melayani beberapa pelanggan di meja kasir sambil menunggu pesanannya. Rasanya aneh, ia seperti melihat sisi lain dari Ayu. Cewek itu biasanya kebanyakan nangis kalau ia jahili dan sangat manja pada Sherin. Tapi kalau melihatnya sedang bekerja di kafe seperti sekarang, Ayu terlihat seperti pekerja keras.

Chemistry [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang