Chintya, begitulah aku ingin selalu mengenang dan memujanya. Seperti orang-orang Yunani berabad-abad lalu memanggil Dewi Bulan mereka, Arthemis, wanita dari Kynthos.
Aku melihat jingga mulai melepaskan diri dari senja, perlahan menjadi abu-abu. Sepoi tergantikan oleh angin yang lebih besar menghardiknya, menghempaskan dedaunan kering yang berserakan di jalanan yang mulai sepi. Aku merasakan senja yang suram dari balik kaca jendela kamar. Dalam waktu yang tak terlalu lama, daun-daun kering menutupi jalanan lagi. Daun-daun kering yang tampak letih bergantung di dahan pohon memilih untuk melepaskan diri dan terjatuh.
Senja hari ini tak seperti biasanya. Suara anak-anak bermain di halaman rumah tetangga kini tak lagi terdengar. Refleksi biru, ungu dan jingga hamburan mentari yang berpamitan pada hari tak pula tampak. Hanya nampak dalam pandanganku, abu-abu dan awan mendung yang saling bergesekan kemudian mengeluarkan suara yang menggelegar, membuat detak jantung siapapun yang mendengarnya terhenti. Waktu juga seakan terhenti olehnya.
Angin terasa bertambah kencang seakan menari-nari menyambut gulita, sembari menghempaskan semua benda yang berani berhadapan dengannya. Daun dan sampah kering yang masih berserakan di atas tanah terhempas tanpa tahu ke arah mana angin akan membawa mereka.
Klimaksnya setetes demi setetes air turun dari langit menghujam bumi, menyibak angin. Telah lama tanah-tanah kering merindukan air karena kemarau panjang. Semesta bersyukur karena kebaikan hati Tuhan menurunkan hujan pengusir kemarau.
Kedua mataku masih bergeming menangkap kumpulan daun kering yang beterbangan tanpa arah yang jelas, mencari perlindungan agar tetesan air tak menyentuh tubuhnya yang rapuh. Hanya sebagian saja dari mereka yang beruntung, berhasil terbang menjauh bersama angin sesaat terhempas menabrak kaca jendela kamarku, lalu sesaat kemudian setelah keberuntungannya habis, terhempas kembali ke tanah dan pasrah hancur oleh air hujan.
Aroma tanah basah tercium olehku. Aku menghirupnya dalam-dalam, aku sungguh merindukanya. Seperti diriku yang selalu merindukan aroma tubuh Chintya yang kini sudah bercampur dengan bau amis darah. Aroma tanah basah menahanku untuk tetap tinggal di bumi lebih lama, memintaku melupakan semua rencana yang telah aku buat sejak lama untuk kulakukan hari ini.
"Tidakah lebih baik kau mensyukuri hidupmu yang suram namun indah? Meskipun kini hanya gulita namun lihatlah jingga masih berusaha menyapamu dari kejauhan Romano!" Hati kecilku mencoba mengajakku berdialog.
Samar - samar refleksi muncul di kaca jendela kamarku, sesaat menarik perhatianku, mengalihkan fokusku padanya. Aku hanyalah seorang lelaki yang sudah bosan hidup, berhiaskan muka lelah dan dosa, lelaki yang putusasa dan saat ini berusaha duduk tegak di atas sebuah kursi kayu sekian lama memandangi kaca jendela.
Tak jauh dari tempatku duduk nampak sebuah meja kayu berisikan kertas yang berserakan. Sebagian dari kertas-kertas itu berbentuk lembaran yang sudah sedikit berlipat ataupun lecak, sebagian lagi sudah berbentuk gumpalan. Di salah satu sisi meja yang lebih lebar nampak sebuah laptop yang masih menyala. Terlihat di layarnya halaman Google Chrome masih terbuka, memperlihatkan sebuah e-book berjudul The Complete Manual of Suicide. E-book tersebut ditulis oleh seorang berkebangsaan Jepang, menjabarkan sebelas metode bunuh diri yang dirasa efektif berdasarkan tingkat kesakitannya mulai dari overdosis, gantung diri, melompat dari ketinggian, potong urat nadi, menabrakkan diri, minum racun, mati tersengat listrik, menenggelamkan diri, bakar diri, membekukan diri dan lainnnya. Aku memilih metode lainnya.
Aku perlahan memejamkan mata, revolver yang telah terisi penuh ada di genggaman tangan kananku, pucuknya menempel di pelipis kening.
"Aku rasa aku sudah siap. Mengakhiri semuanya. Maafkan aku Bapa. Maafkan aku si pendosa ini" Gumamku dalam hati.
Sedetik kemudian, sebelum mataku benar-benar tertutup rapat, aku menangkap samar kelebat refleksi kaca jendela.
Aku kemudian menoleh ke arah belakang, tersenyum pada seorang perempuan yang kini melangkah cepat ke arahku sambil berteriak melewati pintu kamar terbuka sedikit, mendorongnya dengan keras.
"Bella, maaf.." ujarku lirih tanpa sengaja.
Dalam jarak satu meter dari pintu kamar, langkah Bella terhenti. Di sudut kiri matanya, Ia menangkap kilatan dari sebuah logam. Kemudian Bella menoleh ke arah kilatan logam itu.
Dengan jelas Ia dapat melihat sebuah pisau tertancap ke dalam rongga dada seorang perempuan yang tergolek lemah di atas tempat tidur. Wajah Bella terlihat panik karena menyadari perempuan itu sudah tidak bernyawa lagi.
Sesaat tubuh Bella bergeming, kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke arahku. Bersamaan dengan itu, aku mengarahkan pandanganku ke kaca jendela, lalu menutup seluruh mataku.
"Romano kenapa..." Belumlah Bella berhasil mengakhiri kata-katanya, yang bercampur isakan tangis, suara revolver menghardik, memecah kesunyian kamar.
Kepalaku terpental keras ke arah kiri. Aku dapat merasakan cairan hangat mengalir dari pelipis keningku.
Pandangan mataku yang sepersekian detik terbelalak menahan sakit mendadak kabur dan gelap. Tubuhku menggigil oleh rasa dingin yang luar biasa. Namun perasaan lega kini menyelimutiku.
Kemudian aku melihat cahaya putih yang sangat menyilaukan. Perlahan dari balik cahaya itu muncul seorang perempuan tersenyum padaku. Aku dapat mengenali aroma tubuhnya sangat kuat.
"Chintya..." ucapku lirih.
Perempuan itu meletakkan telunjuknya di bibirku.
Bersamaan dengan itu sayup-sayup masih dapat kudengar suara tubuh Bella yang bertabrakan dengan lantai kamar, juga dapat kudengar isak tangisnya.
---
Penyesalan sejenak merayapi tubuhku, namun aku tahu itu sudah terlambat, karena sekarang semua benar-benar gelap dan mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANO KEJORA, CHAPTER I : MATAHARI
RomanceSetelah insiden cinta terlarang yang terjadi antara Leil dan Bella, Romano memilih untuk pergi. Sebuah rahasia besar akhirnya terungkap memaksa ketiganya terikat dalam hubungan cinta segitiga tanpa akhir.