"Aku pulang, Bi."
Ada getaran yang lain saat Cal memeluk Bian. Berbeda dengan saat dia memeluk Diva tadi sebelum cewek itu turun dari mobilnya. Ada nyaman yang susah dijelaskan.
Cal melepas pelukannya. Jemarinya menyisir poni Bian yang tak berantakan. Cewek di hadapannya menatap tanpa mengedip dan Cal yakin dia sedang bertanya-tanya sendiri dalam hati. Pasti dia kebingungan dengan sikap Cal dari tadi.
"Aku kelamaan ya?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga, pertanyaan yang memiliki banyak arti dalam hubungan mereka.
Terlalu lama untuk melepas Diva pergi. Terlalu lama untuk berdamai dengan masa lalunya. Dan terlalu lama membuat Bian menunggu sendiri.
Bian mengangguk dengan mata berair.
"Maaf.." Tak ada alasan, hanya kata maaf yang Cal ucapkan.
Bian menggigit bibirnya. Jemarinya mengepal erat lalu menonjok dada Cal pelan. Seolah membalas dendam karena sudah dibuat kalut dan takut disaat yang bersamaan.
"Kamu jahat, Cal.." Suaranya bergetar. Cal hanya mengangguk dan tak menahan tangan Bian yang memukul-mukulnya pelan, membiarkan cewek itu mengungkapkan semua yang dia pendam, "Kamu jahat..."
Diam-diam Cal mengiyakan. Lagipula sebutan apalagi yang cocok untuk dirinya selain jahat setelah menjadi brengsek selama ini?
"Kamu jahat banget..." Bian masih tak ingin menumpahkan air matanya meskipun suaranya sudah bergetar hebat, dia terus mengulang kalimatnya, "Tapi kenapa aku tetep nunggu kamu? Berharap banyak sama kamu? Dan berharap kalo kamu liat aku?"
"Tapi aku di sini, pulang ke kamu, Bi."
"Tapi kamu jahat! Buat aku nunggu dulu berbulan-bulan tanpa kepastian kalo kamu akan sayang beneran sama aku atau gak, akan milih aku atau justru ninggalin aku?"
Cal tersenyum miris, merasa bersalah. "Hebat ya kamu, bisa nanggung semua rasa sakit sendiri. Kamu kuat deh, Bi." Telapak tangannya menyentuh pipi kekasihnya, mengusapnya dengan ibu jarinya yang dingin.
"Ya makanya aku bisa sanggup sama kamu! Setahun Cal, bayangin setahun aku kayak gini. Setahun aku jadi pacar kamu tapi aku selalu takut kamu tiba-tiba pergi. Setahun aku dihubungan yang aku gatau akan kamu mau bawa kemana. Aku cuma bisa terus berharap suatu saat kamu mau liat ke arahku."
Cal benar-benar ingin memeluk, tidak, mungkin bersujud di kaki Bian adalah pilihan yang tepat setelah apa yang sudah dia lakukan pada cewek itu.
Namun Cal juga menyadari satu hal dari kalimat Bian, dia sudah sangat banyak menyakiti Bian, membuatnya menunggu tanpa kepastian walaupun keduanya berpacaran. Bian, cewek itu dan cewek manapun tidak berhak diperlakukan seperti ini, disakiti berkali-kali dan dipaksa berjuang sendiri.
"Bi..." Cal menjauhkan tangannya dari Bian, dia mundur selangkah, "You deserve someone better."
Jantung Bian seakan dipelintir. Perih sekali mendengar kalimat Cal barusan.
Gila. Calvin sudah gila.
"Gila ya kamu?"
"Bi-
"Kamu malah nyuruh aku sama orang lain setelah semua ini? Gila kamu, Cal. I deserve the better version of you, Calvin, not someone else." Air mata yang dari tadi menumpuk di pelupuk akhirnya jatuh.
Bian menyeka pipinya, "Kamu bukan pulang, Calvin, kamu ngusir aku." Bian berjalan melewatinya.
Lidah Cal kelu, hanya untuk memanggil Bian agar dia tidak pergi, dan kakinya seolah terpaku, bahkan untuk menggerakan jarinya pun ia tak mampu. Dia tak bisa mengejar Bian yang berlalu.
Bian tak melihat ada bahagia dari jatuh cinta. Arti cinta sendiri seakan bias diingatannya. Apa itu cinta? Baginya yang telah melewati setahun penuh bersama seseorang yang pura-pura mencintainya, definisi cinta menjadi terlalu abstrak baginya.
Mamanya benar, bahwa ada masa di mana kita akan mencintai seseorang yang bahkan tak pernah menghargai kehadiran kita. Hingga akhirnya lengan orang itu sendiri yang mendorong kita untuk pergi, karena yang dia harapkan sebenarnya ketidakadaan kita di hidupnya. Dan pada akhirnya kita akan berada di titik di mana merelakan adalah satu-satunya pilihan yang tak bisa dihindari.
Mamanya benar, yang selalu ditatap tak melulu menetap. Calvin contohnya. Mamanya benar, yang selalu disemogakan tak melulu akan diperkenankan. Calvin contohnya.
Dan mamanya juga benar, kalau melepaskan sesuatu yang membuat sesak juga cara untuk bahagia. Seperti mamanya yang memilih untuk meninggalkan papa, seperti Calvin yang merelakan Diva, Bian juga memilih untuk melepaskan semuanya, rasa sakit, perasaan, dan juga Calvin.
Dia tak pernah bermimpi hari seperti ini akan terjadi. Dia yang dengan optimis akan menemukan bahagia dalam cinta yang sudah pernah menyakiti mamanya, kini tak punya pilihan selain menyetujui kalau cinta memang banyak jatuhnya, jatuh yang sakit, jatuh yang menenggelamkan.
Cinta tai kucing. Bian mencaci dalam hati sambil berjalan menjauh, kali ini tanpa menoleh dan tanpa harapan akan dikejar oleh Calvin. Biarkan saja cowok itu, dia sudah tidak mau peduli lagi.
Thank you for reading
Perihal Milik Cal
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Milik Cal
ФанфікиTentang Calvin dan semua yang ingin dia sembunyikan bersama semesta. names belong to @eskalokal (twitter) [mulai: 02/04/19 - selesai: 27/03/20] ©stolentouch