Kepulan asap rokok menyeruak keluar saat jendela mobil diturunkan. Suara radio tak terdengar jelas hanya seperti suara bisikan. Si pemilik mobil nampaknya tak terlalu peduli dengan salam-salam yang penyiar ucapkan. Atensinya fokus pada jalanan malam yang basah dan lumayan lengang. Hingga lamunannya tentang berbagai hal buyar saat saku jaket hitamnya bergetar cukup lama. Dia merogoh benda persegi panjang berwarna hitam.
Diva is calling you...
"Halo? Kenapa?" Yang ditanya tidak menjawab, Cal menghembuskan asap ke udara, "Gue tutup ya? Gue lagi nyetir nih."
"Oh yaudah nanti aja deh, sorry ya." Cal nyaris menginjak rem saat menangkap ada sesuatu yang aneh dari nada suara cewek di seberang sana.
"Lo dimana?"
"Di...kosan."
"Jangan bohong, lo dimana?"
Diva diam cukup lama, sampai akhirnya dia bilang, "Di halte teknik."
"Tunggu disitu." Cal tidak bertanya kenapa cewek itu ada di Teknik jam segini, dia langsung putar arah dan melajukan mobilnya secepat yang dia bisa.
***
Diva ada di sana, duduk di halte teknik sendirian sambil memeluk totebagnya. Cal membunyikan klakson memberi isyarat agar cewek itu segera masuk.
Di dalam mobil, Diva hanya menatap jendela yang berembun, sedangkan mulutnya bungkam.
"Lo udah makan?" Diva hanya mengangguk sebagai jawaban, masih tak ingin bersuara. "Temenin gue makan dulu mau gak?"
"Boleh langsung ke kosan gue gak?"
"Yaudah."
Cal sesekali melirik ke arah cewek di sebelahnya, dia bisa melihat bulu mata Diva berkilat basah saat sinar lampu jalan menyeruak masuk sebentar ke dalam mobil. Cal tak bertanya apa-apa walaupun dia penasaran kenapa semalam ini Diva masih di kampus? Dan kenapa di Teknik? Kenapa tak minta antar pacarnya yang anak teknik itu? Kenapa bulu matanya basah? Dan kenapa Diva diam saja? Cal sudah menduga-duga dan kurang lebih dia sudah tau alasannya.
Mobil Cal berhenti di depan pagar hitam kosan Diva, tapi Diva tak kunjung turun. Diva menunduk, memainkan tali totebagnya, "Gue putus." Sudah Cal duga, pasti itu penyebab utama kenapa Diva nangis sendirian.
Cal tak berkata apa-apa dia hanya mengusap rambut Diva. Lagipula dia bingung harus berkata apa, sebab dia hanya bisa jadi pendengar yang baik dan juga menurutnya disaat seperti ini bukan kata-kata yang harus dia berikan, melainkan pelukan, memberikan bahunya sebagai sandaran dan memasang telinga untuk mendengar semua cerita juga tangisan.
Cal melepas seatbeltnya, lalu merengkuh Diva saat dia mendengar suara isakan. Membiarkan jaket kesayangannya basah asal temannya itu tenang. Aneh rasanya menyebut cewek itu teman, sementara hatinya tidak karu-karuan setiap dia bersama Diva.
"Bau rokok." Ujar Diva setelah isakannya mereda, tapi cewek itu tidak melepas pelukannya, "Kayak Bimo bau rokok." Cal tidak tau harus menanggapi seperti apa.
Setelah hening beberapa menit, Diva kembali buka suara, "Gue cuma dijadiin selingan, dijadiin pelampiasan doang. Pas mantannya minta balikan, gue dibuang." Cal bisa merasakan hembusan nafas Diva di lekukan lehernya, "Lo jadi cowok jangan jahat ya Cal. Inget ya kalo lo jahat, lo sama aja nyakitin nyokap lo. Karma does exist. Dan karma gak pernah salah sasaran."
Cal tau kata-kata Diva bukan sepenuhnya ditujukan untuknya melainkan untuk cowok bernama Bimo yang sudah dengan bodohnya menyia-nyiakan rasa sayang milik Diva, sedangkan Cal sendiri kesusahan untuk mendapat apa yang sudah Bimo sia-siakan.
"Iya siap."
Diva mendorong tubuh Cal, lalu tersenyum dengan mata bengkaknya. "Thanks Cal."
"Buat apaan?"
"Nganterin gue sampe kosan dengan selamat dan...." Diva menggantung kalimatnya, senyumnya semakin lebar, "Selalu ada tiap gue butuh."
"Sama-sama. Udah masuk gih."
Diva membuka pintu mobil, sebelum turun dia membalikkan tubuhnya, "Eh iya satu lagi."
"Apaan lagi?"
"Makasih udah mau temenan sama cewek cengeng kayak gue. Kalo besok-besok gue jadi temen yang super nyebelin dan sering ngerepotin, jangan tinggalin gue ya? Kita tetep temenan oke?"
Cal diam, dengan ragu dia mengangguk. Ada rasa sesak di rongga dadanya, ada rasa tidak puas dan ingin marah ketika mendengar runtutan kalimat itu. Teman ya? Apa bisa dia selamanya menjadi teman yang baik untuk Diva? Sedangkan hati kecilnya selalu merengek menginginkan sesuatu yang lebih dari pertemanan mereka.
Div, gak bisa ya kita lebih dari ini? Hanya itu yang ingin dia lontarkan sekarang, tapi suaranya tak bisa keluar. Keberaniannya hilang, entah di warkop atau di jalanan, atau mungkin menguap bersama asap rokok yang tadi dia hembuskan.
"Hati-hati ya, langsung balik jangan nongkrong dulu. Dadah Calvin."
Cal hanya bisa memandangi punggung Diva yang ditelan pintu kosan sambil merutuki dirinya yang tak kunjung menemukan keberanian.
Thank you for reading
Perihal Milik Cal
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Milik Cal
Fiksi PenggemarTentang Calvin dan semua yang ingin dia sembunyikan bersama semesta. names belong to @eskalokal (twitter) [mulai: 02/04/19 - selesai: 27/03/20] ©stolentouch