"It was eight years. Right?"

72 0 0
                                    

“Dek...”
Deg... jantungku berdegup tak beraturan. Aku benar-benar mengenal suara ini. Tapi benarkah? Sekalipun benar, siapkah aku bertemu lagi dengannya? Aku menoleh ke asal suara yang memanggilku dan menyentuh bahuku lembut itu.

“M....a....s...”
terbata aku berkata. Aku benar-benar terpaku. Dia benar-benar ada di hadapanku saat ini.

“Apa kabar? Mas gak nyangka kamu ada di sini juga.”
Matanya tampak berbinar melihatku. Atau lebih tepatnya, apa hanya aku yang menginginkan itu.

“b...a...i..k, ya...aku ada di sini.”
Aku sedikit meringis canggung, salah tingkah. Aku masih belum berkata dengan benar. Jantungku tak membiarkanku bersikap atau berkata secara normal.
Dia tersenyum. Begitu tulus. Begitu....ya, harus ku akui, dia masih begitu....tampan.

“udah lama? Tinggal atau sebentar? Ada pekerjaan?”
aku semakin salah tingkah. Jantungku semakin berdegup kencang karena diberondong pertanyaan begitu olehnya.

“eh..sorry...sorry, kebanyakan nanya ya.”
Dia tampak sedikit tidak enak hati, tetapi entah kenapa dia terlihat sangat bahagia. Atau lagi-lagi, hanya aku yang menginginkan hal itu.

“gak kok, gak apa-apa. Wajar kan. Kita sudah lama banget gak pernah ketemu. Ehem..”
aku jeda sebentar mengatur suara yang sedikit serak karena kegugupanku. Aku mengatur nafas pula.
“aku udah kurang lebih 2 tahunan lah di sini. Ada kontrak kerja.” Lanjutku lagi.

“oh... gitu. Bagus deh.”
Aku hanya mengangguk.
Lalu entah ini lagi-lagi yang ku inginkan atau benar-benar terjadi, dia menatapku dalam tanpa kata. Tatapannya menembus hati dan menambah tabuhan genderang di jantungku.

Aku tak tahan dengan lakunya ini. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Di depanku saat ini terbentang danau buatan yang tampak tenang. Tetapi entah kenapa aku melihat airnya seolah menari-nari bergerak ke sana kemari. Dan seperti punya mata, melirik ke arahku dan seolah tersenyum jahil. Oh Tuhan...apa yang ada dipikiranku saat ini.

“kalau dipikir-pikir, udah hampir....” dia menautkan kedua alisnya,  nampak mengingat dan berfikir.
oh God... It was eight years, Right?” tanpa sadar aku mengangguk 

“Udah lama banget ternyata kita gak ketemu ya. ” intonasi suara lembutnya itu menyudahi lamunanku yang tak jelas.
Hatiku belum juga berhenti berdesir. Aku benar-benar tak bisa menyudahi sikap salah tingkah ini. Aku menoleh ke arahnya. Dan aku benar-benar tak menyangka, dia belum juga berhenti menatapku. Entah mengapa dia berlaku begitu. Aku semakin tak kuasa menahan diri. Aku mulai memainkan kedua jari kelingking jika aku mulai cemas.

Lalu tiba-tiba....
“Ayah.........”
teriakan itu mengagetkan kami berdua.
Dia menoleh pada anak laki-laki berusia sekitar 4-5 tahunan, lalu melambaikan tangan tanda untuk menunggu sebentar. Aku hanya bisa terpaku.
Dia sudah punya anak. Batinku. Tegasku dalam hati.

“Mas harus pergi, Dek.”
Lalu dia mengeluarkan ponsel dari kantung celananya.

“Nomor ponselmu, Dek?”
aku menyebutkan nomor ponsel dengan gugup, karena sejujurnya aku masih tidak yakin, benar atau tidak aku mengiyakan memberinya nomor ponselku ini.
Entahlah...
Dia pergi setelahnya.
Namun ada yang memberikan bekas kebingungan teramat dalam di hatiku. Sebelum dia benar-benar pergi...
“Mas bener-bener seneng melihatmu di sini, Dek.”
Dia berkata seperti itu dengan hujanan tatapan dalam lagi padaku.

Lalu sekarang hanya tinggalah aku, dengan degup jantung yang masih berdeyut kencang dan hati yang masih berdesir, dengan rasa kebingungan, rasa tak percaya, dan penuh tanya.

Tuhan...apa rencanaMu mempertemukanku lagi dengannya?”

Aku pergi dari tempat itu. Tempat yang saat ini benar-benar aku sesali sudah ku kunjungi.

*****F.T.W*****

A Mistake (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang