“good morning ladys n gantlement. Our first speaker is a young entrepreneur who is famous throughout the world. In fact, he is predicted to be the second richest businessman in the world this year. We should be proud that the businessman came from the Southeast Asia region. It is an honor for us, he can take the time to come to this event. We welcome with great fanfare, the one and only, is San Reno Matalatta.”
Aku tersentak. Jantungku berdesir. Hanya mendengar namanya saja tubuhku sudah bergetar seperti ini.
Aku dan Brean seketika berpandangan. Nampaknya dia juga terkejut, atas kehadiran Mas Reno di acara ini.
Diiringi tepukan meriah seluruh hadirin, tubuh tegap itu masuk dengan gagahnya, seperti biasa, diiringi beberapa bodyguard. Mr. Gilian tampak setia berada disampingnya.
Setelan jaz putih yang pas membungkus badan sempurnanya, membuat dia terlihat sangat menawan. Rambutnya yang disisir ke samping, menegaskan garis wajahnya.
Dia menebar senyuman ke sepenjuru aula. Sejenis senyum yang baru kusadari teramat sangat aku rindukan.
Tatapan mata kami bertemu. Seketika rasanya darahku berhenti mengalir. Tubuhku menegang mendapatkan tatapan tajam penuh arti darinya.
Aku rasa tatapan yang seolah menghisap seluruh tubuhku itu, tidak mampu aku hadapi. Aku menunduk, tidak ingin tumbang seperti dulu ketika pertama kali kami bertemu di kantor.
Dia dipersilahkan duduk. Acara dimulai dengan moderator memberikan beberapa pertanyaan pembuka.
Sesekali aku memberanikan diri mengangkat wajah, dan yang terjadi tidak sebaik yang aku fikirkan, tatapan mata itu tidak beralih.
Dia menjawab segala pertanyaan dari moderator, tetap dengan matanya fokus ke arahku. Aku menunduk lagi, takut.
Bagaimana bisa sih dia fokus mendengar dan menjawab tapi pandangannya bahkan bukan ke arah orang yang memberikan pertanyaan. Tanyaku dalam hati.
Sepanjang acara, dudukku gelisah. Aku tidak tenang. Keringat rasanya sudah membanjiri tubuhku, sekalipun aula ini sudah dilengkapi dengan beberapa pendingin ruangan.
Perutku tiba-tiba sakit. Kepalaku rasanya berputar. Beberapa kali aku mengambil botol minuman yang tersedia di masing-masing meja, dan meminumnya, hingga tak sadar, botol minuman itu telah kosong.
Bagaimana tingkahku tak seperti itu, bila sepanjang acara, tatapan mata itu tak teralihkan dariku.
Sekalipun dia bermonolog di depan, bukankah seharusnya dia mengedarkan pandangannya, bukan fokus pada satu titik saja.
Wanita mana yang tidak salah tingkah jika dipandang sedalam dan selama itu. Mau pergi dari situ rasanya tidak sopan dan pasti akan menimbulkan kegaduhan.
Mau membalas menatapnya, hal yang percuma, karena aku tak mampu terkunci didalam matanya.
Dan akhirnya, penderitaanku berakhir. 2 jam tersiksa di dalam acara, aku segera pamit pada Brean untuk pergi ke kamar.
Sampai di dalam kamar, aku langsung membersihkan diri menuju kamar mandi. Keringat sebadan rasanya sangat risih. Bagaimana bisa hanya karena gelisah, aku mengeluarkan keringat sebanyak ini.
Hah.. Kuhela nafasku dalam.
30 menit selesai kuhabiskan dengan berendam, aku memakai red sweater oversize selutut berhodie dengan gambar mini mouse.
Awalnya aku ingin bergelung dengan guling dan selimut, sambil menenangkan hati dan jantungku. Tapi ketukan pada pintu kamar hotel menggagalkan hal itu.
“Baron...”
dengan hanya melihatnya saja aku tahu, aku harus mengikutinya.Setelah mengunci kamar, aku mengikuti langkah Baron. Kami masuk lift dan bergerak ke lantai teratas hotel ini. Tangan ku tautkan.
Ku mainkan jari kelingkingku. Aku cemas. Mau tidak mau, sebentar lagi aku harus menghadapinya.
Lalu aku harus bersikap bagaimana?
Keluar dari lift, di lantai ini hanya terdapat 3 kamar presidential. Kami berhenti di kamar paling ujung.
Beberapa bodyguard Mas Reno yang berjaga di depan kamar, membungkuk hormat ketika kami lewat. Aku berasa tidak enak sendiri.
Baron mengetuk pintu kamar itu. Lalu mempersilahkan aku masuk.
Nuansa kamar dengan dominan berwarna coklat bamboo. Warna kesukaan Mas Reno.
Bagaimana bisa, nuansa kamar sesuai dengan kesukaan penyewanya. Apakah memang kamar ini sudah menjadi hak atas kepemilikan Mas Reno.
Tapi bolehkah begitu? Isssssh... Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Pikiran yang tidak penting. Batinku.
Aroma woodys pelargonium menguar seketika. Wangi yang akhir-akhir ini sangat ku hafal.
Aku berbalik. Mas Reno berdiri dengan rambutnya yang masih basah. Setelan jaznya sudah berganti dengan kaos D&G putih favoritnya dengan celana pendek cole nya.
Dia berhenti beberapa meter di belakangku seolah takut mendekatiku.
“Kamu sengaja ngehindar dari Mas, baby?”
suara lembut, yang hanya ia keluarkan untukku, seolah menggugah rasa rindu yang tertahan.Tak sadar, aku mulai melangkah cepat ke arahnya. Dan menubrukkan badanku dalam dekapannya.
Tubuhnya sedikit menegang, lalu relaks kembali setelah aku mengeratkan pelukan. Ia membalas pelukanku tak kalah erat.
“i miss you, baby. Crazy missing you.”
Hatiku berbunga.Tuhan.. Tolong hari ini saja ijinkan aku lupa, kalau pria yang sangat ku rindukan ini, tak bisa kumiliki. Tolong biarkan aku menikmati ini sebentar saja. Maafkan aku, Tuhan.
*****F.T.W*****
KAMU SEDANG MEMBACA
A Mistake (END)
RomanceFianara...wanita karir dengan kredibitilas, kompetensi, dan loyalitas tinggi, harus terjebak di dalam kisah cintanya kembali, setelah ia fikir sudah selesai dari entah kapan tahun. Parahnya...yang ia tahu, mantan kekasihnya itu adalah lelaki yang su...