Maaf yang terucap itu… untuk apa?
...Mendengar penjelasan dokter dengan apa yang terjadi pada Sally, membuat hatinya semakin retak. Rasanya kepala Vante ingin pecah, karena tak sanggup menerima apa yang di luar kendalinya.
Seluruh kesakitan harus Vante telan bulat-bulat. Bukan kah seharusnya dia bahagia sekarang? Dia akan menjadi seseorang yang sudah lama dia mimpikan. Tapi mengapa rasa kecewa, marah, sedih lebih mendominasi?
Vante terduduk di sofa yang tak jauh dari bangsal. Diamatinya lamat-lamat wajah Sally yang tertidur pulas dan perutnya yang masih terlihat datar secara bergantian. Dengusan berat beberapa kali terdengar dari bibir Vante. Bisa-bisanya dia terjebak dengan perasaannya sendiri.
“Kondisi Bu Sally dan janinnya sejauh ini baik. Mungkin karena konsumsi nanas terlalu banyak, maka terjadi pendarahan. Bersyukur karena Bu Sally dan janinnya kuat, jadi tidak meluruh. Sepertinya kalian belum menyadari kalau Bu Sally sedang mengandung, usianya sudah jalan 12 minggu. Untuk ke depannya kalian bisa lebih hati-hati. Kalau begitu, selamat ya, Pak, anda akan menjadi seorang ayah.”
“Anda akan menjadi seorang ayah.”
“Menjadi seorang ayah.”
“Seorang ayah.”
“Ayah?” Vante mendengus sambil mengangkat sebelah bibirnya. Perkataan dokter tadi terus terngiang-ngiang di telinganya. Mungkin rasanya akan lain jika dia tidak menemukan fakta dari obat laknat itu.
Bagaimana bisa Vante senang menjadi ayah, jika Sally tak pernah mau menjadi ibu? Seharusnya Vante sudah sadar sejak awal, bahwa pernikahan mereka cukup sulit untuk menghadirkan cinta, apalagi buah hati. Pikirannya seketika memutar memori yang tersimpan berbulan-bulan lalu.
Vante tahu, setiap mereka membicarakan soal anak, Sally selalu menolak berbicara lebih jauh soal itu. Akan ada saja pengalihan yang coba dibuat wanita itu. Tapi melihat keintiman mereka akhir-akhir ini, sulit dipercaya jika Sally tak memiliki rasa apa pun terhadapnya. Meski wanita itu tidak secara terang-terangan untuk bilang cinta, tapi Vante sudah merasa ada sedikit rasa cinta di hati istrinya. Dan melihat itu, Vante pikir Sally sudah mau menerimanya dan bisa menjadi ibu dari anak-anaknya nanti.
Apa ini bagian dari kamuflase? Pikiran buruk Vante menguasai. Semua yang Sally lakukan padanya, semua itu hanyalah palsu. Perlakuan manis itu… sikap manjanya itu… rengekan rindu itu… apa benar itu semua hanya pura-pura? Tapi untuk apa? Pikiran Vante berkecamuk.
Sebuah pergerakan di bangkar, membuat lamunan Vante terpecah. Dilihatnya Sally tampak bergerak tak nyaman.
“Kak…” Sally bersuara dengan suara sedikit serak. Lebih seperti tercekat.
Wanita itu menoleh dengan lemah ke arah Vante yang perlahan bangkit dari sofa. Sally ingin bergerak banyak, tapi dia merasa badannya tak karuan.
“Aku kenapa?” tanya Sally begitu Vante sudah ada di dekatnya.
Bayangan sebelum kesadarannya terenggut tiba-tiba terngiang. Memori itu tereka dengan jelas. Tak lama setelah pesta nanas itu, Sally merasakan sakit yang hebat di perutnya. Sakit yang belum pernah dia rasakan. Lebih mengejutkannya, Sally melihat ada darah yang mengalir di kaki jenjangnya, sebelum akhirnya dia benar-benar tak sadar.
“Tadi perut aku sakit, banyak darah juga. Aku… aku takut,” adu Sally tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.
Sally belum tahu dengan apa yang terjadi padanya tadi. Semuanya berlangsung begitu cepat. Wanita itu memandang Vante dengan wajah ketakutan, khawatir mendengar sesuatu yang berbahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Can't Have You
FanfictionMenikah karena saling membutuhkan adalah jalan yang dipilih Vante dan Sally. Vante menikahi Sally untuk membahagiakan Ibunya, sementara Sally menikah dengan Vante untuk tetap bertahan hidup. Menikah tanpa saling mencintai bukanlah hal yang tidak s...