Sudah satu bulan berlalu semenjak kejadian itu. Selama itu juga Eiden terus menunggu dengan jantung berdebar kencang. Namun, belum ada wanita bernama Kanaya yang menemui Eiden untuk meminta pertanggung jawaban. Jangankan mendatanginya, arwahnya saja tidak pernah datang. Hal tersebut semakin membuat Eiden frustrasi sekaligus bingung. Di saat banyak pria yang bahagia karena tidak dituntut untuk bertanggung jawab. Berbeda dengan Eiden, pria itu tidak bisa hidup dengan tenang sampai Kanaya menemuinya. Ia bahkan sampai bermimpi memiliki bayi yang mungil nan lucu dan memanggilnya om. Tentu saja Eiden tidak senang akan panggilan tersebut meski hanya dalam mimpi.
Eiden pergi ke kantornya dengan hati yang gamang dan merana. Dia ingin segera dipertemukan dengan wanita yang dia tiduri satu bulan yang lalu. Panggilan om terus menggentayanginya dan Eiden sangat tidak rela jika anaknya sampai tidak mengenalinya.
“Kenapa lagi?" Tanya Ardi saat melihat wajah sahabatnya sudah seperti rajutan kusut.
"Ardi, kamu bilang dia bakal datang. Mana buktinya? Ini sudah satu bulan tapi dia belum juga menemuiku."
"Jadi kamu memasang wajah semerana ini karena menunggu si gadis itu? Astaga Eiden! Harusnya kamu senang lah."
"Senang ndasmu! Yang ada otakku rasanya mau pecah karena kepikiran terus!" dengkusnya membuat Ardi terkikik geli. Baru kali ini dia melihat wajah sahabatnya sekusut itu. Biasanya ganteng sekarang kayak kentang busuk saking jeleknya.
"Emang kamu yakin kalau dia bakalan hamil? Mungkin aja dia nggak datang karena nggak hamil, bisa aja kan?"
Pernyataan Ardi seketika membuat Eiden bengong sejenak. Dari banyaknya kemungkinan dia tidak pernah berpikir demikian. Semangatnya Tiba-tiba loyo, Eiden memandang sahabatnya dengan wajah sedih campur aduk. Ardi menyadari sesuatu dan memandang Eiden dengan mata membulat.
“Jangan bilang kamu berharap dia hamil.”
Eiden melengos dan menghindari tatapan Ardi yang seolah sedang menghakiminya karena sudah melakukan kesalahan fatal. Tapi dia mengakui ucapan Ardi barusan, dia berharap Kanaya memang hamil anaknya. Mimpinya sudah sangat jelas, bukankah itu sebagai pertanda jika gadis itu memang sedang hamil.
“Tahu nggak, tadi malam aku bermimpi bertemu anak kecil. Dia mirip sekali denganku Ar, dan sialnya dia memanggilku om. Mana boleh begitu, Jelas-jelas benihku yang menjadikannya sebagai bayi.” Rutuknya terdengar seperti kekanakan. Ardi menggeleng heran dengan sahabatnya yang memiliki kadar otak di bawah rata-rata orang normal kebanyakan.
“Tapi kalau misal dia beneran hamil, apa benar itu anakmu?” Tanya Ardi lagi, kali ini dia bisa melihat wajah Eiden tersenyum penuh bangga.
"Yakin seribu persen karena yang pertama menyentuhnya aku, tahu nggak? bahkan pacarnya sendiri nggak dia kasih. Eh ralat mantan pacarnya."
"Anying! Jadi kamu beneran jadi yang pertama!"
Eiden menganguk bangga dan Ardi memasang wajah jengkelnya. Bisa-bisanya dia memiliki sahabat seperti Eiden. Keduanya berhenti dari atensi masing-masing saat seseorang mengetuk pintu ruangan Eiden.
"Masuk!" teriak Eiden."Maaf, Pak. Ada yang ingin bertemu dengan Bapak." Sekretarisnya nongol dari balik pintu.
"Siapa?" tanya Eiden dengan wajah sedikit berseri. Ia sangat berharap Kanaya lah orangnya.
"Saya tidak tahu, Pak. Karena Nona itu tidak menyebutkan namanya."
Eiden semakin memasang wajah senangnya. Dia yakin jika tamu itu adalah wanita yang selama ini ia tunggu. "Persilakan dia masuk!" Perintahnya.
"Baik, Pak." Sekteraris itu berlalu meninggalkan keduanya.
“Apa itu wanita yang kamu tunggu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dipaksa Menjadi Istri CEO (REVISI)
RomantikTersedia di Karyakarsa, judul tetap sama. Nikmati langganan satu bulan hanya dengan 20k ------- Eiden Maxwell, seorang CEO sebuah perusahaan yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Sosoknya yang tampan, dingin dan tak bersahabat kerap membuat pos...