Bab 9 Eiden Galau Berat

74.8K 3.5K 121
                                    

Eiden uring-uringan di kantornya setelah malam pertama yang ia lewati bersama Kanaya gagal total. Padahal malam pertama sudah menjadi malam yang paling dia tunggu selama hidupnya. Tapi semua berantakan karena istrinya adalah Kanaya. Wanita ajaib yang secara tidak sengaja bertemu dengannya lalu dia mengejarnya bagai kuda kesurupan. Namun, jika Kanaya tidak menjadi istrinya, ia juga akan tetap uring-uringan tidak jelas. Ardi masuk ke ruangan Eiden sambil membawa beberapa berkas. Pria dengan jambang tipis menatap heran wajah Eiden yang terlihat masam, bahkan mengalahkan asamnya kehidupan yang sedang dia alami sekarang.

“Kenapa lagi Breh?"

Eiden melihat Ardi, napas ia embuskan dengan lesu. Entah bisa mengadu pada pria kribo itu atau tidak. Tapi jika dibiarkan dia sendiri yang akan menderita karena memendam semuanya. Bukankah tidak baik untuk menyimpan unek-unek dalam hati. Ia menatap penuh pertimbangan antara mau bercerita atau tidak. Sungguh, kebimbangan saat ini sedang Melanda nya. Bukan apa-apa hanya saja wajah Ardi dan tabiatnya tidak selaras dalam menyimpan rahasia. Bisa-bisa dia malu berkepanjangan karena salah memilih teman curhat.

“Seriusan deh, kalau kamu nggak mau cerita, hamba keluar nih!” pancing Ardi dan hendak berlalu pergi.

"Aku gagal malam pertama," desahnya dan melihat reaksi yang diberikan Ardi padanya. Syukur-syukur jika ia tidak jadi bahan tertawaan pria kribo itu. Eiden memicing matanya tajam ke arah Ardi yang ketahuan sedang menertawakannya.

Ardi menutup mulutnya dengan dramatis. Ia sungguh tidak percaya dan menyangka bahwa Eiden, pria  yang terkenal tampan tapi gagal malam pertama. Suara tawa keluar dari mulutnya. Lesung pipi tercetak jelas di pipi kanan membuat ketampanannya tidak berkurang satu senti pun, meskipun rambut keritingnya seperti jalinan Indomie kusut, tapi tetap saja wajahnya terlihat tampan. Eiden yang awalnya uring-uringan kini menjadi badmood. Statusnya sebagai pria tampan sudah ternoda.

"Maaf, Breh, hamba nggak maksud menertawai apalagi menistakanmu. Tapi Anda bener-bener kasian jadi umat manusia." Ardi belum bisa meredam tawanya. Kapan lagi menertawai teman bangsatnya.

"Ketawa terus,  Aku berharap pada Tuhan yang Maha Kuasa supaya kamu kena karma secepatnya!"

“Weh, jangan gitu dong, tega bener jadi temen.”

“Temen edan, mana ada temen yang ngetawain kesusahan temennya, najis!” dengkus Eiden sambil melihat berkas yang dibawa Ardi tanpa minat. Yang tertera di wajahnya hanya lesu, lesu dan lesu.

Ia melempar berkas tadi ke atas meja dengan kasar. Membayangkan pakaian Kanaya saja membuatnya badmood. Sebagai pria normal tentu saja ia ingin menciptakan malam pertama yang manis dan romantis. Bayangkan ditemani lilin dengan cahaya keemasan dan bertabur pekatnya mawar merah yang menghiasi ranjangnya. Itu impiannya sejak dahulu kala saat ia masih berseragam putih abu-abu.

"Hamba akan memberi beberapa saran, coba kasih dia sesuatu, misalnya barang mewah. Biasanya wanita suka barang mewah."

"Oke, tapi barangnya apaan?"

"Ya elah, apa, kek Breh? Toko emas dan berlian bertaburan di kota ini."

Eiden menatap Ardi dengan wajah gembira. "Bener juga, tumben otak mesummu jadi pinter."

“Tentu saja Hamba memang cerdas sejak lahir hanya tidak terlihat saja.”

Eiden melihat jam menunjukkan waktu istirahat. Pria itu segera bergegas turun ke parkiran dan melajukan mobil menuju  toko berlian yang tidak jauh dari kantornya. Ia akan membelikan istrinya sebuah kalung tanda sogokan tapi terselubung. Kalau terbuka, bisa-bisa ia dikira pria dengan modus alias modal dusta. Sekitar sepuluh menit kemudian Eiden pun sampai di tempat tujuan. Dengan semangat empat lima ia berjalan menuju toko perhiasan langganan orang tuanya.

"Selamat datang, Tuan Eiden," sambut seorang pegawai dengan sopan. Eiden menganguk kecil, matanya melihat jejeran kalung dengan saksama.
"Mbak, saya mau membelikan kalung untuk istri saya, kira-kira yang cocok untuk wanita seperti istri saya yang mana, ya?" Eiden bertanya dengan serius.

"Ciri-ciri istri Tuan seperti apa?" tanya pegawai tersebut dengan sopan.
Eiden tampak berpikir sejenak. “Ciri-cirinya polos."

Kening pegawai itu mengernyit bingung. Namun, ia tidak berani bertanya terlalu banyak.
"Baiklah, Tuan. Saya merekomendasikan kalung ini. Tampilannya terlihat simple, tapi elegan dan berkelas." Pegawai itu mengambil sebuah kalung model rantai kecil bermatakan berlian segi tiga.

Eiden tampak terpana melihat kalung tersebut. "Saya menyukai kalungnya." Eiden menyuruh pegawai itu untuk mengemas kalung tersebut dalam bentuk yang indah.

"Terima kasih," ucap Eiden lalu melenggang dari sana menuju kantornya. Di perjalanan tak henti sudut bibirnya tertarik menyerupai bulan sabit.

"Aku bisa membayangkan wajahmu saat terharu karena memberikanmu kalung mahal nan mewah," gumam Eiden. Sungguh ia tidak sabar ingin bertemu istri polosnya.

Eiden sudah berada di kamarnya sedangkan Kanaya sedang mandi, gadis itu tidak menyadari kehadirannya di sana. Eiden memilih duduk di sofa sambil menunggu istrinya selesai mandi. Ia penasaran apa istrinya sedatar papan atau montok seperti Angelina Jollie. Ia mendengar suara putaran kenop pintu dibuka. Pria itu pura-pura sedang membaca majalah, tanpa ia sadari majalah yg dibaca sedang terbalik.

"Kamu udah pulang?" tanya Kanaya sedikit kaget saat melihat buaya darat sedang duduk manis di sofa. Ia berjalan menuju lemari. Handuk di atas lututnya menampakkan kulit putih mulus bak pualam. Air liur mulai menari jenaka di bibir Eiden. Sesekali ia meneguk dengan susah payah. Meski ekspektasinya tidak sesuai dengan yang dia bayangkan, tetap saja istrinya sangat menggoda untuk diputar, dijilat lalu dicelupin. Eiden menggelengkan kepalanya.

"Kamu mau menggodaku?" tanya Eiden sedikit serak.
"Hah! Kapan aku mau menggodamu?" alis Kanaya mengernyit heran. Tangannya dengan luwes mengambil underware serta pakaian tidurnya tanpa menyadari tatapan buas dari Eiden sedang membidiknya.

"Kamu sadar nggak? Dengan hanya memakai handuk, kamu sudah membangunkan barang berharga yang duduk manis dalam celana!" 

"Ya … maaf, ‘kan, aku nggak tau apa barang berharganya. Apa sebuah jam tangan atau benda berharga lainnya? Lagian ngapain kamu taruh di dalam celana, nggak ada kerjaan banget."

"Enak aja! Yang jelas kamu bisa hamil atas jasanya.” Wajah Eiden terlihat bangga.

"Oh maksud kamu yang menonjol itu!" tunjuk Kanaya dan berlalu menuju walk in closet-nya.

Eiden mengeram kesal, niat hati ingin mengerjai istrinya, malah dia yang kena getahnya. Sekarang apa yang harus dia lakukan selain mendinginkan kepalanya dari pikiran liar yang berhasil membangkitkan gairahnya yang selalu saja bangkit saat melihat istrinya. Padahal sang istri tidak memakai pakaian yang menggoda imannya tapi tetap saja hasratnya muncul seperti jelangkung. Datang tak diundang pergi tak diantar. Sesedih itu miliknya saat ini. Eiden hanya bisa pasrah. 

“Jangan lupa, majalahnya baca yang bener, jangan sampai terbalik nanti lehermu sakit!” teriak Kanaya dari balik ruang pakaiannya. Lagi, Eiden kena dua kali hari ini dan itu semua karena Kanaya. Istrinya itu sudah membuat Eiden kehilangan akal sehat karena gagal malam pertama.

********

Dipaksa Menjadi Istri CEO (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang