Dua minggu semenjak pertemuan Eiden dengan Kanaya. Wanita yang sudah membuatnya merasa telah menjadi laki-laki paling bejat di muka bumi ini. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak memikirkan Kanaya serta kehamilannya. Bayangan bayi mungil terus menghantui mimpinya, bukan perihal apanya, melainkan bayi itu sangat mirip dengannya, tapi malah memanggilnya om. Ini sungguh keterlaluan, dia yang menanam dia yang terbuang. Banyak hal yang ia pikirkan dan di antara semuanya, Kanaya yang paling menguras pikirannya. Padahal dia sudah menawarkan berbagai macam fasilitas mewah agar Kanaya mau menjadi istrinya. Kurang apalagi dia, tapi tetap saja gadis itu sangat bersikeras menolaknya.
"Wanita itu benar-benar tidak meminta pertanggung jawaban. Dia yang begitu malah hatiku yang tidak senang. Belum lagi aku akan mendapat cap sebagai pria paling bejat kalau tidak bertanggung jawab dengan alasan apa pun." Eiden mengacak-acak rambutnya kesal.
Nada dering terdengar memekakkan telinga semut yang sedang bermeditasi di sana. Ia melihat ke pusat suara. Dengan malas dia meraih lesu benda pipih tersebut. Nama kanjeng ratu pantai utara tertera di sana. Melihat itu rasa malasnya semakin memuncak, dia curiga pasti ibunya akan menanyakan sesuatu.
"Halo, Ma," sapanya dengan sangat manis setelah berhasil membuang rasa alasnya. Bisa jadi geprek kalau menjawab panggilan ibunya dengan malas.
"Nanti malam Mama akan memperkenalkan kamu sama calon istrimu.”
"Apa? Eiden nggak mau, Ma. Dunia modern macam apa ini, masih menjodoh-jodohkan anak sendiri di era yang begitu canggih.”
"Kenapa nggak mau? Apa kamu masih menginginkan Risma! Terus dunia modern macam apa yang membuat anak Mama disakiti, ditinggalkan lalu dibuang padahal ganteng banget!" teriak ibunya garang.
Eiden selalu dibuat kalah jika berdebat dengan ibunya. Ada-ada saja balasannya. "Bukan begitu, Ma.”
“Terus kenapa kalau bukan begitu? Jangan ngelak lagi Mama nggak mau tau.”
“Eiden sudah ada calon istri, Ma." tegasnya tanpa berpikir panjang. Namun, sedetik kemudian ia merutuki kebodohannya. Jelas-jelas dia tidak punya calon, kecuali Kanaya mau menikah dengannya. Masalahnya gadis itu sudah menolaknya mentah-mentah.
"Kalau begitu, kenalkan sama Mama."
"Tapi, Ma …."
"Tidak ada tapi-tapian, kalau minggu ini kamu tidak mengenalkan dia sama Mama, Mama akan menjodohkan kamu sama wanita pilihan Mama. Jangan coba-coba membohongi Mama hanya untuk mengelak dari ini. "
Panggilan berakhir, Eiden hanya bisa menarik napas pelan. ibunya kalau sudah begini akan sulit urusannya. Pikiran Eiden yang sudah kusut, semakin kusut, apalagi setelah ibunya dengan segala kekuasaan membuatnya tak berdaya. Ia harus bisa meyakinkan seseorang untuk menjadi tamengnya. Dia butuh Kanaya untuk melindunginya, ibunya terlalu mengerikan untuk dia lawan apalagi niatnya memiliki menantu sudah tidak bisa dinegosiasi lagi.
"Harapanku cuma satu," ucapnya lesu, dia harus bisa membuat Kanaya menjadi calon istrinya.
***
Hoek ... hoek ....Sudah tiga kali Kanaya bolak-balik ke kamar mandi. Ia tidak tahu kalau mengandung akan sesulit ini. Tubuhnya lemas tidak berdaya. Di Jakarta Kanaya tinggal seorang diri. Dia anak sebatang kara. Namun, bukan berarti dia tidak memiliki saudara. Ia masih memiliki saudara dari belah pihak kedua orang tuanya. Akan tetapi, mereka tidak pernah menganggapnya saudara hanya karena orang tuanya miskin. Kanaya juga merasa tidak butuh mereka yang tidak menginginkannya hanya karena status sosialnya.
Keluarga dari kedua belah pihak ayah dan ibunya sama-sama dari kalangan berada. Di dunia ini Kanaya hanya memiliki seorang sahabat, namanya Tary. Orangnya baik dan dari golongan orang berada. Tapi mereka sudah lama berpisah karena Tary pindah ke luar kota. Kanaya kembali ke ranjang kecilnya sambil merebahkan diri. Ia sudah tidak sanggup lagi untuk bangun. Tenaga sudah terkuras habis sejak tadi. Kanaya menutup mata dan setitik mutiara lolos dari kedua kelopaknya. Malam itu Kanaya menangis dalam ketidakberdayaannya.
“Apa hamil memang sesulit ini? Apa ini alasan wanita hamil butuh sosok pendamping?” tanyanya lemah. Dia memejamkan mata berharap bisa tidur karena tenaganya sudah tidak tersisa lagi.
Keesokan harinya, Kanaya dengan wajah pucat kembali datang ke rumah sakit untuk cek kandungan dengan dokter Nova. Sekaligus meminta beberapa obat untuk mengatasi rasa mual yang menyiksanya beberapa hari belakangan ini. Dia sudah mengambil nomor antrian dan menunggu namanya dipanggil.
Seorang suster datang dan menyerukan namanya. Gadis itu segera bangun dan masuk ke dalam ruangan.
"Selamat pagi, Bu. Ini sudah cek kandungan yang kedua ya Bu," ucap dokter Nova ramah, dia mempersilakan Kanaya untuk berbaring di ranjang yang tersedia.
“Benar Dokter.”
“Kali ini apa saja yang ibu rasakan?” Dokter Nova bertanya sambil memeriksa kondisi Kanaya dan janinnya.
“Dok. Saya sering kelelahan dan mual-mual parah sampai saya tidak kuat untuk berdiri. Apa ada obat yang bisa mengatasi rasa mulanya Dok?” Tanya Kanaya berharap dokter Nova bisa membantunya.
"Saya ada beberapa resep obat serta vitamin untuk mengurangi rasa mual dan untuk mengurangi kelelahan. Tebus di apotek, ya, Bu." Terangnya sambil menyerahkan secarik kertas kepada Kanaya.”
Kanaya tersenyum sambil menerima resep tersebut. Ia mengucapkan terima kasih dan berjalan keluar dari sana, Kanaya nampak lesu. Dari ujung lorong Eiden terlihat tergesa-gesa saat menerima panggilan kalau ibunya masuk ke rumah sakit. Dari kejauhan Eiden melihat siluet seseorang yang dikenalnya. Dia segera mengejar dan matanya tidak fokus melihat jalan sehingga menabrak seseorang. Tubuh Kanaya hampir saja menyentuh lantai. Untungnya Eiden bergerak sigap untuk menangkap pinggangnya. Untuk sesaat Kanaya terpaku pada ketampanan Eiden yang menurutnya tidak manusiawi. Bagaimana bisa ada lelaki setampan itu di dunia ini?
"Kamu lagi, ngapain di sini?" Tanya Eiden
Belum sempat ia menjawabnya, Kanaya sudah pingsan efek kelelahan. Eiden kalang kabut dan langsung berteriak memanggil suster. Tiga suster langsung datang ke sana sembari membawa tubuh Kanaya ke ruang rawat dengan menggunakan kursi roda yang saat itu sedang dibawa oleh suster.
"Dokter, bagaimana kondisinya?" Eiden terlihat begitu khawatir, baru bertemu lagi malah Kanaya jatuh pingsan. Terakhir dia ditolak, sekarang gadis itu tidak sadarkan diri saat melihatnya.
Dokter yang menanganinya tersenyum. "Istri Anda hanya kelelahan karena usia kehamilannya yang masih muda dan itu memang wajar. Usia seperti ini masih sangat rentan mengalami keguguran. Untuk itu saya sarankan agar Bapak selaku suaminya tetap menjaga pola pikir serta pola makan istrinya."
Ada rasa haru bergentayangan di perut Eiden, terlebih penurut an dokter yang mengatakan dirinya sebagai suami Kanaya. Dia yakin ucapan adalah doa, maka dia sudah mengaminkan ucapan sang dokter.
"Baik, terima kasih sudah menangani istri saya dengan cepat dan tanggap.”
“Sudah tugas kami, Pak. Kalau begitu saya permisi.”
Setelah kepergian Dokter Nova, Eiden memandangi wajah pucat Kanaya dengan lembut. Ditelisik lagi tubuh Kanaya terlihat lebih kurus dari terakhir mereka bertemu. Eiden jadi curiga apa jangan-jangan ‘istrinya” kurang makanan sehat. Dia merutuki kebodohannya karena tidak mengikat Kanaya dengan cepat sampai kekurangan asupan gizi padahal wanita hamil sangat penting diperhatikan pola makannya.
“Maaf ya karena begitu lama mencarimu. Aku janji setelah pulang dari rumah sakit ini aku akan segera membawamu menemui kedua orang tuaku. Kamu harus mau menjadi istriku ya Kanaya.”
Senyumnya tersungging sepanjang hari. Baru kali ini dia dibuat begitu bahagia hanya dengan statusnya yang bujang lapuk, sebentar lagi akan musnah dari hidupnya.
“Mama pasti suka punya menantu kayak kamu,” ujarnya sambil terkekeh.
-------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Dipaksa Menjadi Istri CEO (REVISI)
RomanceTersedia di Karyakarsa, judul tetap sama. Nikmati langganan satu bulan hanya dengan 20k ------- Eiden Maxwell, seorang CEO sebuah perusahaan yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Sosoknya yang tampan, dingin dan tak bersahabat kerap membuat pos...