Pagi Eiden diawali dengan kegabutan yang hakiki. Bagaimana tidak, gagal malam pertama, Kanaya menggodanya tapi tidak memuaskannya, ia ibarat pedang pembunuh tapi membunuh nyamuk, apes sekali hidupnya sebagai suami. Seingat Eiden temannya pernah bercerita tentang malam pertama yang romantis. Dia juga ingin seperti itu, betapa rasa iri sedang menggerogoti hati dan matanya.
"Wajahmu kenapa?" Anita menghampiri meja makan sambil membawa sepiring lauk kesukaan putranya.
"Memangnya wajahku kenapa, Ma?" Eiden jelas memasang wajah nelangsa.
Anita melihat dengan serius wajah putranya. "Seperti orang lagi menahan derita. Kalau sakit perut pergilah ke kamar mandi. Nanti kamu malah melakukannya di sini."
Eiden makin menekuk lagi wajahnya, apa ibunya juga berkonspirasi dengan sang istri untuk membuatnya kesal. Kanaya datang sambil membawa nasi dan meletakkan di meja makan. Eiden melirik istrinya yang sedang tersenyum bodoh, bahkan tidak meliriknya sama sekali, padahal Eiden sedang ingin menatap wajah yang selalu membuatnya terbayang siang dan malam. Bahkan malam purnama saja kalah dengan wajah polos istrinya. Eiden ingin sekali menerkamnya.
"Hai, Istriku," ucap Eiden dengan nada geram yang dibuat terdengar manis.
"Hai juga, Eiden." Kanaya memegang kening Eiden dan menganguk pelan. "Tidak panas," ucapnya serius.
"Emang kamu pikir aku sakit!"
Anita dan Angga memperhatikan interaksi keduanya. Bibir Anita tertarik kecil saat Kanaya dengan polos menjahili putranya. Baginya Kanaya adalah sumber kebahagiaan bagi Eiden, sebelumnya pria yang selalu mengatakan dirinya tampan itu kerap murung. Itulah alasan Anita ingin menjodohkannya dengan wanita lain. Tapi ternyata Tuhan mengirimkannya seseorang yang mampu mengembalikan senyum di wajah putranya. Anita sangat bersyukur akan hal itu.
"Habis kamu menyapaku dengan sangat manis." Kanaya terkekeh pelan.
“Memangnya selama ini aku tidak menyapamu dengan manis?” Wajah Eiden mengisyaratkan sebuah pertanyaan besar.
“Enggak, tuh!”
Eiden memutar bola mata kesal mendengar ucapan Kanaya. Entah kenapa sang istri selalu membuatnya kesal. Rasa ingin melahap Kanaya bulat-bulat mulai dia rencanakan. Dia menarik napas pelan. "Ma, Pa, Eiden berangkat ke kantor dulu ya."
Pria itu beranjak dari kursinya, sebelum pergi ia mengecup kepala Kanaya dan berlalu. Hal tersebut membuat wajah gadis itu bersemu, apalagi melihat tatapan menggoda dari Anita.
"Em … Ma, Kanaya ke kamar sebentar." Kakinya segera menjauh dari sana sebelum luruh ke lantai.
Di kamar, Kanaya memegang jantungnya berdegup kencang, ia tidak tahu apa maknanya. Sedikit rasa panik menyelinap seketika. Ia ingat, dulu tetangganya merasakan hal sama dan beberapa bulan kemudian meninggal dunia. Apa ajalnya sedekat itu. Sejujurnya Kanaya masih mau hidup panjang, apalagi ia masih mengandung, setidaknya kalau pun nanti ia meninggal, paling tidak di usianya yang ke-60 tahun.
"Ini bahaya, sepertinya harus periksa ke dokter."
-----------
"Apa ini, hah! Saya tidak pernah memperkerjakan orang yang tidak kompeten. Sekarang kamu saya pecat, tapi sebelum itu kamu harus memperbaiki kesalahanmu!" Kemarahan Eiden masih menggema di ruang tersebut.Amarah kini mendominasi dirinya setelah apa yang diperbuat oleh sekretarisnya. Wanita itu lalai dan mengacaukan proyek bernilai miliaran rupiah. Kini proyeknya jatuh pada perusahaan saingan bisnisnya. Ia mendesah beberapa kali dan menarik napas untuk mengurangi amarahnya. Namun, tetap saja tidak mereda.
"Sial, sial!" Eiden menendang sebuah kursi hingga terpental jauh.
Setelah mengontrol emosinya, Eiden segera menelpon bagian HRD untuk mencarikan sekretaris baru yang lebih kompeten. Dia tidak ingin hal seperti ini kembali terulang karena itu sangat melukai harga dirinya dan perusahaannya.
"Carikan saya sekretaris yang kompeten. Kalau kalian tidak becus bekerja, tunggu surat pemecatannya!"
Panggilan langsung dimatikan. Eiden merebahkan diri ke kursi kebesarannya. Ia menutup kedua kelopak mata. Ini sudah ke sepuluh kalinya ia mengganti sekretaris. Bunyi deringan masuk dari ponsel yang berada di atas meja, ia mengalihkan atensinya kemudian tersenyum melihat nama pemanggil dan segera mengangkatnya. Amarah seketika reda begitu saja hanya dengan mendengar suaranya saja.
"Halo Sayangku," sapa Eiden dengan senyum sumringah seakan beban yang tadi menumpuk di kepalanya hilang seketika.
"Aku mau periksa, sepertinya jantungku bermasalah." Suara Kanaya terdengar sangat khawatir di seberang sana. Apalagi saat Eiden memanggilnya ‘sayangku’ membuat jantungnya semakin berdetak kencang. Kanaya semakin takut saja.
"Ke rumah sakit mana? Bersama siapa?" Eiden ikut khawatir dengan istrinya.
"Harapan Emak, aku akan pergi sendirian.""Itu rumah sakit di mana? Aku baru dengar namanya."
"Harapan Bunda, dasar."
Eiden mendengkus kesal. Apa-apaan Rumah Sakit Harapan Bunda di-slending ke Harapan Emak. Istrinya ada-ada saja tapi berhasil membuatnya tertawa tanpa sadar. Meski kepolosan Kanaya sering membuatnya kesal, ia juga kerap tersenyum.
“Memangnya jantungmu sakit?”
“Enggak sih, Cuma dari tadi berdetak kencang terus sampai sekarang. Aku takut Ei, karena dulu tetanggaku meninggal setelah jantungnya berdetak kencang.” Adunya dengan nada sedih.
“Mungkin tetanggamu kena serangan jantung. Kamu jangan aneh-aneh, bisa saja jantung mu hanya berdetak kencang biasa dan itu normal.”
"Aku tidak bisa tenang sebelum diperiksa. Sudah, ya, nanti kuhubungi untuk info lebih lanjut."
Belum sempat Eiden menjawab, panggilannya sudah dimatikan sepihak oleh Kanaya.
"Wanita itu benar-benar menyebalkan," dengkusnya. Namun, teringat kembali dengan ucapan Kanaya mengenai kesehatan jantungnya."Apa Kanaya sedang sakit atau sekarat?" Ia bertanya pada dirinya sendiri. "Tidak, dia pasti hanya sakit biasa. Tapi ada apa dengan jantungnya? Apa dia sakit jantung?"
Eiden sangat khawatir dengan segala opininya. Ia mengambil ponsel dan menghubungi sekretaris yang sebentar lagi menjabat sebagai mantan.
"Batalkan meeting siang ini, saya ada keperluan darurat."
Eiden mengambil kunci mobilnya dan segera menuju rumah sakit yang Kanaya maksud. Sesampainya di sana ia segera mencari keberadaan Kanaya. Sekitar lima belas menit ia berputar, batang hidung Kanaya akhirnya terlihat. Eiden berjalan mendekati Kanaya yang sedang berbicara dengan seorang dokter muda.
"Gimana hasilnya?" tanya Eiden sembari meraih pinggang istrinya dan berhasil membuat Kanaya bersemu merah, Eiden ingin menunjukkan kepada dokter tampan yang ada dihadapannya kalau Kanaya adalah miliknya.
"Kata dokter nggak kenapa-napa.”
“Benar, Pak. Jantung Bu Kanaya berdetak normal, bedanya ada sesuatu yang memicu hal itu terjadi, itulah alasan jantungnya berdebar kencang.” Jelasnya sambil tersenyum dan segera pamit pada keduanya. Sepanjang jalan dokter itu tidak hentinya menggeleng dan terkekeh geli.
“Syukurlah, kupikir kamu akan meninggalkanku menjadi duda.”
“Enak aja, aku belum menguasai harta kekayaanmu, mana boleh mati dengan cepat!” omel Kanaya membuat Eiden tertawa mendengarnya.
“Jadi kesimpulan dari ucapan dokternya apa?” Tanya Eiden membuat senyum Kanaya menjadi kecut.
“Intinya kita pulang sekarang. Yang penting aku baik-baik saja, sudah yuk pulang!” Kanaya memilih pergi lebih dahulu meninggalkan suaminya yang masih bingung.
“Ah sudahlah, yang penting aku gagal menjadi duda. Syukurlah istriku tidak kenapa-napa. Hei! Tunggu aku!” Teriaknya karena sudah ditinggal jauh oleh Kanaya.
*********
KAMU SEDANG MEMBACA
Dipaksa Menjadi Istri CEO (REVISI)
RomanceTersedia di Karyakarsa, judul tetap sama. Nikmati langganan satu bulan hanya dengan 20k ------- Eiden Maxwell, seorang CEO sebuah perusahaan yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Sosoknya yang tampan, dingin dan tak bersahabat kerap membuat pos...