Kanaya sedang membersihkan beberapa pakaian kotor miliknya, dia merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia sering merasa masuk angin dan mual-mual. Pagi ini ia sudah tiga kali bolak balik kamar mandi untuk megeluarkan isi perutnya. Di tambah kepalanya pusing secara tiba-tiba. Kanaya sampai dibuat pusing karena tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya, langsung didera tiga sakit sekaligus.
"Tidak biasanya aku masuk angin sampai mual-mual begini, kepala juga ikut-ikutan sakit," ucapnya lemah. Tenaganya sudah terkuras habis saat sisa energinya harus tersedot keluar. "Apa aku ke dokter aja? Bulan ini juga aku belum dapat. Apa jangan-jangan aku memang masuk angin parah ya?"
Kanaya belum memikirkan mengenai kejadian satu bulan yang lalu. Dia lekas membersihkan wajah. Selesai memakan roti tawar yang diolesi mentega untuk mengganjal perut, Kanaya segera menuju rumah sakit karena sudah tidak tahan dengan mual dan pusing yang dia alami saat. Mana tahu dia terkena penyakit mematikan atau kalau lagi sial bisa saja penyakitnya menular. Membayangkan saya membuat Kanaya bergidik ngeri. Setelah mengantri selama dua puluh menit, kini giliran namanya yang dipanggil.
"Ada keluhan apa, Bu?" tanya dokter Nova sambil tersenyum ramah. Dokter Nova memang dikenal sangat ramah pada pasiennya.
"Akhir-akhir ini saya sering merasa mual, dok. Selain itu saya juga sering lemas, dan kepala pusing." terang Kanaya, jantungnya sudah berdegup kencang bukan main saat akan mendengar hasil vonis dari dokter Nova.
"Oh begitu, saya periksa dulu. Silakan, Bu." Tunjuknya pada sebuah ranjang yang terlihat empuk.
Kanaya berbaring dan menatap dokter nova dengan jantung berdebar. Wajahnya sedikit pucat. Sungguh ia belum siap jika harus divonis penyakit mematikan di usia muda.
“Bu, jangan tegang ya, santai saja.”
Dokter Nova melakukan pemeriksaan. Sesekali Kanaya memperhatikan raut wajah dokternya yang tersenyum. Setelah selesai Kanaya kembali ke tempat duduknya sambil menunggu hasilnya. Kanaya bisa menebak, dari senyuman dokter tersebut dia sedang tidak menderita penyakit mematikan. Setidaknya dia bisa lega saat ini.
"Bagaimana, dok?"
"Bu, saya hanya bisa mengucapkan selamat."
"Maksud dokter? Selamat karena apa? Apa dokter menyelamati saya akan mati?" Wajah Kanaya terlihat sangat kebingungan sekaligus takut.
"Bukan begitu Bu, tapi Ibu sedang mengandung dua minggu," ucap dokter tersebut dengan wajah senang.
"Bagaimana bisa?" tanya Kanaya tanpa sadar, dokter Nova yang mendengarnya langsung tersenyum dan menjelaskan kepada Kanaya asal muasal seseorang bisa hamil.
"Bu, kehamilan biasanya terjadi saat suami istri melakukan hubungan intim," ucap dokter Nova sambil tersenyum geli melihat kepolosan pasiennya.
"Oh, begitu? Terima kasih dokter."
Sebenarnya Kanaya masih belum mengerti dengan apa yang diucapkan oleh dokter tersebut. Hubungan? Suami saja tidak punya, apa setan yang menggaulinya. Kanaya mendadak merinding sampai-sampai bulu kuduknya berdiri semua sebelum akhirnya dia kembali menggeleng. Mana mungkin setan mau bergaul dengannya, setidaknya setan juga menyukai wajah cantik.Kanaya segera keluar dari sana sambil memikirkan ucapan dokter yang menyatakan dia hamil. Seingatnya ia tidak pernah memiliki suami, bukankah ini sangat lucu.
"Bagaimana mungkin aku bisa hamil di saat aku sendiri tidak memiliki suami, apa aku pernah melakukan perbuatan terlarang? Ah masa iya." Ingatannya belum terkoneksi dengan kejadian satu bulan yang lalu sehingga Kanaya kebingungan sendiri.
Kanaya berpikir keras untuk menemukan jawabannya. Dia mondar mandir ke sana ke mari tapi belum juga menemukan titik terang. Kanaya memutuskan duduk sejenak kemudian memejamkan mata, dia menarik napas panjang lalu mengembuskannya. Dia melakukan hal itu sekitar lima menit sampai-sampai dikira orang dia sedang bertapa. Kanaya membuka mata kemudian teringat sesuatu, tepatnya satu bulan yang lalu. Ia menepok jidatnya."Apa hamil karena malam itu!" teriaknya tanpa sadar. Orang-orang yang berlalu lalang memandanginya dengan tatapan aneh dan horor. Kanaya jadi salah tingkah. "Aha sudah kubilang pasti kucingku hamil karena malam itu. Ya Tuhan!" gemasnya dan orang-orang kembali mengabaikannya. Kanaya menarik napas pelan dan memutuskan pulang. Sepanjang perjalanan dia terlihat lesu sambil menunduk. Ia tidak melihat ada seorang pria berjalan ke arahnya dengan tergesa-gesa sampai keduanya bertabrakan. Tapi epiknya tidak seperti di film romantis. Jangankan ditangkap lalu saling berpandangan, dia malah diomeli.
"Mbak, kalau jalan lihat-lihat dong!" Kesal pria tersebut tanpa melihat Kanaya yang masih lesu di depannya.
"Maaf, Mas." ujar Kanaya dengan lemah. Dia tidak berminat mengajaknya berperang karena Kanaya mendadak tidak mood.
Pria tersebut segera berlalu dari hadapan Kanaya. Matanya sempat bersitatap dengan Kanaya. Seperti mengingat sesuatu, dia langsung berhenti dan kembali ke arah Kanaya. Namun, tidak lama setelah itu dia dibuat kaget luar biasa. Antara bahagia dan syok karena akhirnya bisa menemukan Kanaya. Ia mencarinya seperti mencari sebongkah berlian.
"Kamu!" Tunjuknya dengan wajah berbinar. Bisa bertemu Kanaya bagai menemukan oasis di padang gurun tandus yang panas.
"Siapa ya?" tanya Kanaya dengan wajah bingung, dia juga tidak berminat menatap Eiden lama-lama. Dia memang memiliki ingatan yang jelek mengenai wajah seseorang.
Eiden tidak habis pikir kenapa wanita di depannya bisa bersikap sesantai itu. Mereka sudah tidur bersama berbagi gelora, malah tidak mengenalinya sama sekali. Dia saja yang sebagai laki-laki sangat pusing karena Kanaya yang tidak mendatanginya. Ini benar-benar aneh. Seharusnya dialah yang melakukannya, kenapa ini malah terbalik.
"Kamu tidak mengenaliku?" Eiden bertanya masih dengan wajah berbinarnya, pria setampan dia masa tidak diingat. Bahkan kecoak sekali pun bisa mengingatnya sebelum mereka mati kena semprot.
"Nggak, Mas." Lagi-lagi jawaban itu yang keluar dari mulut Kanaya.
"Seriusan nggak ingat, apa pura-pura lupa." kesal Eiden dengan sewot. Suaranya yang lumayan keras berhasil menarik perhatian beberapa orang yang melintas.
“Mas dengar ya, seingat saya, saya tidak pernah berhutang apalagi sama rentenir. Jadi jangan ganggu hidup saya.” Decak Kanaya kesal. Bisa-bisanya ada rentenir nyasar seperti itu.
“Apa? Re... rentenir? Wah luar biasa, bisa-bisanya wajah setampan aku dibilang rentenir. Hei kamu beneran nggak ingat?”
“Mas maunya apa sih bikin mood orang berantakan aja. Kan sudah saya bilang, saya tidak kenal sama Mas, lagian mas lebih mirip kayak rentenir.” Cicitnya asal.
“Astaga! Saya bukan rentenir loh ya, dengar kita pernah tidur bersama satu bulan yang lalu.” Teriak Eiden tanpa sadar karena gemas dengan Kanaya. Dia juga kesal bisa-bisanya wajah setampan dia malah tidak berkesan bagi gadis itu. Pantas saja dia menunggu bagai orang gila, rupanya yang ditunggu malah tidak ingat kejadiannya.
Kanaya menutupi wajahnya saat beberapa mata malihat ke arah mereka dengan aneh. "Mas, kenapa berbicara seperti itu."
"Karena kenyataannya kita sudah tidur bersama. Biasanya kaum lelaki yang melupakan wanita yang pernah dia tiduri. Lah malah kamu yang melupakanku, apa dunia sudah benar-benar terbalik?"
"Ya, maaf Mas. Mungkin Masnya yang kebalik." cicit Kanaya.
Eiden memutar kesal bola matanya. "Kamu ngapain di rumah sakit ini?" Tatapannya penuh menyelidik. Sesekali matanya menatap perut Kanaya yang masih datar. Ia kembali teringat pada bayi mungil yang memanggilnya om. Eiden mendengkus kesal saat mengingatnya.
"Eh, itu Mas, saya lagi periksa."
"Apa kamu periksa kandungan?" tanya Eiden dengan semangat. Padahal yang hamil Kanaya bukan dia.
"Kok, Mas tahu.""Nah, kamu hamil?"
"Kok, Mas tahu."
Eiden ingin sekali mengubek-ubek wajah polos Kanaya yang berhasil membuatnya kesal. Sejak tadi hanya kok, mas tahu. yang keluar dari bibirnya. Ia bertanya dengan serius agar bisa siap siaga. Hatinya sangat senang saat mengetahui Kanaya benar-benar hamil anaknya. Awas saja kalau bayinya memanggilnya om.
"Kamu tinggal di mana?" tanya Eiden serius.
"Di rumah saya Mas."
"Aku tau Kanaya! Maksudnya alamat."
"Buat apa Mas tahu alamat saya?" tanya Kanaya dengan curiga. Beberapa hari yang lalu ia sempat menonton berita mengenai modus beberapa pria yang pura-pura menanyakan alamat. Jangan-jangan dia juga sedang dimodusin. "Jangan bilang kalau Mas mau menguntit, ayo ngaku!"
"Enak aja, kamu nggak lihat wajahku sangat tampan! Aku Eiden. Masa kamu nggak mengenali sih."
"Mas Eiden yang diputusin sama mantannya dulu?" tanya Kanaya sambil menunjukkan raut prihatinnya.
Eiden mendengkus kesal. Dari sekian banyaknya kenangan mereka. Kenapa Kanaya hanya mengingat hal tersebut. Membuat moodnya hancur saja. Padahal ada kenangan indah saat malam mereka saling berbagi rasa dan gelora.
"Iya dan aku juga yang menjadi ayah dari anak dalam kandunganmu."
"Iya, Mas. Saya ingat," ucap Kanaya dengan raut yang biasa. Bukankah seharusnya dia histeris, Eiden menggeleng melihat kelakuan Kanaya.
“SAYA JUGA AYAH DARI ANAK DALAM KANDUNGAMU!” Eiden kesal karena Kanaya tidak notice kalimatnya sehingga dia menaikkan intonasi suaranya.
"Kamu nggak minta pertanggung jawaban dariku?" Eiden mulai memancing Kanaya bereaksi. Ia berharap gadis itu menodongnya dengan beberapa ancaman dan berujung memintanya bertanggung jawab.
Kanaya menggeleng polos. "Mas, kan nggak salah, lagian belum tentu juga ini anaknya Mas."
“Saya yakin itu anak saya.”
“Bisa aja itu anak orang lain Mas.”
“Siapa? Memangnya berapa kali kamu pernah begituan sama laki-laki. Berapa kali?” Tanya Eiden kesal. Bisa-bisanya Kanaya mengelak dengan cara begitu.
“Ya nggak tau Mas, seingat saya sih Cuma satu.”
“Ya itu saya, gimana sih. Pokoknya saya mau bertanggung jawab.”
“Emm, nggak usah kok Mas, kan kita sama-sama nggak sadar melakukannya. saya sendiri aja nggak apa-apa.”
“Saya yang apa-apa, saya harus bertanggung jawab apalagi kamu sampai bunting begitu. Pokoknya kita akan menikah.”
“Saya sendiri aja Mas, kan anaknya bisa diurus sama-sama tanpa harus menikah.”
“Astaga! saya kurang tampan apa, saya kaya raya, kamu nggak bakalan melarat kalau jadi istri saya.”
“Masa sih.”
Eiden ingin berteriak bahwa ia baru saja ditolak oleh wanita yang sudah ia tiduri dan sekarang sedang hamil. Kenapa dari semua prediksinya tidak ada yang benar sedikit pun. Wanita di hadapannya ini sangat berbeda 180 derajat dengan wanita pada umumnya. Hal itu membuat Eiden tidak senang, bagaimana pun caranya ia akan menjadikan Kanaya sebagai istrinya.❤❤❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Dipaksa Menjadi Istri CEO (REVISI)
RomanceTersedia di Karyakarsa, judul tetap sama. Nikmati langganan satu bulan hanya dengan 20k ------- Eiden Maxwell, seorang CEO sebuah perusahaan yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Sosoknya yang tampan, dingin dan tak bersahabat kerap membuat pos...