Babak Pertama

113 7 4
                                    

Devils Room

"Kalian tolong tenang dulu..." hanya kalimat itu yang terdengar jelas keluar dari mulut Radit. Bukan kalimat yang ditunggu oleh seisi ruangan, sebuah jawaban atau penjelasan.

"Bang. Sumpah bang. Gue janji bakalan tobat kalo gue bisa keluar dari sini Bang. Tolong, keluarin gue dari sini..." Jefri berlutut, memohon pada Radit yang semakin terlihat bingung.

Kenta membawa dirinya lebih mendekat pada sekumpulan kepala yang memecah ruangan dengan semua prasangka dan percobaan menyelamatkan diri hanya dengan memohon.

Yuki tertawa menyaksikan pertunjukkan menyedihkan itu. Ia mengejek usaha semua peserta lainnya. Betapa dungunya mereka.

"Jadi bener semua ini karena elo kan?!" Kenta bicara dengan nada yang keras. Jari telunjuknya mengacung diantara kedua alis Radit. Membuat ia semakin merasa di sudutkan.

Radit akhirnya benar-benar menjawab semua pertanyaan dari seisi Devils Room yang kian detik kian memanas, "Bukan Saya, bukan". Mendengarnya kalimat bantahan itu, Chico mengepalkan tangannya dan bersiap untuk menghujam wajah Radit. Ia berkata, "Bacot lo ah!".

Pukulan Chico berhasil di tangkap Radit. Ia tak membalas usaha pukulan pria yang terlihat setengah sadar itu. Kebutuhan akan obat-obatan terlarang tengah menguasai dirinya.

"Sebaiknya kita semua tenang dulu dan jangan gegabah. Kita coba cari jalan keluar lain sama-sama. Saling tuduh dan curiga tidak membuat ini semua jadi membaik" Radit berusaha menenangkan yang lain.

"Eh tolol, polisi amatir! Nggak usah gaya-gayaan deh. Kita semua disini udah tau kalo lo cuma polisi palsu. Identitas lo udah kebongkar disini! Tunjukkin, siapa diri lo sebenarnya!" sinis Yuki.

Jefri menatap Nikita penuh curiga. Matanya menyempit dan sebelah sudut bibirnya naik. Ia merasa Nikita lah yang tengah berada di balik semua ini. Dengan uang banyak yang ia miliki, bisa saja ia juga memiliki fantasi lain untuk melihat pembunuhan atau menyiksa orang lain. Terlihat dari reaksi Nikita yang terlalu berlebihan menurutnya, ia yakin bahwa itu semua hanyalah rekayasa. Sengaja membuat kekacauan dan orang-orang lainnya frustasi setelah melihat perempuan itu.

Melihat tatapan Jefri, Nikita merasa sangat takut. Air mata mulai jatuh dari bibir matanya.

"CUKUP!!! Udah. Please... Gue cuma pengen keluar dari sini. Gue bakalan bayar. Tinggal sebut aja kalian butuh berapa. Gue nggak mau ada disini. Gue nggak mau mati sekarang" Nikita histeris, menjerit, menangis. Membuat bising seluruh ruangan kosong. Suaranya bergema kemana-mana.

"BACOTTTT ELAHH. Cengeng lo Cun! Sekarang ini bukan soal siapa yang bisa bayar berapa. Tapi, siapa yang bisa bunuh siapa kan?!" jawab Yuki.

Nikita berteriak dan menyerang Yuki.

"Gue sabar daritadi dengerin bacot lo yang kurang ajar ya, bocah tengik! Lo nggak di ajarin sopan santun apa gimana sama bokap lo? Yang pecun itu nyokap lo apa gue? Hah?". Wajah Nikita memerah, tattoo bunga mawar merah di pergelangan tangannya terlihat.

Keduanya berkelahi hebat. Saling memukul dan mendorong. Yuki berusaha mengeluarkan jurus bela diri yang pernah ia pelajari hingga sampai sabuk kuning. Ia tak terima dengan perkataan Nikita mengenai orang tuanya, terlebih tentang ibunya.

Kedua pasang tangan lembut itu berebut saling menarik rambut satu sama lain.

Adipati dan Radit berusaha melerai keduanya yang makin memanas. Radit menarik Yuki pergi ke salah satu sisi ruangan, tak begitu jauh dari tempat Jefri dan Chico yang sebelumnya lebih memilih duduk di lantai daripada menanggapi kedua perempuan yang berkelahi itu.

Begitu pun Adipati, ia menarik Nikita pergi menjauh dan mencoba menenangkannya yang meronta-ronta. Mereka duduk tak jauh dari Kenta dan mayat Reza.

"Hehehe... Nice dude. Ternyata lo jago berantem juga ya" ucap dan tawa Chico pada Yuki ditengah rasa sakau dan ringkukannya.

"Jelas kali. Gue kan atlet taekwondo di sekolah. Medali gue numpuk di lemari. Pecun kayak dia mah, gue tiup juga mati. Dada doang gede, nyali mah kecil" jawab Yuki di selingi tawa.

Yuki menghapus darah di sudut bibirnya dan merapihkan rambut coklatnya. Dengan karet hitam yang ia keluarkan dari saku celana, ia mengikat rapih rambutnya.

"Jangan belagu Mbaknya. Bisa aja kan, lo jadi orang pertama yang bakalan mati di ruangan ini? Hahaha" tawa Chico makin pecah di sela ringisannya. Ia menghapus keringat di lehernya dan meringkuk.

Yuki memutarkan bola matanya kearah Chico dan memutarnya ke arah lain tanpa menjawab peringatan Chico. Hanya tatapan hina yang ia tunjukkan.

Radit bangun dari duduknya dan meninggalkan Yuki yang terus menatap Nikita dari jarak jauh. Jefri duduk tak bersuara, mengamati keadaan sekitarnya dengan saksama.

Senti persenti, Radit meneliti palu yang ada di lantai. Ia tak jua menyentuh palu itu, tak ada yang tahu apa yang bisa saja terjadi jika palu itu di sentuh. Ia mencari sesuatu yang lain dari alat pemberian suara dari layar. Warna kepala palu itu hitam dengan bahan besi yang terlihat berat. Bagian pegangannya dilapisi karet yang juga berwarna hitam.

Adipati menengadahkan tangan, berusaha berdoa meminta perlindungan dari Allah. Ia begitu khusyuk, memejamkan matanya dengan bibir yang bergerak tanpa mengeluarkan suara. Pria itu tak mempedulikan keributan apapun yang terjadi di ruangan itu saat ini.

"Wah, baca mantra lu ya?" tanya Jefri mengejek Adipati.

Nikita membalas tatapan tajam Yuki. Ia tak sedikitpun merasa takut dengan perempuan yang lebih muda darinya itu. Yuki mengacungkan jari tengahnya pada Nikita dan menaikkan sebelah kiri alis matanya. Kemudian tersenyum nyinyir.

"Bocah tengik. Lu tuh bukan tandingan gue, lu belum tau suami gue siapa dan apa yang bisa dia lakuin kalo dia tau gue di giniin. Berani macem-macem dia sama gue", ucap Nikita dalam hati dengan mata yang tak pernah lepas dari wajah Yuki.

Sebuah suara bising berdenging. Alarm berbunyi cukup kencang memecah sunyi yang senyap setelah perkelahian hebat dua perempuan di ruangan itu.

Seisi ruangan menoleh ke layar dan semua lampu di ruangan itu padam serentak. Hanya sedikit cahaya menerangi yang berasal dari layar hitam bergaris-garis putih itu.

Bunyi itu di selingi jeritan, menambah kepanikan di seluruh penjuru ruangan.

"Tenanggg!!! Semua tolong tenang. Saya minta, kalian semua diam di tempat kalian masing-masing dan jangan ada yang bergerak dulu" tukas Radit mencoba memerintah. Namun tak ada yang menghiraukan ucapan polisi itu. Semua terdengar semakin gusar.

Teriakan, jeritan, kepanikan, langkah kaki terdengar dimana-mana. Semua berusaha melindungi diri mereka masing-masing dalam keadaan gelap.

Keadaan itu berlangsung beberapa menit sampai lampu tetiba menyala kembali. Seisi ruangan terkejut dan membeku di posisinya masing-masing. Hingga...


***Bersambung***

The Faces of The Devil (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang