Bagai Tuhan

73 5 4
                                    

Devils Room

Kenta menangis tersedu-sedu di lantai. Ia bersujud dan memukul-mukul lantai itu. Suara pria gempal itu tak lagi berat dan penuh amarah, ia lebih terdengar seperti anak kecil yang telah kehilangan mainan kesayangannya. Merengek minta di ampuni walau bersalah.

Jefri memperhatikan apa yang di lakukan oleh masing-masing peserta lainnya.

Adipati berteriak pada kamera CCTV bahwa ini bukan sesuatu yang adil. Di awal permainan, orang di balik layar tersebut menyebutkan setiap 30 menitnya hanya ada 1 alat yang akan jatuh, namun kali ini mengapa 2 alat sekaligus yang jatuh. Ini membuat kacau semua peserta dan lebih besar kemungkinan ada yang mati bersamaan.

"Kenapa bro? Takut?". Jefri berdiri di sisi Adipati dan menepuk pundaknya.

"Ini nggak adil! Bisa ada 2 orang yang mati sekarang. Kita punya 2 piso dan 1 palu kan?" jawab Adipati. Ia melihat kearah Kenta yang berada paling dekat dengan palu namun belum menyentuhnya kembali.

Jefri mengangguk tanda setuju, namun bibirnya tak bergeming satu kata pun.

Nikita memilih untuk menyendiri, ia tak ingin berada di dekat siapapun. Ia takut siapa saja bisa merebut pisau yang ada di tangannya saat ini. Semua orang ingin dan membutuhkannya untuk bertahan.

Chico berteriak pada Nikita, "Mbak, jaga diri ya. Lo satu-satunya perempuan hidup yang ada disini sekarang. Lo lemah!". Ia duduk dan berusaha terlihat sadar, namun tubuhnya menolak. Ia tetap meringis. Keringat dinginnya tak henti berjatuhan. Bibirnya makin pucat. Bagian bawah matanya terlihat hitam.

Kini lampu kembali padam.

***


POV Chico, Flashback

Di sebuah gedung tua di pinggiran Kota Tua, aku berjalan seorang diri.

Malam ini, bulan purnama menambah sendunya dunia. Ia berusaha membuat bintang nampak tak kesepian. Keramaian bukan berarti tak bisa kesepian. Sama sepertiku. Bedanya, bintang memiliki bulan. Dan aku, seorang diri. Sampai kapanpun.

Aku dikenal sebagai Bang Kroco. Hal yang biasa untuk menyembunyikan identitas asli kami di kalangan pembeli dan Bandar lainnya.

Aku menjadi buronan polisi sejak berusia 25 tahun, tepatnya 5 tahun yang lalu. Targetku adalah anak-anak sekolahan. Mulai dari yang masih duduk di sekolah dasar hingga orang tua. Aku tak peduli darimana mereka bisa mendapatkan uang untuk membelinya, aku tak peduli efek yang akan mereka dapatkan, dan aku tak peduli kesulitan-kesulitan yang aku harus tanggung.

Sebenarnya, target utamaku adalah anak-anak dari teman bapakku. Namun, setelah mereka semua menjadi pecandu dan tidak semuanya mati, aku memutuskan untuk membuat anak-anak lainnya juga merasakan hal yang sama seperti adikku.

Aku tidak menaruh harga tinggi dan sengaja tidak menjualnya dengan porsi yang banyak. Aku membuat kesempatan anak-anak itu yang tidak terlalu banyak memiliki uang untuk tetap dapat memilikinya.

Sudah empat kali aku berhasil lolos dari kejaran polisi-polisi culun. Berkali-kali aku menyamar menjadi berbagai jenis orang untuk mengelabui mereka dan menghilangkan jejak. Berkali-kali pula aku harus mengganti nomor di telepon selular ku.

"Gue nggak boleh gegabah. Gue nggak tau mana cepu, mana temen" ucapku sambil membuka kopi kaleng rasa moka yang telah ku beli di perjalanan ke sini. Aku duduk di sebuah ruangan kecil di gedung tua, tempatku menyembunyikan benda-benda itu untuk sementara.

Niatku, ku urungkan. Sebelumnya aku berniat untuk membeli minuman keras namun aku takut kehilangan kesadaranku dan polisi-polisi itu dapat menangkapku.

The Faces of The Devil (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang