Babak Ketiga

52 3 0
                                    

Devils Room

Adipati lah yang lebih cepat berlari, ia berhasil meraih besi tajam dengan gagang kayu dibawahnya lebih dulu daripada Radit dan Jefri.

"Di... Di... Adi, serahkan goloknya. Biar Saya yang amankan" tukas Radit dengan tangan kanan menengadah, meminta. Kakinya selangkah tapi pasti mendekati pria yang mengurungkan niat shalat dzuhurnya demi menguasai benda tajam yang baru jatuh itu.

Adipati ragu, apakah ia harus memberikan golok itu atau tidak. Di satu sisi, ia membutuhkan sesuatu untuk tetap melindungi diri. Ia merasa tak boleh sepenuhnya percaya pada siapapun. Dan di sisi lainnya, ia merasa lebih aman jika seorang polisi yang mengamankan benda tajam semacam itu daripada salah melukai orang lain.

"Mau bernasib sama seperti Yuki dan Chico?" ia mendengar suara bisikan dari belakang telinga kirinya.

Adipati berjalan mundur menghindari Radit dengan tetap mempertahankan golok di tangannya. Ia setuju dengan bisikan yang sebelumnya ia dengar.

"Aargh!!!" Adipati meringis. Merasakan sesuatu mengenai pinggangnya.

"Serahin goloknya ke gue. Lo pake piso ini aja. Gue butuh yang lebih gede dari sekedar piso". Suara itu berasal dari belakang tubuh Adipati, Jefri menusukkan pisau ke pinggangnya. Tidak terlalu dalam, namun cukup perih, terasa menyayat merobek baju dan kulit Adipati.

Jefri mengajak Adipati untuk bertukar alat bertahan hidup dengan paksa.

Adipati mengangguk dan perlahan meletakkan golok itu di lantai. Tak ada pilihan lain. Tangan kiri Jefri mengambil golok dan tangan kanannya melepaskan pisau dari pinggang Adipati.

Ia menyentuh pinggangnya yang berdarah. Pisau itu merusak baju koko yang ia kenakan. Di baju koko Adipati terlihat seperti ada sebuah pulau dengan warna yang lebih gelap dari warna hitamnya dan memiliki sebuah sayatan.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Radit pada Adipati.

"Nggak, nggak apa-apa. Cuma kegores dikit aja kayaknya" jawabnya. Radit membantu Adipati berjalan ke dinding dan duduk.

Karena hanya ada empat sudut di ruangan itu. Satu sudut di tempati oleh Jefri bersama goloknya. Satu sudut lain di tempati Nikita dengan pisaunya yang sama seperti Adipati.

Satu sudut lagi di tempati Kenta yang tangisannya mulai mereda, Kenta hanya belum merespon kejadian apapun yang ada di ruangan ini namun telah menggenggam palu ditangannya. Karena ia berkepribadian ganda, Radit dan Adipati memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengannya saat ini. Tak ada yang tahu apa yang bisa pria itu lakukan kedepannya. Mereka berdua merasa lebih aman berada di sudut ini, tempat dimana mayat Chico berada.

Adipati meletakkan pisau di sisi kanannya.

"Ehh, lo yakin nggak sih kalo emang Jefri yang ngebunuh Chico?". Adipati bertanya, mulai membuka pembicaraan.

Keduanya memandangi Jefri yang tengah sibuk memainkan golok di tangannya. Melemparkannya ke udara dan menangkapnya kembali. Ia melakukan gerakan bela diri, seakan telah terlatih melakukan pencak silat dan menggunakan golok.

"Belum ada bukti yang pasti. Hanya ada darah ditangan dan pisau yang dia pegang. Dan pengakuan dari dia sendiri tadi. Yang Saya ingat, dia orang yang posisinya paling dekat dengan korban saat lampu diruangan ini kembali padam" jawabnya.

Keduanya sepakat untuk tetap berada di sudut ini. Merasa lebih aman ketika berjauhan dengan Jefri yang terlihat sangat terlatih menggunakan golok dan Kenta yang memiliki kepribadian ganda.

"Oh no..." Adipati menunjuk jam analog yang ada di layar saat Radit menoleh, 13.13.

"Saya tidak bisa ngebunuh siapapun kecuali dia membahayakan diri Saya. Saya tidak tahu harus memilih siapa. Saya tidak mau melakukan itu" Radit terlihat mulai pasrah dengan semua keadaan ini.

The Faces of The Devil (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang