Chico Flashback
"Jangan mendekat!!!".
Pria dengan kaos putih bergambar wajah pasangan calon legislatif dengan tulisan angka 2 mengibas-ngibaskan pisau dapur kearah depan menggunakan tangan kanannya. Tangan kirinya merangkul kuat seorang anak lelaki berseragam sekolah menengah pertama.
Di hadapannya, bapak dari anak tersebut memohon untuk keselamatan anaknya. Ia yang semula marah dan mendapati transaksi antara anaknya dan Chico kini menjadi berbalik. Wajah murkanya kini memelas.
"Kalo lo sampe lapor polisi, mati lo sekeluarga. Gue tau siapa anak lo, siapa temen-temennya, dimana sekolahnya, dimana dia main, dan semua tentang keluarga lo" ancam Chico yang mengenakan buff bercorak merah di wajahnya.
"Kalo gue masuk penjara, anak lo bakal mati di penjara. Lo nggak akan bisa idup tenang. Abang-abangan gue dimana-mana" tambahnya.
"Baik bang.. Baik... Abang pergi aja. Saya nggak akan lapor. Saya janji. Tolong lepasin anak Saya bang" mohon bapak anak itu.
Chico mendorong anak itu kuat hingga terlempar di pelukan bapaknya. Seakan telah tahu bahwa kondisi mulai aman, Chico melarikan diri saat pria itu memastikan bahwa anak lelakinya tidak terluka di bagian tubuhnya.
Ia melarikan diri sekencang-kencangnya dari lorong kereta tua, meninggalkan bapak dan anak yang nyaris menjadi pelanggannya.
Ini kali ke-2 ia membeli narkoba pada Chico. Dua hari lalu, Chico memberikan anak itu sebungkus ekstasi dan mengajarkannya cara menggunakannya secara cuma-cuma. Hari ini, anak itu datang dan ia meminta sejumlah uang jika anak itu ingin mendapatkan benda yang sama itu kembali.
Benda itu pernah membuat Chico begitu muak dan membencinya. Karena ia telah merenggut nyawa Emak, Bapak, dan adik lelakinya. Bapaknya yang mati karena terlalu banyak menggunakan narkoba membuat emaknya putus asa. Cinta buta dan bodoh memang beda tipis.
Adik semata wayang Chico pun telah meninggal dunia. Ia menjadi korban dari teman-teman bapak yang sengaja memberikan benda itu pada adikku yang polos setelah bapak pergi hanya sekadar untuk hiburan mereka.
Dalam waktu 1 bulan, Chico harus kehilangan 3 orang yang ia cintai. Semua karena benda biadab itu.
Berbulan-bulan, Chico menyendiri di kamar. Tidak punya nyali untuk keluar rumah. Semua tetangga dan teman-temannya yang mengetahui penyebab kematian seluruh keluarganya menatap Chico dengan jijik.
Chico Junior, anak seorang pecandu narkoba yang bapak dan adiknya meninggal dunia overdosis. Juga ibu yang mati bunuh diri.
"Udahlah nak. Pokoknya nggak boleh! Lagian ngapain sih sekolah tinggi-tinggi? Mending jadi bandar aja. Bapak bisa bawa kamu ke Si Om. Kita bisa dapet uang banyak tiap hari. Emakmu nggak perlu jualan sayur lagi. Bapak bisa mabok tiap hari. Adekmu itu bisa sekolah tanpa ngerepotin bapak lagi", kalimat bapak terngiang di telinganya saat meminta Chico muda tidak melanjutkan sekolah setelah lulus di tahun berikutnya. Ia sangat marah saat Chico memberitahukan niatnya untuk mendaftar di perguruan tinggi.
Dengan mudah bapaknya berbicara seperti itu. Bertahun-tahun ia tak pernah menafkahi keluarga kecilnya. Hanya emaknya yang bekerja mati-matian. Pulang kerumah dalam keadaan setengah sadar, memukuli mereka, memarahi mereka dan meminta uang serta makan. Pergi sakau, pulang mabuk.
"Manusia itu cuma butuh 3 hal di sekolahan. Baca, tulis, itung. Udahlah, jangan mimpi ketinggian" tambahnya sambil menghisap rokok yang ada disela-sela jari tangannya. Semua masih jelas tergambar di ingatannya.
Ketika Chico muda yang selalu menjadi peringkat 5 besar di sekolah itu berusaha mempertahankan keinginannya untuk membuat ekonomi keluarga mereka lebih baik, bapak memukulinya tanpa ampun.
"Mendingan lo mati aja, dasar anak nggak berguna! Dikasih enak malah minta yang ribet". Chico menjadi bulan-bulanan bapaknya. Tak luput, lengannya di sundut rokok yang semula ada di tangan bapaknya.
***
POV Chico
Disini lah aku berada kini, kampung kumuh penuh gang sempit dan rumah yang berbaris tak beraturan. Perkampungan yang mayoritas besar penduduknya adalah orang-orang dengan ekonomi dibawah rata-rata.
Aku tidak memiliki pekerjaan tetap setelah membeli rumah ini dari hasil menjual rumah keluargaku sebelumya. Rutinitas kegemaranku adalah berhutang, berjudi, bermain di club malam, menjual narkoba, dan menggunakan narkoba. Di kampung sini tidak ada yang peduli siapa dan mengapa aku seperti ini. Yang terpenting adalah aku tidak membuat keributan.
Terkadang, ada rasa iri dalam diriku ketika menatap anak-anak kecil di daerah tempat tinggalku untuk melangkah setiap pagi untuk pergi ke sekolah. Aku iri, seharusnya aku dan adikku bisa merasakannya juga. Di depan teras rumah, setiap sore aku melihat langkah-langkah ringan yang lelah setelah menguras pikiran dan tenaganya di bangku sekolah. Mereka semua benar-benar beruntung, tidak seperti aku, apalagi adikku.
Aku bekerja dengan hati yang penuh dendam, ini bukan keinginanku. Aku menjadi pengedar narkoba dikalangan anak sekolah karena aku ingin membalas apa yang teman-teman bapak lakukan hingga aku harus kehilangan adikku. Semua anak harus merasakan nikmatnya mati di tangan obat-obatan terlarang, sama seperti adikku.
Menjadi pengedar narkoba karena cinta emak pada bapak yang tidak bertanggung jawab. Aku tak pernah habis pikir mengapa emak semudah itu meninggalkanku dan memilih untuk menyusul bapak yang overdosis.
Aku takut jika suatu saat nanti ada aparat negara yang akan menangkap dan memenjarakanku. Bukan karena takut di penjara, takut aku tidak bisa melanjutkan pembalasan dendamku pada semua anak-anak yang aku temui. Entah sampai kapan.
Di sudut ruang tamu rumah kecilku, aku berdiam diri sejenak setelah pulang mengambil narkoba dari seorang Bandar. Berkantung-kantung kecil jenis narkoba berada di meja ruang tamuku.
"Sampai kapan mau hidup kayak bapakmu nak?". Sebuah suara tak berwujud yang sudah 2 minggu lebih ku dengar berada di sekelilingku muncul kembali. Suara yang mirip seperti suara perempuan yang melahirkanku, perempuan yang selalu ku rindukan.
"Emak nggak pernah tau kalo Chico kesepian disini. Chico sendirian mak, nggak punya siapa-siapa. Chico udah berusaha mati kayak bapak tapi nggak bisa, coba mati kayak emak juga nggak mati-mati. Chico nggak terima, si dede mati karena jadi bahan bercandaan temen-temen bapak. Di cekokin narkoba sampe DO. Chico pengen semua anak-anak nemenin si dede di, mati" ucapku. Aku tak tahan, aku menenggak salah satu isi bungkusan daganganku.
Aku bukan kakak yang baik, bahkan bukan anak yang baik di keluargaku. Aku tidak berguna. Bapak benar.
Hidupku, ku dedikasikan untuk menghancurkan hidup semua anak-anak dan keluarga mereka dengan bantuan narkoba. Semua orang harus tau apa yang aku rasakan. Mereka tidak boleh bahagia diatas penderitaan dan kesepian yang ku rasakan bertahun-tahun.
Aku merasakan tangan dan pelukan yang pernah ku rasa ketika emak masih hidup. Aku tak kuat lagi. Aku menangis tersedu-sedu di lantai. Bersujud dan memukuli lantai keramik ruang tamuya.
Aku merindukan keluargaku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Faces of The Devil (ON GOING)
Mystery / ThrillerRasakan sensasi membaca cerita yang lebih REAL. Kamu dapat mendengar suara dari PRIA MISTERIUS dibalik layar, otak dari DEVILS ROOM ini. Nikita Mirzani, Adipati Dolken, Yuki Kato, Reza Rahadian, Chico Jericho, Jefri Nichol, Raditya Dika, Kenta Yamag...