Babak Kedua

76 4 0
                                    


"Ahk!" Nikita kembali menjerit, membuat semua mata mengarah padanya. Jeritanya kali ini bukan refleksi dari rasa takut dan panik seperti sebelumnya, namun dari keterkejutannya. Raut wajahnya pun. Matanya terbelalak dengan mulut menganga.

Nikita kemudian menutup mulutnya seakan tak percaya. Perempuan yang semula bergelut dengannya, kini tengah tergeletak kaku di lantai dengan darah yang bercucuran deras, keluar dari kepalanya. Sebagian tengkoraknya hancur dan remuk.

Radit dan Jefri berlari menghampiri tubuh mengejang Yuki, Perempuan itu tengah dicabut nyawanya. Sedangkan Adipati mencoba menenangkan Nikita dan membantu perempuan itu menutup matanya.

Jefri memanggil-manggil nama perempuan itu, berusaha membangunkannya. Radit mencoba memeriksa denyut nadinya kemudian melihat ke sekeliling dan menggelengkan kepala.

Chico terkekeh. "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un..." ucap Adipati.

"Lo kan yang bunuh dia!" ucap Chico menunjuk kearah Kenta.

Semua peserta melihat kearah Kenta yang berdiri beberapa langkah dari tempat Yuki terbaring. Tangan kanannya memegang palu besi yang semula ada di tengah ruangan. Palu dan tangannya di penuhi darah yang juga berceceran di lantai.

"Pembunuh!" teriak Jefri.

"KENAPA HAAA?! Kayak gini kan cara mainnya? Harus ada yang mati disini tiap 30 menit! Emangnya, lo semua pada mau mati kalo nggak ada yang mati? HA?!". Kenta tertawa sangat keras.

"Tapi lo bukan hakim. Lo nggak berhak nentuin siapa yang hidup, siapa yang mati. Kenapa Yuki?" tambah Adipati.

Tiba-tiba, Kenta menjatuhkan palu yang ada di tangannya. Ia menatapi tangannya yang gemetar dan penuh darah. Sesaat ia meringis, menangis ketakutan beberapa detik kemudian.

"Dissociative Identity Disorder" kata Radit. Tak ada yang tahu cara menghadapi Kenta yang menunjukkan tanda memiliki kepribadian ganda..

"Bagus... Kebencian dan prasangka kalian satu sama lain mempermudah jalannya permainan ini. Keegoisan dan keangkuhan kalian, memperlancar sebuah kematian. Selamat, seseorang sudah mati berkat salah satu diantara kalian. 30 menit pertama yang cukup hebat" ucap layar itu. Terpampang foto Yuki Keinarra dengan coretan tanda silang merah di wajahnya.

"Bukan Kenta. Sebelum mati lampu, dia ada di sebelah gue. Nggak mungkin dia bisa tiba-tiba ada di sebelah Yuki". Adipati membela Kenta dengan yakin.

"Tapi bukti kan udah jelas, odia yang megang palunya. Lagian, seberapa yakin lo kalo dia selalu ada di sebelah lo pas mati lampu? Emang mata lo bisa kayak kelelawar? Kocak!" jawab Jefri.

"Palu itu ada di lantai samping Yuki. Kenta baru ambil palunya pas lampu nyala. Gue beneran liat pake mata kepala gue sendiri kok". Adipati berusaha meyakinkan yang lainnya.

Nikita mengatakan bahwa mungkin pembunuhnya adalah Radit. Karena Radit adalah orang terakhir yang berada paling dekat dengan palu itu sebelum lampu ruangan tiba-tiba padam, Radit lah yang berusaha meneliti palu, bukan siapapun.

Chico menguatkan argumen Nikita dengan mengingatkan yang lain bahwa Radit adalah orang yang meminta semua peserta lainnya diam di tempat dan jangan bergerak ketika lampu itu padam. Ia bisa saja tengah menyusun rencana untuk membunuh salah satu dari mereka. Dan Yuki orang yang paling muda dan lemah diantara mereka.

"Tapi gue juga denger lo ngingetin Yuki kalo bisa aja dia yang bakalan jadi orang yang pertama mati. Pembunuhan ini bisa jadi rencana lo kan?" lanjut Jefri membalikkan tuduhan yang semula diterima Radit.

Mereka saling menyalahkan dan mencurigai. Siapa yang benar dan siapa yang salah. Masing-masing sibuk memberi argumen yang kuat untuk menemukan jawaban siapa yang membunuh Yuki dan mengapa palu tersebut akhirnya berada di genggaman Kenta.

Foto Yuki menghilang dari layar yang kemudian disusul oleh sebuah suara dari layar, "Mari kita lanjutkan permainan menarik ini dan pilihlah salah satu diantara kalian yang sudah tidak layak hidup. Berikut, alat yang bisa kalian gunakan. Selamat bermain!". Suara musik yang sebelumnya bergema sesaat setelah peraturan di Devils Room itu telah selesai di sebutkan, kini berdering kembali.

BRUKKKK!!!

Sesuatu kembali jatuh dari atap.

Layar hitam di sudut ruangan kembali berubah menjadi sebuah jam analog bertuliskan 30:00.

Chico yang setengah sakau berlari sekencang mungkin dan meraih salah satu dari dua buah pisau yang jatuh di tengah ruangan. Satu pisau lainnya ia tendang kearah Nikita sambil memanggil nama perempuan itu.

Nikita dengan cepat mengambil dan mengarahkan pisau di depan badannya, mencoba untuk melindungi diri dari siapapun yang mencoba mengambil alih pisau di tangannya.

"Mbak... Mbak... Taro ya pisaunya. Bahaya" Radit mencoba meraih pisau yang ada ditangan Nikita.

"Biar apa? Biar apa ha?! Biar salah satu dari kalian bisa dengan gampang ngebunuh gue kayak Yuki? Dia nggak punya pertahanan buat bela dirinya pas ada yang nyerang. Jangan mentang-mentang kalian semua cowok disini terus gue bisa dengan gampang kalian bunuh. Sekarang, nggak akan ada yang bisa nyerang gue juga kayak kalian nyerang tuh bocah. Termasuk lo! Jangan macem-macem lo ya sama gue!" tangannya yang memegang pisau itu sedikit bergoyang.

Nikita tidak bisa mengarahkan pisau itu dengan lurus. Tangannya gemetar. Ia juga mengebas-ngebaskan pisau itu ke segala arah ketika ada yang berani mencoba melangkahkan kaki untuk mendekatinya.


***Bersambung***

The Faces of The Devil (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang