Reza Praharadian

127 7 1
                                    


POV Istri Reza

"Dasar, perempuan nggak tau diri!". Kalimat yang beriringan dengan suara petir di depan jendela itu menghujam sekujur tubuhku. Dengan tatapan tajam dan mata yang merah, orang yang selama 12 tahun ini ku panggil 'Sayang' menjawab pertanyaanku.

"Abang, apa salah aku cuma bantuin ibu kamu yang butuh uang? Dia lagi sakit dan..." belum sempat ku selesaikan penjelasanku, tangan kekarnya bersarang di wajah kiriku. Menyisakan rasa perih yang tak hanya ada di hatiku.

"Semua ini punya aku! Bukan punya kamu! Kamu nggak berhak bagi-bagiin hasil kerja aku ke orang lain! Ibu kan masih punya Bang Ezra sama Bang Zera. Kenapa semua harus jadi tanggungan aku?!" ia menunjukkan amarah yang teramat sangat sebab uang tiga juta yang aku transfer ke rekening ibu.

Hanya helaan nafas yang dapat ku tunjukkan pada asisten pribadinya yang melihat kejadian ini. Ia dan manager Bang Reza sangat tahu bagaimana cara aku di perlakukan. Satu huruf saja dapat membuat telapak tangannya kembali melayang. Mengapa ia begitu berbeda ketika di depan kamera dan di depanku?

Di depan kamera, ia terlihat sangat baik. Ia juga menawan, rupawan, dan terlihat bagai suami idaman. Ia selalu menunjukkan rasa cintanya pada kami, istri dan seorang anak lelaki kami. Namun ketika ia sampai di rumah, semuanya menjadi terbalik.

Hanya tatapan benci yang ku lihat darinya padaku. Apapun yang aku lakukan tidak pernah memuaskan dan menyenangkan hatinya. Bahkan tak segan ia menghardik, mencaci, dan memukuliku walau hanya kesalahan kecil yang ku buat di hadapan buah hati tercinta kami. Setidaknya, buah hati yang ia cintai di hadapan kamera, media, dan teman-temannya.

Aku menatapnya yang bercermin, memastikan pakaiannya terlihat mempesona seperti biasanya. Hari ini, ia akan menghadiri sebuah casting film baru, "Ketika Cinta Bisa Memilih". Aku yang memilihkan pakaian yang akan ia kenakan itu. Aku tidak pernah berhenti memperlakukannya dengan baik, karena aku masih mencintainya.

Menyedihkan...

Aku tak pernah tahu sifat ini bisa muncul dari laki-laki yang menjadi imamku ini. Mungkin kami terlalu muda untuk menikah dahulu, usia ku yang baru 19 tahun dan ketika itu usianya 22 tahun.

Pukulan pertama ku dapatkan setelah aku melahirkan Rama. Saat aku memaksanya datang ke rumah sakit disaat ia berada di ajang penghargaan sebuah film. Ia yakin akan menang di hari itu, hal yang selalu ia impikan dan idamkan selama bertahun-tahun. Dan memang suamiku memiliki talenta yang ku banggakan, ia meraih piala pertamanya dalam film Rama dan Shinta saat ia memerankan tokoh Rama.

Aku tak pernah henti mengucap rasa syukur dan mengungkapkan rasa banggaku pada semua orang tentang Bang Reza.

Malam itu, setelah bercak tangan pertama Bang Reza bertengger di wajahku, ia bersimpuh dan meminta maaf dengan sangat tulus. Aku melihat air mata di sudut matanya dan aku sangat mengerti betapa pentingnya acara itu untuk Abang. Seharusnya, aku tak pernah mengganggunya mengejar cita-citanya.

Namun ternyata, permintaan maaf itu tak pernah merubah sikapnya padaku, malah bertambah parah.

Kebiasaan yang tak pernah ia lakukan sebelum ia menjadi public figure pun ia lakukan bersama teman-teman barunya. Ia menjadi suka pergi malam dan pulang pagi dengan aroma tubuh penuh alkohol. Dan jika hal itu sedang terjadi, maka ia akan lebih tidak dapat mengendalikan emosinya.

Ia menjadi lupa padaku dan anak kami. Ia juga menjauh dari keluarganya. Ibu yang melahirkannya pun ia acuhkan. Berkali-kali aku berusaha mendekatkan mereka kembali namun yang ada, akulah yang akhirnya menjadi bulan-bulanan tubuh kekar Bang Reza yang ia bentuk semenjak menjadi artis. Ia begitu terobsesi dengan profesinya itu. Apapun ia lakukan agar membuat dirinya menarik perhatian semua penggemarnya.

Aku takkan pernah lupa semua yang telah ia lakukan padaku. Dan perasaanku padanya sampai detik ini pun tidak berubah. Aku tetap mencintai pria ini, Reza Praharadian ku.

Perjuangannya untuk mendapatkan hati aku dan keluargaku dahulu, sangat mengesankan. Aku tahu bahwa ia sungguh-sungguh mencintaiku. Tidak mungkin ia sampai bekerja begitu keras demi mengumpulkan mahar untuk melamarku dulu. Bapak yang awalnya tidak setuju pun luluh melihat perjuangan dan kegigihan Abang. Aku yakin, Almarhum ibu pun pasti bangga pada menantu satu-satunya ini.

Di luar Bang Reza menyakiti hati dan fisikku, ia tak pernah berhenti menafkahi keluarga kecil kami. Dan alasanku bertahan sejauh ini adalah Rama, dan kesetiaan Bang Reza yang tidak pernah berselingkuh sama sekali. Ini hanya tentang perubahan sifat dan sikapnya. Aku yakin, suatu saat ia akan kembali menjadi Bang Reza-ku yang bukan siapa-siapa dahulu.

Asisten Bang Reza kembali masuk ke kamar setelah pembicaraan aku dan Abang mengenai ibu berhenti, mungkin di buru jadwal lainnya pula. Ia membantu Abang mengambil perlengkapan casting-nya yang telah ku tata rapih dalam koper. Aku mengiringi langkah kaki mereka ke pintu depan.

Tanpa sepatah kalimat pun yang ku dapatkan dari pria dengan rambut halus di bagian bawah wajahnya, sampai akhirnya ia benar-benar pergi dari pandanganku. Hanya ada ucapan salam dari asisten dan manager abang.

Aku menghapus air mata yang lagi-lagi menetes di sertai langkah masuk ke dalam rumah. Di ruang keluarga, layar televisi yang menyala menampilkan wajah Abang disana. Ia tengah di liput dalam promo film barunya. Ia bekerja giat sekali, demi kami. Aku tetap bangga padanya.

"Semoga engkau berhasil, suamiku".


***

The Faces of The Devil (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang