Thirteenth Petal

111 10 2
                                    

Tap... tap... tap...

Dibawah guyuran hujan, seorang laki-laki berjas hujan kuning terlihat berjalan seorang diri tanpa berpayung sama sekali yang melangkah menuju Umakura sembari sesekali menggumamkan sesuatu yang hanya dia sendiri yang bisa dengar. Wajah sosok tersebut tertutup oleh tudung jas hujan hingga sulit untuk mengenali sosoknya.

Tidak membutuhkan waktu hingga sosok laki-laki tersebut menghentikan langkah di depan kediaman yang cukup familiar. Kediaman dengan gerbang tinggi dan diapit oleh dinding yang sama tingginya dan di atasnya tertulis jelas kanji "bunga" dan "bulan" yang terukir rapi di atas papan.

Kediaman Hanazuki.

Laki-laki itu berdiri cukup lama, meskipun tidak mengharapkan kedua penjaga gerbang akan membukakan pintu. Seulas senyum misterius muncul di wajahnya, seolah tengah memikirkan sesuatu. Dia menurunkan sedikit tudung jas hujan, kemudian bergumam. Kali ini terdengar sedikit lebih jelas.

"Sedikit lagi... hingga mereka dewasa...,"

Setelah bergumam seperti itu, laki-laki tersebut menurunkan tudung jas hujan. Dia menatap papan nama dengan lamat-lamat. Tersenyum kecil, sebelum akhirnya berjalan menjauh dari kediaman.

Tanpa mempedulikan hujan yang semakin deras, laki-laki itu kemudian melangkah ke pertigaan di depan Umakura. Menaiki bus ke arah tebing Fudeshima, kemudian turun dan pergi ke sebuah rumah kecil dengan halaman yang terawat dengan baik meski hanya dihuni oleh dua orang. Dia membuka pintu pagar dengan perlahan, kemudian menguncinya. Lalu berjalan ke arah pintu dan mengetuk pelan.

Tak berapa lama kemudian, seorang pelayan berpakaian rapi membukakan pintu dan membungkuk hormat melihat kedatangannya. "Selamat datang kembali, Tuan Muda," sambutnya dengan sopan.

Laki-laki itu melangkah masuk. Kemudian membuka jas hujan hingga memperlihatkan penampilan sesosok pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun, berambut hitam, berkulit pucat, dan memiliki mata berwarna merah seperti bunga mawar. Dia melempar jas hujannya ke dalam keranjang, sementara si pelayan memberikan handuk.

"Apakah Anda telah menemui mereka, Tuan Muda?" tanya sang pelayan.

Pemuda itu menggeleng. "Belum, sama sekali," jawabnya. "Aku baru melewati rumah mereka. Masih terlihat hidup seperti dulu."

"Yah, Anda masih memiliki cukup waktu, Tuan Muda."

"Mereka akan berusia delapan belas tahun bulan April ini. Sudah saatnya bagi mereka untuk tahu yang sebenarnya. Terutama...,"

Tatapan matanya seketika berubah drastis. Tidak secerah barusan, malah terlihat dingin. "Mereka. Aku ingin mereka mengetahui kebenarannya."

Sang pelayan hanya mengangguk. Beliau sudah paham sifat dari tuan mudanya. "Saya mengerti, Tuan Muda. Saya mendoakan keberhasilan Anda."

Pemuda itu hanya melingkarkan handuk yang barusan diberikan ke leher. "Sekarang, aku harus melakukan sesuatu. Dan seperti biasa, jangan ganggu hingga aku selesai."

Pelayan tersebut mengangguk dan membungkuk hormat. "Baiklah, Tuan Muda."

Si pemuda bersurai kecokelatan pun berjalan ke lantai dua menuju kamar dan segera mengunci pintu. Kemudian dia duduk di tempat tidur sembari menghela napas panjang dan menjenggut pelan rambut depannya. Tinggal sedikit lagi, tinggal sedikit lagi hingga bisa bertemu dengan mereka. Ini baru awal April, tapi rasanya lama sekali.

"Mau sampai kapan aku menunggu hingga bisa bertemu mereka?" batinnya. "Jika saja wanita bodoh itu tidak mengganggu dan membuatku kabur, semua ini tidak akan terjadi. Aku tidak perlu menyusun rencana seperti ini kalau bukan karena dia."

Pemuda bermanik merah itu lalu membuka laci meja sebelah tempat tidur, dan mengambil selembar foto yang sudah lusuh karena dimakan waktu. Dia menatap foto tersebut dengan tatapan yang sama ketika melihat kediaman tadi.

Foto si kembar Hanazuki kecil.

"Aku sudah menantikan selama tujuh tahun. Tinggal beberapa hari lagi, dan kita akan kembali dipertemukan...," ujarnya. Dia mengusap ujung lembar foto. "Aku benar-benar merindukan kalian. Jika saja aku tidak melakukan hal bodoh saat itu... mungkin kita masih sama seperti dulu."

Pemuda itu kemudian menyeringai kecil. Kemudian dia melempar foto tersebut hingga mendarat di atas jaket berwarna hitam yang sudah ternodai oleh darah yang telah kering. Nada suaranya berubah menjadi sinis dan dingin.

"Kalian akan segera mengetahui kebenarannya," dia menjenggut rambut depan kuat-kuat. "Aku tidak sabar melihat kalian menemukan semua rahasia itu," matanya melirik ke arah kalender. "Tinggal masalah waktu saja hingga semua ini dimulai...,"

Pemuda itu hanya mendengus kecil, kemudian berbaring di kasur dan menatap ke atas. Pemandangan yang dia lihat bukanlah langit-langit kamar yang putih layaknya kamar seseorang, namun yang terlihat adalah boneka-boneka yang terbuat dari dari kain lusuh dengan mata kancing dan bibir berbentuk datar yang dijahit. Terdapat berbagai macam nama yang ditancap dengan paku pada bagian dada boneka tepat di daerah yang dia yakini sebagai daerah jantung, dada kiri atas.

Kedua matanya menatap boneka-boneka tersebut, puas melihat hasil pekerjaannya selama tujuh tahun. Sudah banyak korban yang berjatuhan. Malah, boneka-boneka di kamarnya saat ini bukanlah jumlah keseluruhan dari orang-orang yang meregang nyawa di tangannya. Masih ada lagi, dan lebih dari ini.

"Ah, ya... masih ada satu lagi yang harus kubereskan," ucapnya.

Tanpa berpikir panjang, si pemuda misterius bangkit dari tempat tidur dan membuka kunci pintu, lalu berjalan turun. Si pelayan tampaknya sudah kembali ke kamar, tidak ingin mengganggu sang tuan muda untuk melakukan "pekerjaannya". Melihat hal itu, dia tersenyum sinis dan mengambil sebuah pipa besi yang ujungnya ternodai oleh bercak merah tua, bekas darah yang mulai mengering.

Dengan langkah ringan, dia berjalan ke sebuah pintu yang berada di dekat dapur. Pintu tersebut selalu terkunci rapat dan diberikan empat buah gembok. Tidak ada yang tahu apa yang ada di balik pintu, kecuali dia sendiri. Bahkan sang pelayan tidak diperbolehkan untuk masuk. Tidak pernah sekalipun.

Pemuda itu mengeluarkan empat kunci yang disatukan dengan kawat berbentuk lingkaran. Satu persatu, dia membuka gembok. Begitu gembok keempat dilepas, pintu kemudian terbuka. Yang pertama kali menyambut adalah bau anyir yang menusuk hidung. Sosok-sosok tidak dikenal bergelimpangan di lantai, berlumuran darah dan wajah hampir hancur. Di langit-langit ruangan yang gelap itu, boneka-boneka yang serupa dengan yang ada di kamarnya pun terlihat.

Di atas salah satu kursi, ada sesosok pria paruh baya yang diikat dengan tambang. Kedua mata dan mulutnya ditutupi oleh kain putih. Pemuda itu menghampiri pria tersebut sembari menyeset pipa besi hingga menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga.

"Kau harusnya lebih sadar diri kau berurusan dengan siapa. Kau memang mabuk, tapi seharusnya tidak sampai berusaha merugikan orang lain," ujar pemuda itu dengan nada tajam.

Pria di hadapannya berusaha berteriak, namun tidak bisa. Kain yang menutupi mulutnya terlalu kuat hingga terdengar seperti pekikan tertahan.

Melihat korbannya menderita seperti itu, dia menyeringai semakin lebar. "Ternyata kau lebih baik mati dibandingkan meminta maaf kepada orang yang hampir kau celakai," katanya. "Yah, jika kau mati pun tidak akan ada yang tahu...," pemuda itu mengangkat pipa besi di tangannya. "Karena kau tidak akan pernah ditemukan sampai kapanpun."

Dengan satu ayunan, dia memukul pria tua itu. Berkali-kali. Puluhan kali pukulan dilayangkan. Si korban hanya bisa pasrah menerima rasa sakit dari hantaman pipa besi dan menunggu kematian menjemputnya.

Satu pukulan terakhir, dan pria di hadapannya benar-benar tewas. Pemuda itu tersenyum puas dan melempar pipa besi itu ke sembarang tempat. "Satu lagi manusia yang kusingkirkan...,"

*

[End] Chrysanthemum & Camellia 2: Second TrialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang