Twenty First Petal

31 8 3
                                    

Hari selanjutnya, sore hari...

"Sudah hampir waktunya, ya."

Pemuda itu bersandar di dinding sembari memegang selembar foto. Di hadapannya terdapat sebuah kalender dengan tanggalan hingga tanggal ke kedua belas. Hari dimana dia akhirnya bisa bertemu dengan mereka.

Hari yang ditunggu itu sebentar lagi tiba.

Pemuda itu berjalan ke arah kalender. "Setelah cukup lama aku menunggu, akhirnya hari itu akan datang juga. Hari dimana kita akan bertemu dan semua ingatan kalian yang sudah membusuk akan terkuak," dia mengelus bagian tanggal tiga belas. "Hidup kalian takkan sama lagi, aku tahu. Namun bukankah setiap kenyataan selalu pahit? Kalian mungkin bisa menanggung segala kepahitan yang terjadi di masa lalu."

Seulas seringai dingin muncul di wajahnya. "Kurasa percuma saja jika wanita itu ingin memberitahu kebenarannya. Karena aku yakin satu dari mereka sudah tahu," dia meremas foto tersebut dan membuangnya ke sembarang tempat. "Wanita itu... dia takkan berani lagi mencoba menghapus 'keberadaanku' di keluarga itu. Semuanya jadi kacau karena ulahnya."

Pemuda itu melirik ke arah jam weker. Lalu mengambil jaket dan segera keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju lantai bawah. Sialnya Takagi sedang berada di sekitar ruang tamu, tengah membersihkan perabotan. Beliau melihat tuannya yang berjalan menuju pintu.

"Anda masih ingin keluar? Anda tahu sendiri jika polisi sedang melakukan investigasi ketat. Saya takut Anda akan dicurigai." tanyanya.

Pemuda itu mendengus. "Apa urusanmu? Lagipula mereka tidak pernah tahu seperti apa ciri-ciriku," dia melirik ke arah Takagi. "Seorang pembunuh tentu akan lebih peka dan lebih cerdik daripada korbannya, 'kan."

"Saya rasa 'licik' akan lebih tepat menggambarkan hal itu, Tuan Muda."

Majikannya hanya menghela napas. "Aku tidak sembarangan membunuh, Takagi. Mereka yang menjadi korban adalah orang-orang yang memang tidak pantas untuk hidup," dia memakai sepatu dan membuka knop pintu. Matanya melirik sesaat ke arah Takagi. "Asal kau tahu, pembunuhan yang kulakukan tidak jauh lebih kejam dibandingkan pembunuh berantai yang pernah membakar rumah sekumpulan yankee seorang diri."

Pemuda itu keluar dan membanting pintu. Takagi hanya menghela napas melihat perlakuan kasar tuannya. "Memang benar. Yang Anda lakukan itu belum sekejam pelaku Hari Kelabu dan pembantaian yankee di malam setelah pernikahan Tuan Kuroba dan Nyonya Kigiku."

Pelayan tersebut kemudian melirik ke arah sebuah foto yang digantung di sebelah ruang rahasia. "Tapi saya takkan bisa membayangkan reaksi Nona Shiragiku dan Nona Tsubaki begitu mengetahui kebenaran tentang kakak mereka."

*

Sementara itu...

"Terima kasih. Silahkan datang kembali."

Shiragiku berjalan keluar dari toko sembari menenteng kantong coklat, lalu berjalan kembali ke kediaman. Dia mengecek jika barang yang dibelinya sudah lengkap. Untuk hari ini saja, gadis itu ingin memasak sesuatu dan menenangkan pikiran. Tak apalah kemarin dia tidak diajak berjalan-jalan dan makan malam. Toh, sang bibi tidak pernah menyukainya.

Si krisantemum putih menaikkan tudung jaket putihnya, kemudian menelusuri Moto yang ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang. Sore itu jalanan tampak cukup ramai seperti biasa. Beberapa kafe terlihat dikunjungi oleh pelajar yang baru pulang sekolah. Sama seperti Shiragiku saat ini. Dia sengaja pergi untuk membeli sesuatu, sementara Tsubaki mungkin saja sudah sampai di kediaman saat ini. Kembarannya hanya menitipkan camilan yang ada di minimarket.

Shiragiku berjalan sembari mengabari Tsubaki jika dia sebentar lagi akan pulang dan sudah membawakan camilan. Saudarinya mengirim balasan sedang menyiapkan film untuk ditonton malam ini dan bertanya film apa yang mau mereka tonton. Gadis itu baru selesai mengetikkan kata "horror" ketika menyadari ada seseorang yang sejak tadi mengikutinya.

[End] Chrysanthemum & Camellia 2: Second TrialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang