Thirty Second Petal

44 8 15
                                    

Gelap.

Gelap gulita. Hanya ada dirinya di sana di dalam kegelapan itu. Kakinya berpijak di suatu tempat, tapi tidak tahu dimana. Dia berdiri di tengah-tengah sesuatu. Tapi tidak tahu tempat macam apa. Semuanya benar-benar gelap.

Kakinya perlahan mundur selangkah dan seketika menginjak sesuatu, disertai dengan suara cipratan cairan yang diinjak. Bau anyir seketika menguar dan menusuk hidung. Tidak hanya di belakangnya, tapi juga di hampir seisi tempat.

Perlahan, dia menoleh ke belakang. Berangsur-angsur, kegelapan mulai memudar. Digantikan oleh pemandangan yang tidak terduga. Hingga kedua bola mata merahnya membulat sempurna melihat apa yang ada di sekelilingnya saat ini.

Lautan mayat.

"Ini...,"

Seketika, dia merasakan seseorang menyentuh bahunya. Dia berbalik badan dan melihat sesosok gadis yang sekujur tubuhnya bermandikan darah. Sebuah luka tusuk yang cukup dalam dan telah membusuk terlukis jelas di bagian dada.

"T-Tsubaki?!"

Gadis itu mencoba untuk berkata, meskipun mulutnya mengeluarkan darah dan hanya menghasilkan suara parau. "... a... was...,"

Tsubaki pun tumbang ke pelukannya, tidak bergerak sama sekali. Sementara dia hanya bisa mematung di tempat. Darah dari tubuh gadis itu pun turut mengalir dan mengotori pakaian putih yang dia pakai saat ini. Diguncangkan bahunya, namun tidak ada respon.

"Tsubaki?" desisnya.

Seketika, dia mendengar suara yang cukup familiar di belakangnya yang tertawa gila. Dia terkesiap, lalu menoleh ke belakang. Di sana, sosok laki-laki bertopeng yang dia kenali berdiri tidak jauh di seberang sana.

"Kakure...,"

"Pemandangan yang menyedihkan, 'kan? Lautan mayat adalah hal yang pertama kali kau lihat. Tapi asal kau tahu..., bukan aku yang menyebabkan semua ini," seringai dingin muncul di wajahnya. "tapi kau yang melakukannya."

Gadis itu tertegun. "Aku?"

"Atau mungkin kau memang tidak sendirian. Tapi sosok dirimu yang satunya. Bunga merah yang kau ciptakan sendiri."

Sosok di hadapannya menggeleng. "Aku tidak melakukannya."

"Heh, kalau begitu, kurasa kau tidak akan keberatan jika kau merasakan apa yang mereka rasakan."

Sebelum bisa sadar, Kakure terlanjur mencekik dan menikamnya dengan belati perak yang sedingin es. Dia terbatuk hingga mulutnya memuntahkan sedikit darah.

Matanya menatap sosok itu. "Ke... kenapa?"

Kakure tersenyum sinis. "Cara yang mudah untuk mengakhiri semua penderitaan...," dia mendorong belati itu semakin dalam. "adalah dengan membunuhmu."

Mulutnya kembali mengeluarkan darah. Belati itu semakin menusuknya hingga hampir menyentuh jantung. Darah segar mengalir hingga mengotori belati, dan menetes ke lantai. Tubuhnya kemudian dibanting dengan keras ke lantai. Shiragiku merasakan sekujur tubuhnya benar-benar kehilangan kekuatan untuk bisa bangun.

Kakure yang melihat itu hanya bisa terkekeh, lalu benar-benar tertawa keras. "...heh... hahaha... Hahahahaha! Harusnya kau melihat dirimu sendiri! Ditikam oleh sosok yang bahkan hanyalah bayangan pikiranmu!" tawanya kemudian mereda. "Adikku yang malang, dibunuh oleh sosok yang begitu dibencinya hanya karena mencari kebenaran di tengah tekanan."

[End] Chrysanthemum & Camellia 2: Second TrialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang