Seventeenth Petal

34 7 2
                                    

Suara pekikan tertahan itu semakin menjadi ketika sebuah pipa besi menghantamnya berkali-kali. Darah terciprat kemana-mana dan menodai pipa. Tidak peduli seberapa keras orang yang diikat di kursi itu mencoba memekik, sosok di hadapannya seolah tidak mendengar. Tangannya terus mengayunkan pipa hingga si korban benar-benar tidak bernapas.

Pemuda bermanik merah itu menjilat bekas darah yang terciprat dari tubuh korbannya. "Sama saja," gumamnya.

Dengan kesal, dia melempar pipa besi ke sembarang tempat. "Semuanya sama saja. Setiap orang yang kubawa kemari sama saja. Ternodai dan tidak sempurna. Cacat dimana-mana. Serba rusak. Mereka semua rusak."

Pemuda itu menatap si korban. Seorang perempuan yang sempat menggodanya ketika berjalan sendirian malam-malam. Wajar saja, penampilannya cukup tampan untuk menarik perhatian siapa saja yang melihat. Sayang sekali wanita yang salah malah terpikat kepadanya dan berakhir menjadi korban baru.

Sekarang kecantikan yang –menurutnya—artifisial itu sudah rusak oleh hantaman pipa besi yang sudah menjadi saksi terbunuhnya banyak korban di ruangan itu. Bahkan bau busuk tercium hingga menyesakkan dada.

Andai saja mereka tahu jika darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah orang biasa. Tetapi darah dari keluarga dengan derajat tinggi. Darah seorang bangsawan yang terbuang.

Pemuda itu hanya berdecak, kemudian berbalik dan melangkah keluar dari ruangan rahasia. Menutup pintu dan menggemboknya. Tepat ketika dia sudah akan kembali ke kamar, pelayannya muncul dari dapur sembari membawakan handuk bersih.

"Anda sudah selesai, Tuan Muda? Saya bawakan handuk," ujar Takagi.

Laki-laki tersebut mengambil handuk itu dan mengelap wajahnya. "Berapa lama lagi aku harus menunggu?"

"Tidak akan lama lagi, Tuan Muda."

"Tidak akan lama lagi?! Berapa lama hingga aku bisa bertemu dengan mereka?!" dia membanting handuk ke lantai dengan kesal. "Seminggu lagi?! Dua minggu?! Mereka seharusnya sudah hampir menginjak usia 18 tahun! Usia yang seharusnya menjadi penentu jati diri mereka!"

"Tenanglah, Tuan Muda. Ini sudah hampir tanggal 13 April. Aku yakin hari itu akan segera tiba. Hari dimana Anda bisa bertemu dengan mereka dan memberitahukan segalanya."

Pemuda tersebut mendengus. Kemudian dia memungut handuknya. "Takagi, kau bakar dan kuburkan saja jasad-jasad itu. Dadaku sudah sesak mencium bau busuk dari para manusia yang tidak berguna itu," perintahnya dengan nada tajam. "Dan jangan tinggalkan satu bekas pun. Mereka semua benar-benar material yang tidak sempurna."

Takagi hanya membungkukkan badan. "Akan saya lakukan segera, Tuan Muda."

Pemuda itu berjalan ke lantai atas dan masuk ke kamarnya sendiri. Lalu menuju kamar mandi untuk membilas diri dari noda darah. Air hangat yang mengucur dari selang shower menyapu bersih noda merah dan bau anyir di tubuh pucatnya. Selesai mandi, dia membuka lemari dan mengambil pakaian seadanya.

Dulu dia tidak seperti ini. Hidupnya tidak merana seperti sekarang.

Pemuda itu ingat dulu lemari pakaiannya penuh dengan kimono mewah, seragam sekolah, dan jinbei [3] untuk dipakai setiap festival musim panas. Makanan disediakan oleh pelayan dan selalu beragam setiap hari. Kamarnya pun dulu luas dan nyaman. Namun semua kemewahan itu sudah tidak lagi dimiliki. Kini dia harus terbiasa dengan tumpukan pakaian lusuh dan masakan sederhana yang tidak terlalu membuatnya bernafsu makan.

"Aku yakin mereka masih memiliki kemewahan itu," batinnya.

Pemuda itu mengenakan kaus dan celana panjang yang sudah lusuh, lalu berbaring sembari menatap langit-langit. Perlahan dia mulai tenang, setelah jantungnya berdebar cepat ketika menghabisi wanita tadi. Korbannya sudah bertambah lagi, artinya satu nama lagi akan dipajang di salah satu boneka itu. Namun tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar "murni" dan "sempurna". Mereka semua selalu memiliki ciri yang sama, ternodai.

[End] Chrysanthemum & Camellia 2: Second TrialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang