Seusai rapat kecil itu, kami diantar ke meja kerja kami masing-masing. Lucunya, meja kami bertiga bersebelahan. Ada sedikit keanehan disini, wajah para Insinyur itu menekuk takut, sama seperti Pak tua James. Aku sedikit tegang karena suasana itu, namun Lim lagi-lagi berusaha mencairkan suasana, dengan mengajak ngobrol Abeba, si wanita Afrika. Setelah Insinyur-Insinyur itu meninggalkan kami bertiga, segera aku berkenalan dengan Abeba.
Abeba berbadan pendek –lebih pendek dari Lim- dan agak gemuk. Menurutku, dandananya sedikit menor karena kulitnya yang hitam tidak sesuai dengan bibirnya yang tebal dengan lipstick pink terang. Rambutnya hitam panjang bergelombang, lengkap dengan kulitnya yang coklat tua penampilan Abeba ini terlihat sangat garang. Meski begitu, ia begitu ramah padaku dan sangat Talkative. Bahasa Inggrisnya juga mudah dipahami, sehingga kami mengobrol banyak hal. Abeba bercerita pada kami bahwa ia sekamar dengan Yevitzka, wanita Eropa tinggi dengan bintik-bintik jerawat yang tadi. Yevitzka adalah Insinyur Informatika, karena itulah ia duduk agak jauh dari kami bertiga. Sedangkan Abeba sendiri adalah Insinyur Nautika, yang bertugas mengendalikan mata bor raksasa itu.
Pekerjaan kami -terutama aku dan Lim- adalah mengawasi kualitas minyak bumi dari bor raksasa Well-head Platform. Bor itu sudah menancap di kulit bumi sejak sebulan sebelum kami kemari, dan terus mengeluarkan minyaknya. Minyak bumi tersebut kemudian disalurkan ke pipa-pipa yang dibawa ke Production Platform.
Tugasku tidak terlalu berat, itu karena banyak sekali Insinyur Pertambangan disini. Aku juga amat terbantu dengan Lim yang begitu pintar, ia pasti seorang cumlaude di kampusnya. Justru tugas Abeba dan tim nautikanya lah yang paling berat. Mereka harus menjaga agar mata bor itu tetap menancap. Menurut Abeba, tugasnya cukup berat karena mata bor itu menabrak bongkahan batu besar saat proses pengeboran. Sehingga badan bor yang saat ini berada di dasar laut bersinggungan langsung dengan bongkahan batu itu. Abeba dan tim setiap harinya harus mengawasi posisi bor itu, agar tidak bergeser.
Suara obrolan kami bertiga adalah satu-satunya suara yang terdengar diruangan itu, selain suara berisik radio sonar dan suara jari jemari pekerja yang beradu dengan keyboard. Mataku menjelajah kesekitar, para Insinyur disini nampak begitu fokus pada laptop masing-masing. Wajah mereka semua juga menekuk takut. Sungguh, aku begitu penasaran apa yang mereka takutkan.
Mataku kemudian memandang meja bulat ditengah ruangan, tempat kami rapat kecil tadi. Mr.Teigl masih disana, tengah berdialog dengan seorang anak India muda yang membawa nampan dengan beberapa gelas minuman diatasnya. Aku mengamati rambut pirangnya yang tebal, jas hitam mewah, dan jam tangan emas yang melingkar di tangan kirinya. Apakah Mr. Teigl orangnya kejam sehingga Insinyur-Insinyur disini begitu takut padanya? Ah, aku rasa tidak. Ketika di Hall tadi, ia berbicara pada kami semua dengan begitu santun. Tetapi ini masih hari pertamaku, dan kami adalah pekerja baru. Mungkin saja sifat aslinya akan muncul nanti, seiring berjalannya waktu. Waduh gawat ... kalau begitu, aku tidak boleh membuat kesalahan saat bekerja.
Pikiranku terus bergumam liar, sembari melihat Mr.Teigl berbicara pada anak India itu. Ia berbicara padanya dengan santun, tetapi wajah anak India itu sama seperti yang lain ... takut. Setelah beberapa saat, anak India itu mengangguk dan pergi dari hadapan Mr.Teigl. Anak itu kemudian menatapku –karena aku terus menatapnya daritadi- dan berjalan menghampiriku.
"Drink sir?" (Minum Tuan?) ucapnya dengan menggeleng-gelengkan kepala khas orang India.
Oh, anak India ini ternyata seorang Helper yang bertugas menyajikan minuman pada pekerja disini. Ia adalah orang India ke lima yang aku lihat di Anjungan ini (setelah empat petugas dermaga tadi).
"Gee ... thank's much!" (Wah ... Terima kasih banyak!)
Lim segera merebut dan menegak segelas kopi yang berada diatas nampan anak India itu, tanpa sungkan. Abeba juga berdiri dari kursinya dan mengambil gelas yang lain. Berbeda dengan kedua rekanku ini, aku berusaha sedikit ramah padanya. Meski terlihat sekali ia hanya seorang Helper, tetapi aku harus ramah pada setiap orang, kan? Sambil mengambil cangkir terakhir di nampan itu, aku mengajaknya mengobrol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iblis Kaki Terbalik
HorrorDimas, seorang Insinyur Pertambangan yang baru bekerja di sebuah Anjungan Lepas Pantai. Harus menghadapi kasus seorang pekerja yang tiba-tiba melompat ke laut. Kemudian, muncul makhluk mengerikan yang membunuh pekerja Anjungan satu per satu. Misteri...